[Dia mengenakan kemeja hitam.]
Malam itu, setelah Celia mengirimkan biodata serta foto calon suami sewaannya, Rhein langsung menyetujui. Wanita itu bahkan meminta sang sekretaris untuk mengatur pertemuannya dengan sang kandidat segera.Dan, di sinilah Rhein, di depan sebuah kafe dengan jantung yang berdegup cepat. Matanya memindai, memperhatikan ciri-ciri teman kencannya sesuai dengan instruksi Celia. Saat ia memasuki kafe, seorang pria yang berdiri di pojok ruangan dan melambaikan tangannya, membuat tatapan Rhein segera tertuju padanya.‘Itu … dia, kan?’ batinnya memperhatikan penampilan sang teman kencan.Kemeja hitam lengan panjang yang dilipat hingga ke siku dan celana jeans baby blue, cocok dengan keterangan sang sekretaris. Sambil berjalan menghampirinya, Rhein menilai penampilan pria tersebut dan tersenyum tipis.Ia menyukai pria ini dari penampilannya yang tampak sederhana. Wajahnya juga tak terlalu buruk untuk dipamerkan pada maminya. Dan oh, senyumannya yang menampilkan lesung pipi di salah satu pipinya membuat Rhein sejenak terpesona. Alisnya yang tebal dengan bulu halus tipis di sepanjang rahang kokoh itu membuat sudut bibir Rhein terangkat."Maaf, saya terlambat." Rhein beringsut duduk sambil tetap berusaha terlihat anggun dan elegan.Pria yang sedari tadi berdiri dengan salah tingkah itu hanya mengangguk dan ikut duduk di kursinya. "Tidak apa. Saya juga baru sampai," sahutnya tanpa menatap lawan bicaranya."Namamu Se–?" Rhein mencoba mengingat biodata pria di hadapannya ini."Sean Alexander."Sejak Rhein duduk, pria bernama Sean itu tak sekalipun menatap matanya. Seolah ada batu yang bergelantung di lehernya yang membuat mata pria itu terus-terusan menunduk."Kamu sudah tahu alasan kita bertemu hari ini, bukan?" selidik Rhein menguji.Sean mengangguk lagi, masih dengan kepala yang tertunduk. Rhein tak ambil pusing dengan sikap Sean yang malu-malu. Toh, ini permintaannya untuk mendapatkan pria yang belum berpengalaman."Baiklah. Kalau begitu aku tidak perlu menjelaskannya dua kali padamu. Besok lusa aku akan mengajakmu bertemu dengan orang tuaku. Bila kamu setuju, segera kabari aku besok pagi!""Kenapa harus besok?” Sean dengan cepat menyahuti tantangan Rhein. “Saya bisa menemui orang tua anda sekarang bila memang diperlukan!"Rhein terbelalak mendengar jawaban Sean. Tadinya ia pikir, Sean butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Sifatnya yang malu-malu, membuat Rhein mau memberikan kesempatan dua hari untuk pria itu berpikir ulang sebelum menyetujui ajakannya. Namun, di luar dugaan, Sean malah sangat bersemangat untuk mempercepat proses perkenalan mereka."Kamu … yakin?” tanya Rhein sanksi. “Kamu tidak boleh mundur setelah bertemu dengan orang tuaku, karena kontrak kita akan dimulai setelah mamiku setuju dengan hubungan kita."Rhein memperhatikan gelagat Sean yang terlihat sedikit gelisah.Meski begitu, ternyata jawaban Sean cukup memuaskan. Alih-alih mundur, pria itu justru menganggukkan kepala menyanggupi tantangannya. "Saya yakin. Saya akan melakukan yang terbaik. Saya tidak boleh kehilangan pekerjaan ini!" putus Sean dengan bersungguh-sungguh.Tatapan keduanya bersirobok untuk beberapa detik, akan tetapi Sean lekas menunduk kembali dengan wajah memerah. Entah mengapa jantungnya berdetak sangat kencang bak genderang perang setiap kali menatap wajah yang ayu nan menggoda itu. Sean menyukai setiap inci bagian di wajah yang sangat sempurna itu, terutama matanya. Rhein memiliki mata yang sangat hidup dan memabukkan."Kamu yakin?" ulang Rhein memastikan.Ia tak mau Sean menyesal di kemudian hari. Meskipun ini akan menjadi kontrak kerja pertama pria itu, Rhein tak mau memaksanya.Dengan memberanikan diri, Sean mengangkat kepalanya dan membalas tatapan wanita yang mulai detik ini akan menjadi partner kerjanya."Saya yakin. Mari kita selesaikan ini secepatnya!"**"Ya, ampun!! Kenapa nggak bilang dulu kalo mau ke sini bawa pacarmu, Rhein!" omel Veronica sembari mempersilakan pria yang berdiri di belakang putrinya. "Masuklah, Nak! Mari-mari masuk!"Sean mengulas senyuman. Sambil melangkah masuk ke dalam rumah yang cukup mewah itu, Sean memperhatikan Rhein yang menghilang di balik ruang tamu."Duduklah. Tunggu sebentar, ya! Kamu mau minum apa?" tawar Veronica panik."Tidak perlu repot-repot, Tante.""Tidak repot, kok! Tante buatkan minuman hangat, ya? Tunggu di sini sebentar!" Veronica bangkit dan ikut menghilang begitu saja.Sementara itu di dapur, Rhein baru saja meneguk air hingga tandas sebelum kemudian maminya muncul dengan tergesa-gesa. Dengan wajah menahan kesal, Veronica melayangkan pukulan kecil di bahu putrinya hingga membuat Rhein memekik kaget."Mami!""Dasar, kamu ini, ya! Kenapa nggak bilang dulu kalo mau ajak dia ke sini. Mami kan bisa siap-siap dandan atau masakin yang spesial buat kalian!" gerutu Veronica sembari mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, kemudian memanggil ART yang sigap datang sambil tergopoh-gopoh. "Mbok, bikinin minuman hangat buat calon menantu saya! Buruan!”Setelahnya, Veronica menggamit lengan putrinya dengan wajah sumringah, meninggalkan Mbok Sih yang masih tertegun mendengar kata 'calon menantu'. “Ayo, Rhein, kasihan pacarmu ditinggal di ruang tamu sendirian!"Di ruang tamu yang didominasi oleh warna tosca dan putih, Sean dan Rhein duduk berdampingan dengan Veronica berada tak jauh dari mereka. Selama di mobil tadi, Rhein sudah memberi kisi-kisi tentang skenario yang harus mereka ceritakan pada sang mami. Ia tak mengijinkan Sean banyak bicara untuk meminimalisir kesalahan. Latar belakang keluarga Sean dan lain sebagainya juga sudah dijelaskan secara rinci oleh Rhein selama di mobil. Wanita itu hanya berharap, semoga tak ada yang dilupakan oleh pria pemalu itu."Jadi selama ini kalian sudah berhubungan selama 2 tahun?" tanya Veronica membuka percakapan.Dua insan yang sedang berakting itu mengangguk sembari saling bertatapan. Tangan kiri Rhein yang masih dibebat oleh gips membuatnya kesusahan untuk menggenggam tangan Sean yang berada di sisi kiri tubuhnya. Pada akhirnya, ia hanya menyandarkan kepalanya di bahu lebar pria itu demi terlihat mesra oleh sang mami.Sean? Tentu saja dia syok dengan kelakuan wanita yang sangat berbeda dari sosok Rhein yang ia jumpai tadi. Meskipun Rhein sudah mengingatkannya untuk bersikap mesra dan sesekali melakukan physical touch, nyatanya sekujur tubuhnya masih terlalu kaku untuk menyentuh atau merespon perlakuan wanita cantik itu."Kenapa merahasiakannya begitu lama dari Mami? Kamu takut Mami nyuruh cepet nikah?""Tujuan kami berhubungan memang untuk menikah, kok! Ya kan, Sayang?" tukas Rhein sembari melihat ke arah Sean.Yang ditatap tentu saja gelagapan, terlebih ini pengalaman pertamanya berakting sebagai kekasih palsu."Tentu saja. Kami akan segera menikah, Tante." Sean menjawab sembari membalas tatapan hangat Rhein padanya."Ah, kalian manis sekali,” puji Veronika yang terus melebarkan senyum sedari tadi. “Tapi ngomong-ngomong, siapa namamu, Nak?"Sean dan Rhein tertawa mendengar pertanyaan itu."Nama saya Sean Alexander.""Sean Alexander?" Veronica memotong dengan cepat, ia nampak berpikir sejenak. "Sepertinya nama itu familiar."Rhein mengibas-kibaskan tangannya ke udara. "Mami terlalu banyak nonton drama! Makanya nama itu terdengar nggak asing," seloroh Rhein.Tak ingin panjang lebar mengurusi nama yang tak asing untuknya, Veronika pun mengiyakan ucapan Rhein dengan mudah. "Ah, benar! Sepertinya namamu mirip dengan pemain drama yang pernah Mami lihat. Jadi, kapan kalian berdua akan menikah?"Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p