Aku fokus mengikuti pelajaran meskipun sesekali mendapat gangguan dari setan di sebelahku. Zavier kerap diam-diam melemparku menggunakan gulungan kertas kecil. Dan, itu tak hanya dilakukan sekali dua kali, tetapi berlanjut di hari-hari berikutnya.
Entah kenapa orang yang sangat menyebalkan seperti Zavier bisa-bisanya menjadi ketua kelas? Konyol sekali! Ketika jam istirahat tiba, aku memilih istirahat di belakang sekolah. Lumayan, di sana ada pohon jambu air yang buahnya banyak dan sudah matang. Maling sedikit, tidak apa-apa. Lagipula, kalau dibiarkan begitu saja nanti buahnya busuk. Jadi, mending aku makan saja, biar lebih berkah buat yang tanam. Kini, aku duduk pada salah satu cabang pohon sambil menggoyang-goyangkan kaki, memetik beberapa buahnya untuk kudiamkan di pangkuan. Sembari menikmati kedamaian ini, mataku tiba-tiba menangkap gerakan di bawah. Ada Zavier dan teman-temannya sedang berjalan melewati area itu. Tanpa pikir panjang, ide iseng langsung muncul di benakku. Hitung-hitung untuk membalas perbuatannya padaku yang selama ini selalu resek. Aku memetik satu jambu air yang cukup besar, menimbang-nimbang sejenak lalu melemparkannya dengan akurasi sempurna. PLOK! Buah itu tepat mengenai pelipis Zavier. Aku menahan tawa, melihatnya langsung berhenti dan memegang kepala, kaget. “Shit! Siapa yang berani melempar gue?” geramnya, perlahan mendongak, matanya menyapu ke arah pohon, mencari-cari pelakunya. Aku dengan santai menjulurkan lidah ke arah dia, menantang tanpa kata. Tatapannya yang tajam bertemu denganku dan saat itu juga rahangnya mengeras karena marah. “Woi, cewek sialan, turun lo!” Teman-teman Zavier mengumpat seakan-akan tidak rela bos mereka ada yang mengganggu. Aku hanya tertawa kecil dari atas pohon, tanpa berniat turun. Zavier sudah bersiap untuk marah, tangannya terkepal dan langsung memungut batu kecil yang sudah pasti akan digunakan untuk melemparku, tetapi tiba-tiba terdengar suara yang memanggilnya dari kejauhan. “Zavier, sini sebentar!” Pria muda itu tampak kesal karena dia tidak bisa meluapkan emosinya. Dia menatapku tajam sambil berkata, “Monyet lu!” Aku hanya mengangkat bahu, masih dengan senyum santai di wajah mengamati pergerakannya yang mulai berjalan menjauh. “Suruh siapa main-main sama gue?” ujarku dengan senyum penuh kemenangan. Selang beberapa saat, aku masih duduk santai di atas pohon, menikmati buah jambu airku sambil sesekali tersenyum senang, merasa puas berhasil menyerang Zavier tadi. Hanya saja, gadis yang seingatku bernama Maya dan Larissa itu tiba-tiba datang. Aku ingat, kemarin mereka sempat menyebutkan namanya karena aku mengaku tidak mengenalnya. Mereka berpikir aku lupa ingatan, jadi membantuku mengingat-ingat, padahal tidak demikian, tetapi memang aku tidak mengenal mereka sebelumnya. Keduanya sudah berdiri di bawah pohon sambil melambaikan tangan padaku. “Alina! Turun, sini!” seru Maya dengan nada terdengar khawatir. Gadis berpenampilan agamais itu pun ikut menimpali. “Iya, mending lo turun sebelum terjadi masalah yang lebih besar.” Aku mendengus kasar. Tak suka kesenanganku diganggu. Namun, dengan berat hati, aku tetap memutuskan untuk turun secara perlahan. Sepertinya mereka tidak akan pergi sampai aku menuruti keinginannya. Lagipula, kenapa mereka doyan sekali mengikutiku ke mana-mana? Aku, kan, bukan Alina yang mereka kenal. Saat kakiku mulai menyentuh tanah, Maya langsung mendekat, wajahnya tampak khawatir. “Gila, lo! Berani banget ngerjain Zavier kayak gitu. Lo gak takut apa? Kemarin aja motor lo dikempesin dia. Belum lagi kalau di kelas, gue perhatiin dia selalu gangguin lo, padahal selama ini Zavier gak pernah gangguin lo!” Aku mendesah malas. “Loh, kenapa gue harus takut? Emang Zavier psikopat yang harus gue takuti?” Giliran Larissa yang menggelengkan kepala lalu berkata, “Zavier itu bukan sembarang siswa, Alina. Semua siswa di sini gak ada yang berani macam-macam padanya and the gang karena kalo sampe berurusan dengan 3 orang itu, bisa repot ke depannya.” Aku melipat tangan di dada, menatap mereka berdua dengan tatapan acuh. “Bodo amat!” Maya dan Larissa saling berpandangan, seperti tidak percaya dengan responsku. Detik berikutnya, Maya pun akhirnya angkat bicara lagi. “Gue heran, deh, sama lo, Alina! Lo sekolah udah lama di sini. Lo kayak gak kenal si Zavier aja? Dia itu cowok paling populer di sekolah ini karena selain ganteng, prestasinya di bidang olahraga futsal nggak kaleng-kaleng. Dia sering bawa nama sekolah kita menjuarai kompetisi futsal.” “Dan, poin tambahannya, dia ... digadang-gadang akan jadi penerus ayahnya jadi pimpinan di perusahaan keluarga mereka yang juga sebagai donatur tetap di sekolah kita,” tambah Larissa. “Mungkin sebab itu juga, dia jadi angkuh dan seenaknya. Pokoknya nggak boleh ada yang macam-macam ke dia, nyentuh milik dia, termasuk menempati parkiran dia. Di sekolah ini cewek-cewek pada nge-fans ke dia tau.” Mulutku membulat membentuk huruf O mendengar penjelasan Larissa tanpa Chou itu. Oh, ternyata ... calon pewaris, terus perusahaan keluarganya donatur di sekolah ini. Akan tetapi, tidak berarti dia juga harus semaunya, ‘kan? “Termasuk kalian yang ngefens?” Aku memicing penasaran ke arah Maya dan Larissa. “Selain kami," jawab mereka cepat. Aku menahan tawa mendengar penjelasan mereka. Bukannya takut, hati kecilku justru tergelitik untuk makin melawan Zavier. “Gue gak peduli!” tegasku membuat Maya dan Larissa saling berpandangan. Barangkali merasa aneh karena ada orang yang berani dengan penguasa sekolah seperti Zavier. Raut wajah keduanya jelas bingung dengan sikapku. Aku berlalu pergi begitu saja, tetapi mereka membuntutiku. “Alina, tunggu! Lo mau ke mana?” tanya Maya. “Mau hantam si Zavier,” jawabku asal. “Astagfirullah!” Larissa mengusap dadanya pelan membuatku tertawa kecil sambil terus berjalan. “Alina ....” Aku sontak menghentikan langkah, berbalik ke arah mereka di belakangku. “Stop, jangan panggil gue Alina! Gue sudah bilang kalau gue bukan Alina!” Lagi-lagi, mereka saling berpandangan, bingung. “Ta—tapi, muka lo mirip Alina?” Larissa masih tak percaya dengan ucapanku.POV ZAVIERHari-hari kami sebagai mahasiswa telah dimulai. Untungnya, jam masuknya tidak kepagian seperti jam masuk saat sekolah. Hari Senin di kampus juga tidak ada upacara seperti saat sekolah, jadi kesannya lebih santai.Matahari belum sepenuhnya tinggi saat mobil Jeep milikku melaju pelan menuju Fakultas Teknik untuk mengantar Aluna lebih dulu. Ya, meskipun fakultas kami berbeda, aku selalu menyempatkan diri mengantar jemputnya.“Jangan lupa nanti makan siang, walau sibuk dengan tugas,” kataku sambil mencium keningnya pelan.Dia mengangguk sambil tersenyum, lalu membalas dengan mencium tanganku seperti para istri pada umumnya. Aku suka itu. Maksudku, aku suka apa pun tentangnya. Terkadang, meski aku yang kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tugas-tugasku tak lepas dari campur tangan Aluna. Tangannya cekatan, otaknya cukup pintar, dan ... aku yakin Tuhan memberi keindahan yang lengkap dalam dirinya. Keindahan yang patut untuk aku sy
Hari ini, tibalah akhirnya kami pada penghujung status sebagai anak SMA.Tiga tahun penuh drama, tangis, tawa, tugas dadakan di sela-sela masih ingin bermain, telah resmi berakhir. Rasanya absurd kalau mengingat bahwa 2 tahun lalu aku masih berada di sekolah Melbourne. Lalu, pindah ke SMA Pelita Nusantara Indonesia ketika kelas 3 karena diam-diam sibuk menyusun strategi balas dendam.Aku memaksa pulang dan meminta pindah sekolah ke Indonesia karena ingin mencari keadilan, untuk membongkar tabir rahasia di balik kematian saudara kembarku.Namun, siapa sangka ... di tengah luka dan dendam yang memenuhi ruang dalam dada, aku justru menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar balas dendam.Aku bertemu Zavier, pria yang membuat hari pertamaku sekolah di Indonesia sangat menyebalkan, tetapi sekarang justru dengan tidak terduga, dia menjadi suamiku.Meski aku hanya sekolah di sini selama kurang lebih setahun, rasanya seperti seumur hidup. Terlalu
Aku melotot, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulut Zavier.“Bentar-bentar? Lo—lo pacaran sama Mira … biar dia gak gangguin Kak Alina?” tanyaku pelan, masih setengah syok, seperti melihat film yang penuh dengan plot twist.Zavier mengangguk pelan. “Hm. Gue hanya enggak tega liat dia diperlakukan semena-mena terus. Ya, walaupun gue terbilang ditakuti di sekolah, tetapi gue juga punya hati tidak tegaan, Lun. Gue ngerasa perlu bertanggung jawab melindungi Alina karena dia diperlakukan buruk oleh Mira gara-gara Kakak gue. Gue pikir, kalau gue deketin Mira, dia bakal sibuk ngatur hubungan kami dan lupa buat nyakitin Alina.”Aku terdiam. Mulutku terbuka, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Terlalu syok mendengar fakta itu. Belum sempat berbicara, Zavier kembali melanjutkan, “Lo mungkin berpikir itu rada tidak masuk akal, tetapi begitulah faktanya, Lun. Gue enggak punya kuasa buat nasihatin Kakak gue yang jatuh cinta sama
Aku langsung melongo. Tiba-tiba pikiranku isinya kotor semua mendengar pertanyaan Maya yang agak gimana gitu? Untungnya, aku bisa menguasai diri dengan cepat. “Panjang apaan?” “Itu, masa depannya Zavier. Dia bilang panjang, tapi yang bisa memastikan kebenaran omongan dia cuma lo, Lun. Toh, cuma lo yang tau.”“Ih, Maya! Pembahasan lo udah ke mana-mana. Itu rahasia rumah tangga tau, tidak boleh diumbar-umbar,” celetuk Larissa. Pesona Mamah Dedeh-nya sudah keluar.“Tuh, dengerin Bu Ustazah ngomong, May,” cicit Lila sambil terkikik geli.“Jadi, waktu kalian mengaku pacaran, itu sudah nikah?” tanya Maya lagi.“Sudah. Kami ngaku pacaran biar bisa deket-deket tanpa ada yang curiga.” Zavier menjawab apa adanya.Namun, belum sempat ia berbicara lagi, aku meralat dengan tegas. “Dia doang yang mau dekat-dekat, gue tidak.”“Dih, gitu banget.” Zavier menjawil pipiku membuat teman-teman kami berteriak heboh. Astaga! Baru be
Tiba di rumah, Bunda yang duduk di sofa sambil menangis ditenangkan oleh Ibu mertua beranjak begitu melihatku dan Zavier memasuki rumah. Berlari, memelukku membuatku nyaris ambruk karena terdorong ke belakang. Aku bisa rasakan, pelukannya adalah pelukan takut kehilangan. “Kamu selamat, Nak. Bunda syok banget lihat berita pesawatmu kecelakaan,” ucap Bunda di tengah isakannya. “Aku terlambat kena macet ada kecelakaan waktu ke bandara. Jadi, tidak bisa ikut penerbangan itu, Bunda,” jelasku. Bunda melepas pelukannya. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, menangkup wajahku. “Ke depannya, kalau orang tua melarang pergi, kamu harus dengerin, ya. Biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Untung baik, Tuhan masih berpihak padamu sehingga terhindar dari marabahaya.” “Iya, Bunda. Maafkan Aluna.” “Bunda itu sangat takut kehilangan kamu, Nak. Bunda sudah pernah merasakan kehilangan anak, dan sekarang
Aku sempat tertegun dengan perbuatan Zavier. Namun, detik kemudian, aku sontak mendorong wajahnya dengan telapak tangan.“Ih, jangan genit di sini. Banyak orang,” bisikku cepat.Akan tetapi, bukannya menjauh, dia malah tetap melingkarkan kedua tangan di pinggangku, seolah dunia milik berdua, yang lain cuma ngontrak.“Ayolah, satu icip aja, Sayang,” bisiknya memohon dengan gaya manjanya yang nyebelin itu. “Kan, gue suami lo. Dosa tau nolak suami.”Aku mendecak pelan. “Enggak bisa, Zav-Zav. Ini tempat umum. Lo mau kita dihakimi massa karena dikira pasangan mesum?”Zavier cemberut, tapi tidak melepas pelukannya. “Hm, baiklah! Ke depannya, jangan main pergi lagi, ya,” katanya, kali ini menatapku serius. “Gue enggak suka lo main pergi gitu aja, mana enggak bilang-bilang dulu. Bikin panik. Itu namanya istri enggak sopan sama suami.”Aku menunduk, menyembunyikan senyum melihat raut wajahnya yang tampak sedikit kesal. Meski begitu, aku j