Share

Hari Pernikahan

“Mami kenapa masih nangis? Kan, harapan Mami sudah Rhein kabulkan.”

Jawaban atas pertanyaan Veronica akhirnya terlaksana satu bulan berikutnya. Meskipun terkesan mendadak, akan tetapi Rhein berhasil meyakinkan maminya bila ia sudah tak sabar untuk segera menikah dengan kekasih palsunya. 

Dan prosesi pernikahan berlangsung dengan khidmat sejak pagi. Hanya sebuah pesta sederhana yang intim dengan jumlah tamu terbatas. Rhein sengaja beralasan pada Veronica bahwa ia ingin pesta yang bisa dikenang seumur hidup bersama orang-orang yang ia sayangi.

Melihat putri kesayangannya kini telah resmi menjadi istri, membuat Veronica menangis sepanjang acara. Semua berjalan begitu cepat dalam ingatannya, terasa masih kemarin ia menyusui Rhein dan mengantarnya sekolah TK. Kini, anak gadisnya itu telah menjadi wanita cantik yang mapan.

Sang mami hanya mengangguk sambil mengulas senyuman. Ia memperhatikan anak dan menantunya yang kini sedang sungkem padanya.

"Mami nitip jaga Rhein ya, Sean. Jangan pernah buat Rhein menangis. Karena air mata Rhein juga air mata Mami." Sambil kembali mengusap air matanya yang tak henti berlinang, Veronica menatap Sean penuh harap.

Entah mengapa meskipun semua ini hanyalah pernikahan yang telah direncanakan, Sean merasa ia sudah berjanji dihadapan Tuhan. Sepertinya, ia terbawa suasana karena momen ini adalah pekerjaan pertamanya. Di samping itu, Rhein yang sangat cantik dengan balutan gaun broken white berkerah sabrina, membuat Sean merasa ia sedang menikah betulan dengan wanita itu.

"Saya berjanji akan menjaga Rhein dengan sangat baik, Tante. Jangan khawatir."

Hanya kalimat itu yang bisa Sean sampaikan. Bukankah berjanji dihadapan Tuhan tidak bisa dianggap main-main? Jadi, selama kontrak mereka berlangsung dua tahun ini, ia akan merealisasikan janjinya pada Veronica.

"Terima kasih, Nak. Mulai sekarang panggil aku Mami. Bukankah aku sudah menjadi orang tuamu mulai hari ini?" tandas Veronica.

Dengan senyuman yang masih menghiasi wajah tampannya, Sean mengangguk.

"Iya, Mi."

Acara pun berganti, setelah sesi meminta restu dan foto-foto, kini kedua mempelai beramah-tamah menyapa para tamu yang sebagian besar adalah tamu Rhein. Tentu saja Sean tak banyak mengenal mereka dan memilih untuk menurut saja ketika Rhein memperkenalkan dia pada para tamu. 

"Semua tamu di sini adalah keluarga besarku. Jadi sebisa mungkin jangan banyak bicara dengan mereka, atau kamu akan terjebak dengan perkataanmu sendiri nanti." Rhein mendekat ke telinga  Sean dan berbisik.

Dengan pasti Sean mengangguk. Ia tak begitu suka berinteraksi dengan orang banyak seperti ini karena sangat melelahkan dan menguras energi. 

"Sean, perkenalkan ini sahabat baikku, namanya Ralphael Fernando!" Rhein yang sejak tadi menggamit lengan suaminya lantas membawa Sean menemui seorang pria yang berdiri sendirian di pojok ruangan. Akhirnya, setelah sekian lama sibuk, Ralph bisa menghadiri pernikahan sahabatnya yang sangat mendadak ini.

Sean mengulurkan tangan, akan tetapi Ralph tak menyambut tangan itu hingga perlahan Sean pun menarik kembali tangannya dengan keki. Menyadari suasana yang cukup kaku di antara kedua pria itu, Rhein akhirnya melepas lengan Sean dan berganti menggamit lengan sahabatnya.

"Ralp, bersikap baiklah pada Sean hari ini saja!" bisik Rhein di telinga sahabat baiknya itu. Rhein tau, sahabatnya itu menentang rencananya sedari awal. Namun, Ralp pun tak bisa membantu banyak. Rhein tak bisa meminta bantuan Ralp, karena orientasi pria itu yang menyimpang.

Ralp hanya tersenyum kecut, ia menyesap sedikit cocktail yang sejak tadi menemani kesendiriannya dan menatap tajam pada Sean.

"Siapapun kamu, jagalah sikapmu dengan baik selama hidup bersama Rhein. Aku akan mengawasimu, Buddy!"

Sebuah tepukan dibahu membuat kesadaran Sean kembali. Ia membalas tatapan tajam Ralp yang seolah-olah mencurigai dan mengintimidasinya.

"Jangan khawatir. Aku tahu batasanku," janji Sean dengan yakin. "Dan satu lagi, namaku Sean. Bukan Buddy!"

Usai mengatakan kalimat itu, Sean berbalik badan dan meninggalkan Rhein begitu saja. Tidak, ia tidak cemburu, ia hanya kesal karena diremehkan oleh pria itu! Sambil mengayunkan langkah lebar menuju meja berisi aneka makanan serta desert, Sean mencomot sepotong cake dan melahapnya. 

Dari kejauhan, Ralp mengerutkan dahi memandang heran pada suami sewaan sang sahabat.  “Sepertiya dia terlalu mendalami peran.” Ralp kemudian menatap ke arah Rhein yang menatapnya bingung. “Suamimu, sepertinya dia cemburu.”

Setelahnya, Rhein justru tertawa. Para tamu undangan, juga Sean bahkan turut menoleh ke arah mereka berdua. Rhein berbisik usai menghentikan tawanya dan menggantinya dengan senyuman. “Jangan bercanda, Ralp. Kami tidak akan pernah jadi pasangan sesungguhnya!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status