Aku menarik napas sambil berjalan menuju bangku kayu di belakang sekolah yang sepi.
Larissa dan Maya masih mengikuti dari belakang, tatapan bingung mereka seperti dua anak hilang yang tidak tahu arah tujuannya? Aku duduk bersama Larissa, sementara Maya masih mondar-mandir di hadapan kami sambil mengusap-usap dagu. Sudah seperti Bu RT yang memikirkan cara agar kampungnya dapat bantuan pemerintah. Aku menatap mereka dengan serius sambil berpikir sejenak. Menurut pengamatanku kurang lebih sepekan sekolah di sini, sepertinya mereka berdua orang baik-baik. Tidak seperti si Zavier yang sangat mengesalkan. Maksudku, tidak ada salahnya menjadikan Maya dan Larissa sebagai teman. Mana tahu dengan begitu, aku bisa mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentang Kak Alina seperti saran Tama. Dan, itu akan mempermudah misi pertamaku untuk mengetahui siapa-siapa saja yang pernah terlibat mengganggu saudara kembarku? “Bagaimana mungkin lo bukan Alina?” tanya Maya tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Aku tak menjawab, hanya tersenyum tipis begitu melihat mereka saling berpandangan seperti baru saja mendengar plot twist paling absurd. “Kalau bukan Alina, terus lo siapa?” Larissa ikut bertanya, dahinya berkerut. “Kalian itu mirip banget, kayak berbagi tubuh dan wajah yang sama. Hanya saja, karakter kalian memang berbeda, tapi bisa saja lo itu Alina versi upgrade-nya.” Aku menarik napas panjang. Menatap mereka bergantian lalu bertanya, “Apakah kalian bisa dipercaya?” Mereka mengangguk kompak membuatku menyeringai lebar. “Baguslah. Gue harap kalian berdua bisa bantu dan kerja sama dengan gue.” “Buat apa?” tanya Larissa penasaran Aku mengulas senyum tipis. “Pertama, gue ngasih tau kalian, kalau gue benar-benar bukan Alina, tapi gue Aluna. Kedua, kami saudara kembar.” Mereka langsung membeku, mulut terbuka lebar seperti baru saja melihat alien mendarat di depan mereka. Maya bahkan sampai kedip-kedip seperti menungguku meralat kalimat. “Cuma bercanda, kok!” “Serius lo? Alina punya kembaran? Dia gak pernah cerita kalau punya kembaran.” Suara Maya naik setengah oktaf. “Semua orang ngira lo itu Alina yang tiba-tiba muncul lagi, terus gue pikir Alina dapet kekuatan super buat bangkit dari kematian atau apa?” “Mana ada manusia yang bisa bangkit dari kematian selain di Yaumul Ba’ats?” cibir Larissa. Aku tertawa kecil sambil menggeleng. “Nah, Larissa benar karena Kak Alina benar-benar udah meninggal.” “Pantas saja awal kita ketemu, lo ngatain kita SKSD karena emang iya, sih.” Maya menunduk, tersipu. “Kok setiap presensi di kelas nama lo gak pernah disebut?” “Belum diperbarui datanya kali. Gue kan siswi baru,” jawabku asal sambil terkekeh pelan. “Sebelumnya lo sekolah di mana?” tanya Maya. “Luar negeri. Orang tua mengasingkan gue ke sana setelah dua pekan masuk SMP di sini. Soalnya gue pernah nonjok anak cowok sampai pingsan di sekolah.” Mereka tampak tersentak mendengar pengakuanku. “Gue baru sadar sekarang kalo ternyata lo dan Alina itu berbeda dari segi karakter. Lo cerewet dan sepertinya juga pemberani, sedangkan Alina pendiam banget,” ujar Maya. “Sayangnya, Alina udah gak ada,” kata Larissa dengan raut sedihnya. “Ngomong-ngomong lo mau dibantu apa tadi?” Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Gue ngerasa ada yang ganjal dari meninggalnya Kak Alina. Apakah ada hal yang kalian ketahui tentang dia di sekolah ini?” Mereka saling berpandangan, setidaknya kali ini juga aku melihat tangan Larissa saling meremas dan raut wajah Maya pun langsung berubah. “Kami ....” Maya tercekat, dia mengedarkan pandangan barangkali memastikan tidak ada orang di sekitar kami. Gadis gembul itu segera mengambil tempat di tengah aku dan Larissa. Dia membisikkan sesuatu padaku, tetapi bersamaan dengan itu bel yang menandakan waktu istirahat sudah berakhir tiba-tiba berbunyi. Aku kesal gagal mendapat informasi lebih banyak karena kami kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Meskipun begitu, sesekali pikiranku tertumbuk pada perkataan Maya tadi. Setidaknya, pelan-pelan aku pasti akan menemukan sasaran dendamku. Hari berlalu begitu saja. Akhir pekan terlewat seperti kentut. Dan, kini para siswa kembali pada awal pekan yang berat. Aku yang sedang berjalan santai menuju kelas setelah upacara selesai tak sengaja pandanganku tertuju ke belakang sekolah, di mana ada seseorang yang sedang ... memanjat pagar. Mataku menyipit, pikiran buruk langsung terlintas di benakku. Perlahan, aku mendekat untuk memergoki orang yang sepertinya berniat kabur dari sekolah. Tanpa berpikir panjang, aku berlari ke arah pagar, sontak menarik kakinya yang masih tergantung. Dia yang sudah hampir sampai puncak langsung tergelincir. “Woi! Lepasin kaki gue, kam*ret!” Dia mengerang, mencoba sekuat tenaga tetap bertahan di pagar sambil melihatku yang terus menarik kakinya. “Loh, Zavier?” Aku terkejut melihat wajah pria yang mencoba kabur ini. “Astaga, Alina! Lo lagi! Kan, gue udah bilang jauh-jauh sana. Hidup gue sial mulu kalau ada lo!” geram Zavier masih mencoba bertahan di atas pagar. “Lo juga ngapain manjat pagar?” Aku memicing. “Oh, gue tau ... jangan-jangan lo mau bolos, ya?” “Bukan urusan lo! Lepasin kaki gue!” bentaknya. Aku tak peduli, tetap menarik kakinya, biar dia tidak bolos. Enak saja mau bolos? Katanya punya prestasi di sekolah ini, kenapa malah jadi contoh buruk siswa lain? “Lo itu ketua kelas, Zavier. Harusnya lo ngasih contoh yang baik.” “Gak peduli!” “Oh, jangan-jangan setiap lo ilang di pelajaran perhitungan, lo itu bolos ternyata, ya?” Aku ingat pekan lalu, dia juga tiba-tiba menghilang saat pelajaran perhitungan, padahal di jam lain dia hadir. Dan, sekarang di jam pertama ada Fisika. Terus dia manjat pagar lagi. Zavier menoleh ke bawah, tatapannya kesal. “Lah, emang! Masalah buat lo? Lagipula, gue gak suka Fisika.” Aku tertawa kecil. “Ya kalo gak suka, ngapain lo masuk jurusan IPA? Selain resek, goblok juga lo ternyata!” Zavier menggeram seakan-akan tak terima kalimatku itu. Dia terus berusaha mengayunkan kakinya supaya aku melepaskannya tetapi aku tak membiarkan dia lepas begitu saja. Satu ... dua ... tiga, aku menariknya sekuat tenaga. BRAK! Dia terjatuh. Dan, bokongnya mencium tanah dengan mesra. Aku tertawa puas melihatnya. Sama sekali tak takut meskipun ia menatapku penuh dendam. “Sialan lo!” “Zavier, Aluna! Ada apa ini?” Suara tegas itu membuat kami tersentak dan spontan menoleh ke sumber suara.POV ZAVIERHari-hari kami sebagai mahasiswa telah dimulai. Untungnya, jam masuknya tidak kepagian seperti jam masuk saat sekolah. Hari Senin di kampus juga tidak ada upacara seperti saat sekolah, jadi kesannya lebih santai.Matahari belum sepenuhnya tinggi saat mobil Jeep milikku melaju pelan menuju Fakultas Teknik untuk mengantar Aluna lebih dulu. Ya, meskipun fakultas kami berbeda, aku selalu menyempatkan diri mengantar jemputnya.“Jangan lupa nanti makan siang, walau sibuk dengan tugas,” kataku sambil mencium keningnya pelan.Dia mengangguk sambil tersenyum, lalu membalas dengan mencium tanganku seperti para istri pada umumnya. Aku suka itu. Maksudku, aku suka apa pun tentangnya. Terkadang, meski aku yang kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tugas-tugasku tak lepas dari campur tangan Aluna. Tangannya cekatan, otaknya cukup pintar, dan ... aku yakin Tuhan memberi keindahan yang lengkap dalam dirinya. Keindahan yang patut untuk aku sy
Hari ini, tibalah akhirnya kami pada penghujung status sebagai anak SMA.Tiga tahun penuh drama, tangis, tawa, tugas dadakan di sela-sela masih ingin bermain, telah resmi berakhir. Rasanya absurd kalau mengingat bahwa 2 tahun lalu aku masih berada di sekolah Melbourne. Lalu, pindah ke SMA Pelita Nusantara Indonesia ketika kelas 3 karena diam-diam sibuk menyusun strategi balas dendam.Aku memaksa pulang dan meminta pindah sekolah ke Indonesia karena ingin mencari keadilan, untuk membongkar tabir rahasia di balik kematian saudara kembarku.Namun, siapa sangka ... di tengah luka dan dendam yang memenuhi ruang dalam dada, aku justru menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar balas dendam.Aku bertemu Zavier, pria yang membuat hari pertamaku sekolah di Indonesia sangat menyebalkan, tetapi sekarang justru dengan tidak terduga, dia menjadi suamiku.Meski aku hanya sekolah di sini selama kurang lebih setahun, rasanya seperti seumur hidup. Terlalu
Aku melotot, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulut Zavier.“Bentar-bentar? Lo—lo pacaran sama Mira … biar dia gak gangguin Kak Alina?” tanyaku pelan, masih setengah syok, seperti melihat film yang penuh dengan plot twist.Zavier mengangguk pelan. “Hm. Gue hanya enggak tega liat dia diperlakukan semena-mena terus. Ya, walaupun gue terbilang ditakuti di sekolah, tetapi gue juga punya hati tidak tegaan, Lun. Gue ngerasa perlu bertanggung jawab melindungi Alina karena dia diperlakukan buruk oleh Mira gara-gara Kakak gue. Gue pikir, kalau gue deketin Mira, dia bakal sibuk ngatur hubungan kami dan lupa buat nyakitin Alina.”Aku terdiam. Mulutku terbuka, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Terlalu syok mendengar fakta itu. Belum sempat berbicara, Zavier kembali melanjutkan, “Lo mungkin berpikir itu rada tidak masuk akal, tetapi begitulah faktanya, Lun. Gue enggak punya kuasa buat nasihatin Kakak gue yang jatuh cinta sama
Aku langsung melongo. Tiba-tiba pikiranku isinya kotor semua mendengar pertanyaan Maya yang agak gimana gitu? Untungnya, aku bisa menguasai diri dengan cepat. “Panjang apaan?” “Itu, masa depannya Zavier. Dia bilang panjang, tapi yang bisa memastikan kebenaran omongan dia cuma lo, Lun. Toh, cuma lo yang tau.”“Ih, Maya! Pembahasan lo udah ke mana-mana. Itu rahasia rumah tangga tau, tidak boleh diumbar-umbar,” celetuk Larissa. Pesona Mamah Dedeh-nya sudah keluar.“Tuh, dengerin Bu Ustazah ngomong, May,” cicit Lila sambil terkikik geli.“Jadi, waktu kalian mengaku pacaran, itu sudah nikah?” tanya Maya lagi.“Sudah. Kami ngaku pacaran biar bisa deket-deket tanpa ada yang curiga.” Zavier menjawab apa adanya.Namun, belum sempat ia berbicara lagi, aku meralat dengan tegas. “Dia doang yang mau dekat-dekat, gue tidak.”“Dih, gitu banget.” Zavier menjawil pipiku membuat teman-teman kami berteriak heboh. Astaga! Baru be
Tiba di rumah, Bunda yang duduk di sofa sambil menangis ditenangkan oleh Ibu mertua beranjak begitu melihatku dan Zavier memasuki rumah. Berlari, memelukku membuatku nyaris ambruk karena terdorong ke belakang. Aku bisa rasakan, pelukannya adalah pelukan takut kehilangan. “Kamu selamat, Nak. Bunda syok banget lihat berita pesawatmu kecelakaan,” ucap Bunda di tengah isakannya. “Aku terlambat kena macet ada kecelakaan waktu ke bandara. Jadi, tidak bisa ikut penerbangan itu, Bunda,” jelasku. Bunda melepas pelukannya. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, menangkup wajahku. “Ke depannya, kalau orang tua melarang pergi, kamu harus dengerin, ya. Biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Untung baik, Tuhan masih berpihak padamu sehingga terhindar dari marabahaya.” “Iya, Bunda. Maafkan Aluna.” “Bunda itu sangat takut kehilangan kamu, Nak. Bunda sudah pernah merasakan kehilangan anak, dan sekarang
Aku sempat tertegun dengan perbuatan Zavier. Namun, detik kemudian, aku sontak mendorong wajahnya dengan telapak tangan.“Ih, jangan genit di sini. Banyak orang,” bisikku cepat.Akan tetapi, bukannya menjauh, dia malah tetap melingkarkan kedua tangan di pinggangku, seolah dunia milik berdua, yang lain cuma ngontrak.“Ayolah, satu icip aja, Sayang,” bisiknya memohon dengan gaya manjanya yang nyebelin itu. “Kan, gue suami lo. Dosa tau nolak suami.”Aku mendecak pelan. “Enggak bisa, Zav-Zav. Ini tempat umum. Lo mau kita dihakimi massa karena dikira pasangan mesum?”Zavier cemberut, tapi tidak melepas pelukannya. “Hm, baiklah! Ke depannya, jangan main pergi lagi, ya,” katanya, kali ini menatapku serius. “Gue enggak suka lo main pergi gitu aja, mana enggak bilang-bilang dulu. Bikin panik. Itu namanya istri enggak sopan sama suami.”Aku menunduk, menyembunyikan senyum melihat raut wajahnya yang tampak sedikit kesal. Meski begitu, aku j