Share

Hai Anna

Jantung Anna berpacu cepat, tak peduli keringat dingin mengucur sepanjang dahi dan panas membara seakan membakarnya di ruang gerak yang begitu sempit. Anna memeluk erat lututnya, membungkam mulut dengan satu tangan dan berusaha menahan napas ketika mendengar suara ketukan high heels mendekat ke arahnya. Lebih tepatnya ke depan meja Revan, di mana saat ini ia bersembunyi di bawahnya.

Nyaris saja. Seandainya Revan tidak cepat menyudahi pergulatan panasnya, bisa saja mereka berdua kepergok oleh istri sahnya. Anggita. Ya, suara ketukan high heels itu memang milik Anggita, wanita itu kini berdiri di depan meja Revan sambil melipat tangannya di depan dada.

"Kamu sibuk?" Anggita lebih dulu berbicara, ketika kedatangannya diabaikan oleh Revan yang malah sibuk membolak-balik isi berkas yang sempat dibawakan oleh Anna tadi.

"Hm." Revan menjawabnya dengan gumaman datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangan.

Anggita menghela napas, malas sebenarnya harus berbasa-basi dengan suaminya. Ia masih dongkol pada laki-laki itu karena kejadian pagi tadi, di mana Revan lancang memasuki kamarnya dan memergokinya sedang bermain solo. Sial! Mengingatnya kembali saja membuat emosinya membuncah ke ubun-ubun. Namun, Anggita ingat jika kedatangannya kemari bukan untuk melampiaskan amarahnya, melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih penting.

"Papa tadi telepon, minta kita buat makan malam di rumah sebagai ganti makan malam semalam yang nggak jadi," ucap Anggita berterus terang. "Jadi sebaiknya kamu bersiap-siap sekarang."

Revan tampak acuh tak acuh, tetap fokus dengan data yang sedang ia cermati. Bahkan saking fokusnya ia sampai tak menanggapi ucapan Anggita barusan. Tentu saja hal tersebut memicu kekesalan istrinya, merasa diabaikan.

"Kamu dengar aku nggak sih?" Kesabaran Anggita setipis tisu, suaranya sontak meninggi.

Hal tersebut sukses menarik atensi Revan dari berkas di tangannya. Ia memandang Anggita, tetap tenang meski wanita di hadapannya bisa saja berubah jadi segarang singa betina yang mengamuk.

Revan melirik arlogi yang melingkari pergelangan tangan kirinya, melihat pukul berapa sekarang. "Baru setengah lima, masih ada waktu setengah jam lagi sampai jam pulang kantor," ucapnya, setelah itu kembali fokus pada pekerjaannya.

Anggita berdecak, tidak puas dengan jawaban Revan. "Enggak bisa," protesnya, "aku nggak bisa menunggu, apalagi sampai setengah jam. Lagian kamu tahu kan kalau jalanan ke rumah orang tua aku sering macet parah di jam-jam pulang kantor, aku nggak mau kejebak macet."

"Kalau begitu kamu bisa ke sana duluan," suruh Revan dengan entengnya.

Anggita berdecih sinis. "Lalu, kamu akan mangkir lagi dan memilih tidur dengan jalang seperti yang kamu lakukan semalam?"

Dada Anna terasa nyeri mendengar ucapan Anggita. Bagaimana wanita itu secara tidak langsung mengatainya jalang. Ya, karena dirinyalah semalam yang tidur dengan Revan. Anna ingin marah, tapi apa daya ia tidak bisa apa-apa. Jangankan membela diri, menampakkan diri saat ini saja nyalinya menciut.

Sebenarnya bisa saja Anna menunjukkan diri saat ini di depan istri sah Revan. Bahkan kalau perlu ia bongkar hubungan terlarang antara dirinya dengan sang atasan yang sudah berjalan selama setahun ini. Hanya saja Anna terlalu takut dengan dampaknya nanti, ia takut jika Revan akan murka dan malah meninggalkannya. Alih-alih memilihnya, Anna sangat yakin kalau Revan akan memilih mempertahankan hubungannya dengan sang istri. Itu sebabnya Anna memilih bersembunyi, menahan dongkol setiap kali mulut Anggita menyumpah serapah wanita yang tidur dengan Revan dan itu adalah dirinya.

"Nggak akan aku biarkan hal itu terulang lagi! Jadi sebaiknya kamu bergegas sebelum aku buat keributan di sini! Kamu pasti nggak mau kan jadi tontonan karyawan kamu sendiri?" Anggita mengeluarkan jurus andalannya, mengancam Revan.

Revan mengembuskan napas kasar, tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan Anggita. Ia tahu senekat apa istrinya, ancaman barusan bukan sekedar bualan semata mengingat Anggita pernah membuat keributan karena keinginannya tidak terpenuhi.

Anggita tidak sabaran melihat pergerakan Revan yang menurutnya lambat. "Lama!" Ia langsung merebut ipad dari tangan Revan, meletakkannya di meja. "Buruan!" suruhnya sambil menarik lengan Revan beranjak dari tempat duduknya.

Revan yang tampak ogah-ogahan hanya bisa pasrah ketika Anggita menyeretnya keluar dari ruang kerjanya. Tapi ia juga bersyukur setidaknya Anggita tidak mengetahui keberadaan Anna yang masih bersembunyi di bawah meja kerjanya.

Anna akhirnya bisa bernapas lega ketika mendengar suara pintu tertutup. Ia pun keluar dari persembunyiannya, mengintip dari balik meja untuk memastikan bahwa tidak ada siapa pun lagi di ruangan ini selain dirinya.

Anna mengembuskan napas kasar, mengetahui Revan benar-benar pergi bersama istri sahnya. Ia tampak begitu kecewa, bangkit berdiri untuk merapikan pakaiannya yang berantakan. Bahkan ia tadi tidak sempat mengenakan celana dalamnya  karena Anggita keburu masuk.

Suara notifikasi menginterupsi Anna, memaksanya mengecek ponsel yang ia kantongi di saku blazer. Satu pesan masuk dari Revan.

Suami Rahasia

Rapikan pekerjaanku, salin semua data yang tadi aku minta dan kirim lewat email.

Anna tersenyum kecut membaca pesan dari Revan. Memangnya apa yang ia harapkan? Permintaan maaf? Jelas mustahil! Mana mungkin Revan akan meminta maaf karena meninggalkannya, memanya dirinya siapa? Anna cuma istri simpanan, hanya tempat pelampiasannya saja. Harusnya Anna tidak banyak berharap, karena itu hanya akan membuatnya semakin sakit menelan pahitnya kenyataan.

***

Pukul setengah enam sore, Anna keluar kantor. Di saat semua karyawa  sudah pulang dari setengah jam lalu. Butuh waktu lumayan lama baginya untuk merapikan pekerjaan Revan, ditambah ia juga harus menyalin semua data dan mengirimkannya sesegera mungkin kepada bosnya.

Data yang pak Revan minta sudah saya kirim ke email, juga jadwal untuk besok.

Anna mengetikkan pesan dan mengirimkannya pada Revan. Setelah itu segera memesan taksi online. Sebenarnya Revan memfasilitasinya mobil pribadi, tapi Anna jarang memakainya kecuali untuk keadaan darurat ataupun penting. Jika tidak dalam keadaan genting, Anna akan meninggalkan mobil itu di kantor dan memilih memesan taksi online seperti saat ini.

Sudah pulang?

Anna mengernyit saat melihat balasan terbaru dari bosnya. Ia tampak heran. Pasalnya nggak seperti biasanya Revan bertanya seperti ini. Biasanya setelah membicarakan soal pekerjaan, laki-laki itu akan menghilang tanpa ada basa-basi menanyakan tentang apa pun yang menyangkut dirinya. Termasuk bertanya apakah ia sudah pulang, sudah makan dan bla ... bla ....

Baru mau pulang. Anna segera mengetikkan balasan. Bersamaan dengan sebuah mobil hitam menepi di depannya.

Anna pikir itu taksi online yang dipesannya. Tanpa memastikan kembali nomor plat mobilnya, Anna pun segera masuk. Ia terlalu fokus pada ponselnya saat lagi-lagi mendapat balasan dari Revan, sampai-sampai Anna tak menghiraukan raut terkejut si pengemudi yang melihatnya masuk ke dalam mobil.

Suami Rahasia

Hati-hati.

Anna tersenyum tipis melihat balasan pesan dari Revan. Hatinya berbunga-bunga, untuk pertama kalinya Anna merasa diperhatikan oleh suaminya itu. Walau hanya sekedar ucapan hati-hati yang cukup singkat.

"Permisi Mbak." Si pengemudi mobil menginterupsi, memperhatikan Anna lewat kaca spion di atasnya.

"Apartemen Artapura ya, Pak," ucap Anna, lagi-lagi tanpa melihat si pengemudi. Ia masih terlalu fokus pada ponselnya.

Si pengemudi tampak kebingungan, kali ini menoleh ke belakang. Ia sudah akan membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu. Tapi Anna dengan cepat menyelanya.

"Buruan ya Pak, takut macetnya makin parah. Saya capek banget, nanti kalau sudah sampe tolong bangunkan ya Pak." Anna cukup berani memilih memejamkan mata, kantuk berat membuatnya tak bisa menahan kelopak matanya yang dengan cepat menutup. Ia benar-benar terlelap, tanpa merasa cemas sedikit pun.

Sementara pengemudi mobil itu hanya bisa menghela napas panjang. Melihat Anna yang terlelap, membuatnya tidak tega dan mau tidak mau ia pun menjalankan mobilnya menuju ke alamat yang tadi Anna katakan. Padahal ia ingin menjelaskan bahwa Anna salah masuk mobil dan dirinya bukan driver taksi online.

Sepanjang perjalanan, pengemudi mobil yang tampak masih muda, usianya mungkin tidak beda jauh dari Anna. Terus melirik ke kaca spion, memperhatikan Anna yang benar-benar tertidur pulas. Dalam hatinya ia merasa kasihan, berpikir bahwa beban yang Anna pikul pasti berat sampai bisa-bisanya tertidur pulas di dalam mobil. Tidak tahu saja kalau sebenarnya Anna ini kecapean karena aksi brutal Revan tadi.

Empat puluh lima menit berlalu, setelah menempuh perjalanan cukup jauh dengan kemacetan yang menguras emosi. Akhirnya mobil hitam itu tiba di pelataran apartemen yang tadi Anna sebutkan.

"Mbak," panggil pengemudi mobil, tampak sungkan harus membangunkan Anna yang begitu pulas tertidur. "Mbak," Panggilan kesekian, "mbak, sudah sampai," ucapnya saat melihat kelopak mata Anna mulai terbuka perlahan.

Anna mengucek-ngucek kedua mata, menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Ia menatap ke luar jendela mobil, mendapati mobil tersebut sudah tiba di pelataran lobi utama apartemennya. Anna bergegas mengambil uang di dalam tasnya, dua lembar uang bewarna merah yang langsung ia berikan pada si pengemudi.

"Nggak usah kembali," kata Ana.

Si pengemudi pun berniat menolaknya. "Nggak perlu Mbak—"

Namun, dengan cepat Anna menyela, memaksa pengemudi itu menerima uang yang ia sodorkan. "Ambil saja Pak, sisanya tip buat Bapak karena sudah mengantarkan saya dengan selamat. Terima kasih."

Pengemudi itu pun mau tidak mau menerima uang dari Anna. Saat ia hendak mengatakan kebenarannya bahwa sebenarnya dirinya bukanlah driver taksi online, Anna lebih dulu terburu-buru keluar dari mobil. Bahkan sejak awal pun Anna tidak memperhatikan wajahnya, makanya Anna memanggilnya "bapak", padahal jelas-jelas ia terlihat masih muda.

Pengemudi itu menghela napas, memandangi punggung Anna yang mulai menghilang saat memasuki gedung apartemen. Setelah memastikan Anna tak lagi terlihat, ia memutuskan untuk pergi, bersamaan dengan sebuah panggilan masuk menginterupsi dirinya.

"Halo." Laki-laki itu mengangkat panggilan masuk di ponselnya, sembari tancap gas meninggalkan pelataran gedung apartemen Artapura. "Iya Pa, ada apa?" Laki-laki itu mengernyit, mendengarkan seksama suara seseorang di seberang telepon yang tidak lain papanya. "Berkas?" Ia meminggirkan mobilnya di bahu jalan. "Bentar aku cek."

Laki-laki itu melepas sabuk pengaman dan mengecek ke bangku belakang, di mana ia meletakkan tas berisi berkas-berkas penting pekerjaannya. Saat itulah ia tak sengaja melihat sebuah tanda pengenal yang ada di bangku belakang.

Apakah milik wanita tadi?

Laki-laki itu mengambilnya, membaca nama yang tertera di tanda pengenal tersebut. "Annastasya," gumamnya. Jadi nama wanita cantik itu, Annastasya? Laki-laki itu tersenyum tipis saat mengingat wajah cantik Anna saat terlelap. Nama yang cantik, secantik orangnya. Laki-laki itu tanpa sadar larut dalam lamunannya, sampai-sampai mengabaikan panggilan papanya.

"Arfan!"

"Arfan!"

"Arfan! Kamu dengar papa?"

Laki-laki yang dipanggil Arfan itu pun tersadar, buru-buru berbalik lagi ke depan. "Eh, iya pa. Gimana?"

"Kamu ke mana, dari tadi papa panggil-panggil nggak nyahut! Gimana, berkasnya ada?"

Arfan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa bersalah karena melamunkan Anna sampai mengabaikan papanya. "Nggak ada pa, kayaknya ketinggalan di kantor."

"Yaudah, kamu balik lagi ke kantor, kamu ambil. Itu berkas buat meeting besok sama client. Tolong buat meeting besok, kamu yang handle ya."

"Siap pa, papa tenang saja. Meeting besok biar Arfan yang handle."

"Oke, kamu jadi pindah apartemen?" tanya papanya.

"Jadi," jawab Arfan.

"Kapan?"

"Secepatnya, mungkin lusa." Arfan mengangguk saat papanya menyuruhnya pulang ke rumah malam ini. "Iya pa, Arfan pulang malam ini. Habis dari kantor. Iya pa, beneran, yaudah, Arfan jalan lagi ya." Arfan menutup panggilan telepon, lalu kembali memutar mobilnya memasuki pelataran gedung apartemen Artapura.

Arfan memarkirkan mobilnya di parkiran yang tidak jauh dari lobi, bergegas menemui petugas keamanan untuk memberikan tanda pengenal Anna yang tertinggal di mobilnya. Oleh petugas keamanan, Arfan diarahkan ke resepsionis untuk menitipkan tanda pengenal tersebut.

"Mba, boleh pinjem pulpen sama minta kertasnya," kata Arfan.

"Boleh." Petugas resepsionis pun memberikan yang Arfan minta.

Arfan menuliskan pesan di secarik kertas, lalu memberikannya pada petugas resepsionis bersamaan dengan tanda pengenal Anna.

"Makasih ya Mbak." Setelah Arfan pergi.

Tidak berselang lama, Anna turun ke lobi menemui resepsionis. "Mbak, ada titipan makanan buat aku?" tanyanya.

"Ada Bu." Petugas resepsionis memberikan paper bag yang dititipkan buat Ana.

"Makasih ya Mbak." Anna hendak berlalu kembali ke apartemennya.

Namun, petugas resepsionis menahannya. "Tunggu Bu, masih ada satu lagi titipan buat Bu Anna."

Anna mengernyit, tampak bingung. Karena setahunnya hanya makanan saja yang perlu ia ambil di resepsionis. Hingga petugas resepsionis itu menyodorkan tanda pengenal yang ternyata miliknya.

"Loh." Anna tampak terkejut, menerima tanda pengenalnya.

"Tadi ada mas-mas yang datang kemari buat titipin ini, Bu," kata si petugas resepsionis.

"Terus, orangnya mana?" Anna celingukan, menoleh ke arah pintu keluar.

"Sudah pergi, tapi tadi dia titip ini juga buat Bu Anna." Petugas resepsionis memberikan secarik kertas yang Arfan titipkan.

Anna menaikkan satu alisnya saat membaca tulisan yang tertera di secarik kertas tersebut.

Hai Anna, semoga kita bisa bertemu kembali.

Siapa laki-laki ini? Anna dibuat heran, ketika membaca pesan yang tertulis di secarik kertas tersebut. Ia semakin penasaran, siapa laki-laki yang telah mengantarkannya pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status