Share

Waktu yang tidak tepat

Seperti hari-hari biasanya, Anna bekerja dengan profesional. Meskipun ia memiliki hubungan istimewa dengan sang atasan, nyatanya saat di lingkungan kantor keduanya bersikap sewajarnya selayaknya atasan dan sekretaris.

Anna mengurusi semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan atasannya, meng-handle semua jadwal dan pertemuan Revan dengan klien maupun relasi bisnisnya yang lain. Tak hanya itu, Anna bahkan menyiapkan segala sesuatunya dari hal-hal sepele seperti memastikan sepatu Revan mengkilap, pakaian yang dikenakan rapi, sampai membuatkan kopi dan mengingatkan jam makan siang. Secara Revan selalu mengabaikan jam makan siangnya saking sibuk dengan pekerjaan yang padat.

"Anna, proposal yang saya minta sudah kamu siapkan?" Revan tengah fokus pada ipad-nya, mengecek beberapa pekerjaan lewat email, ketika Anna datang menghampiri meja kerjanya.

Anna mengangguk, sekalipun tahu Revan tak melihat ke arahnya. "Sudah Pak, sudah saya taruh di meja tadi pagi. Ini." Anna menunjukkan proposal yang tadi pagi sudah ia letakkan di meja kerja Revan, ketika bosnya sedang ada pertemuan penting di luar kantor. "Dan ini data karyawan yang Bapak minta." Anna juga memberikan berkas berisi data karyawan perusahaan yang diminta Revan. "Apa masih ada yang Bapak perlukan?"

"Hm." Revan bergumam, mengangguk pelan. "Kepala saya pusing," keluhnya.

"Bapak sakit?" Nada khawatir kentara jelas dari suara Anna, memperhatikan seksama wajah Revan yang memang tampak pucat. Pasti lagi-lagi laki-laki itu melewatkan jam makan siangnya, tak perlu Anna tanya ia bisa menebaknya. "Bapak mau makan apa? Biar saya pesankan makanan, juga bawakan obat pusingnya."

Revan meletakkan ipad-nya, mengembuskan napas kasar. Ia tampak kesal karena Anna seperti tak paham apa maunya sebenarnya. "Saya nggak butuh obat, saya juga nggak lapar."

"Lalu?" Anna beradu tatap dengan Revan. "Apa yang Bapak butuhkan?"

"Apa perlu saya perjelas, Anna?" tukas Revan, nampak benar-benar kesal karena Anna tidak peka dengan kemauannya.

Sejujurnya Anna paham. Anna tahu apa yang bosnya butuhkan sekarang. Ia mengerti kemauan bosnya, apalagi jika Revan sudah mengeluh pusing. Satu-satunya obat yang dibutuhkan oleh laki-laki itu adalah dirinya, ralat tubuhnya. Ya, yang Revan mau adalah menjamahnya saat ini. Namun, bukankah mereka punya kesepakatan yang tak bisa dilanggar? Kesepakatan di mana mereka tak akan melakukan hal itu di lingkungan kantor dan Revan sendiri yang membuat aturan itu, lalu kenapa sekarang ia ingin melanggarnya?

"Pak Revan!" pekik Anna ketika Revan menarik pinggangnya, menempatkan Anna dalam pangkuannya dan merengkuh tubuh ramping berbalutkan stelah kasual kemeja panjang putih, rok span hitam dan blazer bewarna senada. "Apa yang Pak Revan lakukan?" cicit Anna saat merasakan embusan napas Rehan di lehernya dan gerakan hidung lelaki itu yang menyusuri leher jenjangnya.

"Kamu tahu apa yang aku lakukan Anna, kenapa pura-pura tidak tahu," bisik Revan, suara seraknya sukses membuat bulu-bulu halus Anna berdiri.

Anna menelan ludah, tangannya mencengkram kuat rok spannya. Gerakan sensual bibir Revan memicu gairahnya timbul, tapi Anna menahannya mati-matian. Ini masih jam kerja, baru pukul empat sore dan semua karyawan masih berada di kantor. Ia tak mau sampai kepergok oleh karyawan kantor sedang berbuat mesum dengan atasannya sendiri. Meski kemungkinan itu sangat kecil  mengingat ruangan Revan berada di lantai paling atas dan terpisah dari karyawan yang lain. Bahkan untuk mereka masuk ke ruangan ini harus seizin empunya ruangan dan melalui dirinya. Jadi masih aman-aman saja jika mereka ingin nekad melakukannya di ruang kerja Revan.

"Tapi Pak." Anna menahan gerakan Revan, menekan kedua bahu Revan untuk mundur menjaga jarak darinya. Mata mereka kembali saling beradu, ada kilat gairah yang tak bisa dibendung dari sorot mata Revan yang menggelap. Anna menyadarinya, jika mustahil rasanya bisa menghentikan Revan saat ini. Tapi ia tetap harus mengingatkan laki-laki itu perihal kesepakatan mereka.

"Tapi apa?" sergah Revan, tak sabaran. Seolah ia ingin cepat-cepat menerkam Anna, seakan Anna adalah santapan lezat yang tak bisa ia lewatkan. Begitu menggiurkan dan membuatnya kelaparan.

"Kita masih di kantor." Anna memperingati, tampak gelisah. Bagaimanapun ia takut jika kepergok saat berduaan begini. Apalagi dalam keadaan seperti ini.

"Aku nggak peduli," ucap Revan.

"Tapi bukankah Bapak sendiri yang membuat aturan kalau kita———" Anna tercekat karena Revan menarik pinggangnya kuat, sampai-sampai tubuhnya terhuyung maju menabrak dada bidangnya.

"Aku nggak peduli, Anna." Revan menekankan ucapannya. "Lagipula aturan itu aku yang membuatnya, jadi tak masalah jika aku melanggarnya sekali ini."

"Ya?" Anna melotot, karena detik berikutnya Revan berhasil membungkam bibirnya dengan ciuman rakus.

Anna mengerang, merasakan lidah Revan memporak-porandakan seisi mulutnya, membakar gairahnya, membuatnya kepanasan dan tak bisa menahan lagi untuk tidak membalas ciumannya. Seperti pergulatan panas biasanya, Anna berusaha mengimbangi Revan. Namun, kali ini ia begitu kewalahan menerima serbuan Revan yang menggebu-gebu, mendesaknya sampai tak berdaya.

Ada apa dengan Revan?

Anna bertanya-tanya, karena Revan tak seperti biasanya begini. Laki-laki itu memang terkadang bermain kasar dan tak sabaran, tapi tidak separah hari ini. Lihat saja bagaimana Revan dengan tidak sabarannya menarik kedua sisi kemeja Anna sampai semua kancing baju kemejanya terlepas. Anna ingin protes, tapi Revan tak membiarkan bibirnya terbuka sebentar saja.

"Re-van." Cengkraman Anna menguat di pundak Revan, ketika tangan kekar nan kokoh itu menjamah pusat sensitifnya, memainkannya seolah itu adalah squishy kenyal. Anna tak tahan, terus mengerang dalam bungkaman bibir Revan. Hingga tangannya berpindah meremas rambut Revan, saat bibir lelaki itu berpindah ke dadanya.

Nikmat, tentu saja. Anna menikmatinya. Ia selalu suka bagaimana Revan memanjakannya lewat pusat-pusat sensitifnya. Namun, kali ini Anna merasakan perbedaan signifikan. Revan seperti haus darah, begitu kasar dan terburu-buru, hal itu tentu saja membuat Anna kian bertanya-tanya.

Sebenarnya ada apa dengan Revan?

"Arghh!" Anna memekik, merasakan sakit pada ujung dadanya. Revan baru saja menggigitnya dengan brutal. Ketika ia hendak protes, lagi-lagi bosnya itu tak mengizinkannya dan kembali membungkam Anna dengan kenikmatan lain.

Anna berusaha menahan desahannya agar tidak lolos. Jika di kamar, ia bebas berteriak sekencang apa pun, di sini ia harus merapatkan bibirnya agar tak ada suara sedikitpun yang keluar. Meski ia sangat ingin berteriak, karena Revan terus menggigit ujung dadanya dengan kasar. Bahkan Anna yakin jika gigitan itu berbekas di permukaan kulitnya yang mulus. Tapi Anna tak mau jika teriakannya akan mengundang karyawan datang dan memergoki aksi keduanya. Maka ia sekuat tenaga menahannya.

Namun, Anna tak bisa menahannya lebih lama. "Revan, hentikan!" keluh Anna, merasakan perih di sekujur dadanya. "Hentikan, cukup!" Tapi Revan tak mengindahkan permintaannya.

Namun, seakan tuli, Revan sama sekali tak mengindahkan permintaan Anna. Alih-alih berhenti, Revan justru melanjutkan aksinya kian brutal. Tangan kokohnya dengan kasar melucuti dalaman rok Anna, dari stocking sampai benda segitiga tipis yang ia buang sembarangan ke lantai.

Anna tak tahu lagi bagaimana caranya menghentikan Revan. Laki-laki itu seperti kesurupan, matanya menggelap dipenuhi gairah yang menggebu-gebu. Anna tak bisa melawan serangan demi serangan yang Revan luncurkan, ia hanya bisa pasrah di bawah kendali bosnya yang entah mengapa hari ini begitu berbeda dari biasanya.

"Revan, pelan-pelan ... sakit!" Jika biasanya Anna begitu menikmati permainan Revan, baik pelan maupun bar-bar. Entah kenapa kali ini ia tak bisa menikmatinya sedikitpun. Rasa sakit yang Revan berikan akibat kebrutalannya, membuat Anna terus merintih, tak lagi mampu menahan sakit di bawah sana. Belum lagi tangan dan gigi Revan yang tak kalah brutal membuat squishy kenyal miliknya mungkin lecet semua. "Revan, bisakah kamu lebih lembut?" pinta Anna, di tengah ketidakberdayaannya.

Tapi Revan tak menggubris Anna. Ia terus berpacu, memompa sekuat tenaga, seolah ini adalah pelampiasan atas amarah yang seharian ini memenuhi otaknya. Ya, sepanjang hari Revan menahan kemarahannya dan mungkin kali ini ia tak lagi bisa menampungnya dan meledak saat melihat Anna.

Semua itu dipicu oleh kejadian tadi pagi. Sungguh, Revan tak pernah semarah ini hanya karena sesuatu hal sepele. Ya, amat sangat sepele, tapi begitu melukai egonya. Bagaimana tidak melukai egonya jika ia tak sengaja menyaksikan istrinya bermain solo menggunakan alat tiruan, ketika ada dirinya yang bisa memuaskannya dengan miliknya yang asli.

Meskipun mereka tak saling mencintai, menikah karena perjodohan, bukan berarti Revan tidak tertarik pada istrinya. Anggita, tak kalah cantik dengan Anna, malah bisa dibilang lebih cantik mengingat perawatan wajahnya yang mahal. Kalau wajahnya saja terawat, begitu juga dengan sekujur badannya. Anggita juga punya bodi yang jauh lebih menggiurkan sebenarnya dari pada Anna, jauh lebih seksi dan proposional. Sementara Anna lumayan berisi di beberapa bagian, meski sepertinya justru jadi daya tarik tersendiri di mata laki-laki.

Tapi tetap saja, Revan sebenarnya lebih tertarik pada kemolekan tubuh Anggita ketimbang Anna yang selama ini hanya jadi pelampiasannya. Sayangnya Anggita tak pernah sudi untuk ia jamah, bahkan dengan sinis menolaknya terang-terangan. Tentu Revan yang punya harga diri dan ego tinggi tak akan sudi meminta apalagi sampai harus mengemis hak pada Anggita. Itu sebabnya ia melampiaskannya pada Anna, wanita yang ia jadikan istri simpanan hanya untuk memuaskannya.

"Revan!" Anna meringis, bahkan sampai meneteskan air mata. Ia rasanya ingin menangis. Hujaman Revan seperti memporak-porandakan seisi tubuhnya, membuatnya remuk sampai kehabisan tenaga. "Please, udah," rengek Anna, memeluk Revan karena tubuhnya semakin melemas.

"Diamlah Anna!" tukas Revan, sebal mendengar rengekan Anna.

"Tapi sakit———aaw!" Anna terus mengeluh kesakitan, meski Revan tetap saja tak peduli dan malah membungkam mulutnya dengan ciuman tak kalah brutal.

Di saat Revan terus membombardir Anna, tiba-tiba saja suara dari luar menginterupsi keduanya. Hanya sesaat mengalihkan perhatian Revan, tapi setelahnya Revan tetap kembali pada aktivitasnya. Tapi tidak dengan Anna yang seketika syok saat mengenali suara di luar sana.

"Selamat siang bu Anggita."

"Siang. Pak Revan ada?"

"Kurang tahu bu, ini juga saya baru mau konfirmasi ke sekretarisnya, tapi bu Anna ternyata nggak ada di tempat———loh bu Anggita mau ke mana?"

"Mau menemui suami saya? Kenapa? Apa saya tidak boleh masuk ke ruang kerja suami saya?"

"Bu-bukan begitu bu, tapi———"

"Kamu nggak perlu khawatir, suami saya nggak akan marah kalau saya nyelonong masuk. Malah dia akan senang melihat kedatangan saya."

Ya, itu suara Anggita dengan salah seorang karyawan yang entah siapa, Anna tak begitu mengenali suaranya. Tapi yang pasti, suara wanita yang mendesak untuk masuk ke ruang kerja Revan itu adalah Anggita, istri Revan. Jelas saja Anna panik.

"Revan," bisik Anna, menatap gelisah Revan yang juga mengetahui kedatangan Anggita di waktu yang tidak tepat. "Bagaimana ini?"

Revan hampir mencapai puncak, tentu saja ia tak akan berhenti sekalipun ia tahu Anggita di depan sana berusaha untuk masuk. "Sedikit lagi," ucapnya, mempercepat gerakan untuk mencapai puncak.

Tapi itu tak lantas membuat Anna tenang, ia makin gelisah. Terlebih saat tak lagi mendengar suara Anggita, melainkan kini suara gerakan knop pintu yang akan dibuka. Anna melotot, tak tahu lagi harus bagaimana. Nyawanya sudah di ujung tanduk, sebentar lagi skandalnya dengan sang bos akan terbongkar oleh istri sahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status