"Carikan seorang suami untukku!"
Tak ada hujan, tak ada petir, pernyataan sekaligus perintah mutlak itu membuat suasana ruang kerja CEO wanita mencekam. Dialah Rhein Edith. Wanita bernetra dark grey, berhidung mancung dan tinggi semampai, berambut coklat ikal yang berkilauan saat diterpa sinar matahari bak aktris Bollywood itu memang memiliki aura yang begitu memancar.Setiap Rhein melangkah, lenggak-lenggok pinggulnya yang ramping serta kakinya yang jenjang membuat mata pria lelaki normal pasti terpana. Puluhan pria konglomerat berlomba-lomba mencari perhatian demi bisa mempersunting Rhein. Namun sayangnya, wanita mandiri itu tak berniat untuk terikat dengan pria manapun. Rhein terlalu nyaman hidup sendirian hingga usianya berada di ujung angka 20 tahun."S-Suami?" Celia, Sekretaris sekaligus orang kepercayaan Rhein, mendadak tercekat karena tak percaya, ketika mendengar perkataan bosnya. "Anda sudah ingin menikah, Miss?"Rhein menganggukkan kepalanya dengan yakin, membuat kerutan di dahi sang sekretaris semakin kentara. Bagaimana tidak, permintaan dari wanita itu begitu mendadak.Rhein menghela napas panjang sebelum berujar. "Mamiku divonis tidak bisa bertahan lebih dari 2 tahun. Keinginan terbesarnya selain melihatku sukses adalah melihatku menikah dengan pria yang menyayangiku.” Tatapannya yang semula kosong saat merenung, mendadak berubah menjadi sorot tajam pada Celia yang masih mematung di depan mejanya. “Carikan segera laki-laki yang cocok untukku, Celia!""B-baik, Miss. Saya akan mencarikan pria yang cocok untuk anda.” Celia mengangguk dengan tablet yang berada di pelukannya.“Satu lagi.” Rhein mengangkat sebelah tangannya, mencoba mengultimatum sang sekretaris. "Aku tidak mau pria sembarangan. Kamu tahu bagaimana seleraku pada pria, kan?" Di hadapannya, Celia mengangguk cepat. Sebelum sekretaris bermata empatnya itu bersiap membuka mulut, Rhein kembali berujar. "Aku akan membayar berapapun, selama dia mau menuruti semua perjanjian yang akan aku buat," cetus Rhein dengan sorot mata angkuh khasnya."Baik, Miss. Saya akan menghubungi beberapa agency rahasia yang terpercaya secepatnya!""Bagus! Kabari aku hasilnya besok pagi!"**“Argh! Aku tidak sanggup lagi menyetir!”Malam itu, karena penatnya pikiran yang mendera beberapa hari belakangan, Rhein memutuskan untuk bersenang-senang sebentar di kelab malam hingga berakhir mabuk seperti sekarang. Jarak antara kelab dan apartemennya yang sebenarnya cukup dekat, jadi terasa sangat jauh karena mobil Rhein berputar arah, karena kepalanya yang terasa pusing luar biasa.Tak ingin mengambil risiko lebih parah, Rhein memutuskan berhenti di pinggir jalan. Ia akan tidur sebentar untuk menetralkan mabuknya. Hanya dalam hitungan detik, Rhein sudah benar-benar terlelap bak orang pingsan.Sementara itu, beberapa orang pria dengan motor yang bising nampak tertarik melihat mobil Rhein yang terparkir di pinggir jalan. Mereka mendekat, dan berbinar begitu melihat sosok pemilik mobil itu tengah tertidur.“Ketok, lah, cewek doang!”Dok! Dok! Dok!"Woi, bangun, woi! Enak aja lo tidur di sini! Bayar, woi!" Pria bertato di pergelangan tangan itu mengetuk jendela kaca mobil sambil menempelkan wajahnya di dekat kaca.Rhein mengerjapkan matanya karena merasa terganggu oleh ketukan, juga mobilnya yang terasa bergoyang. Masih dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, ia dengan bodohnya membuka pintu dan keluar, tanpa menimbang risiko yang mungkin ia terima."Ada apa?" tanya Rhein sembari mengurut keningnya yang berdenyut pening."Bayar! Lo pikir, parkir di sini gratis?!" sosor pemuda bertato itu sembari menelisik penampilan Rhein yang mahal."Oh." Rhein mengibaskan tangannya ringan, kemudian bergerak kembali ke dalam mobil untuk mengambil dompet. Setelahnya, ia mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan memberikan uang itu pada lelaki tadi."Segini doang? Lo tau nggak udah berapa lama lo parkir di sini?" Pria bertato itu menunjuk jam murahan di tangannya. "Dua jam!""Ya terus gue harus bayar berapa!?" Rhein mulai kesal. Kepalanya masih pusing, ditambah lagi para ‘preman’ yang mencoba memerasnya."Eh, nyolot dia! Lo belum tahu siapa raja daerah sini, hah?""Ya, mana gue tau!""Malah nantangin nih cewek!" Pria bertato itu mencekik leher Rhein hingga membuat wanita itu tersentak dan terdorong ke mobil.“Lepas, sialan!” Rhein meronta-ronta dengan napas tersendat. Ia mencoba melepas belitan tangan preman itu dari lehernya, akan tetapi tenaganya sebagai seorang wanita kalah telak. Kakinya bahkan dirasa makin naik dan tak lagi menapak aspal. Wajahnya sudah membiru, ia pun didera ketakutan luar biasa.‘Tuhan, tolong kirimkan siapapun untuk menolongku!’ doanya dalam hati.Saat ia memejamkan mata dan bersiap untuk kemungkinan yang terburuk, seruan seorang pria terdengar lantang."Lepasin dia!"Belitan erat di leher Rhein sontak mengendur. Hal itu dimanfaatkan oleh wanita itu untuk meminta tolong di sela napasnya yang masih tersendat. “To-long!”“Si*alan! Berani lo ganggu kita?!” Para preman kompak murka dengan pria ksatria yang muncul tiba-tiba itu.Kadung emosi, tubuh Rhein pun dibanting tanpa belas kasihan.“Argh!”Rhein memegangi pergelangan tangannya yang begitu sakit. Samar, sebelum Rhein kehilangan kesadaran, ia mendengar pria baik hati itu berteriak ke arahnya.“Bertahanlah sebentar!”Lantas semuanya menjadi gelap. Rhein tak sanggup lagi membuka mata.Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p