Share

Kejutan Pertama

Lantunan biola terdengar semakin mendayu-dayu, pria berdasi yang membawa buket bunga itu mempersilahkan Rhein dan Sean untuk duduk di sofa. Tak ada pilihan lain selain menurut, keduanya duduk berdempetan tanpa jarak dengan jemari saling bertautan. Sebuket bunga mawar lantas diserahkan oleh pria tadi, Rhein menerimanya dengan wajah berbinar. Kali ini bukan akting, karena Rhein memang sangat mencintai bunga!

Setelahnya, pria tadi menuangkan wine di gelas berkaki tinggi dan membawanya pada sepasang suami-istri itu. Dengan canggung, Rhein menyesap minuman berwarna ungu kemerahan itu perlahan-lahan, ia tak boleh mabuk! Tidak sekarang!

Sementara Rhein bergulat dengan batinnya, Sean justru sangat menikmati suasana romantis yang terjadi. Ia meneguk wine mahal itu sesekali sambil mengeratkan genggamannya. Andai saja setelah ini mereka tidur bersama, pasti segalanya akan menjadi lebih sempurna!

Setelah sekitar satu jam berlalu, pertunjukan singkat itu akhirnya usai. Betapa leganya Rhein dan Sean setelah lima pria itu keluar dari kamar mereka. Sungguh, momen yang harusnya berjalan dengan romantis, justru terasa awkward karena Sean dan Rhein tak melakukan persiapan apapun dengan penampilan mereka berdua. Sean mengenakan celana training dan T-shirt lengan panjang, sementara Rhein masih mengenakan bathrobe dengan underwear dibaliknya. Sangat tak romantis dan memalukan!

Rhein bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk mengenakan piyama tidurnya sambil mengomel.

"Awas saja kalo mami melakukan hal konyol seperti itu lagi!" dengusnya geram.

Saat hendak naik ke tempat tidur, ia mendapati Sean sedang berusaha menyamankan tubuhnya di atas sofa panjang. Tatapan mereka bersirobok untuk beberapa detik. Namun, dengan cepat Rhein berpaling sebelum ia mulai iba.

Dua puluh menit kemudian, Rhein yang sudah bersembunyi dibalik hangatnya selimut, mengintip Sean yang masih bergerak tak nyaman di atas sofa itu.

"Aku tidak bisa tidur selama di pesawat."

Ucapan pria itu kembali terngiang dan membuat Rhein mendesah galau. Ranjang yang ia tempati cukup besar untuk ditiduri seorang diri, akan tapi mengijinkan Sean tidur di sebelahnya juga bukan ide yang bagus!

Suara berisik dari gesekan tubuh Sean dan sofa yang terbuat dari kulit membuat Rhein beringsut duduk dengan sangat terpaksa. Sepertinya reaksi alkohol dari wine itu sudah merasuki otaknya.

"Kemarilah, Sean. Tidurlah di sini."

.

.

Bagaimana rasanya memenangkan lotere ketika kamu sedang tak memiliki uang sepeser pun?

Itulah yang saat ini Sean rasakan ketika Rhein menawarkan untuk tidur di satu ranjang yang sama dengannya. Kesempatan emas tak boleh disia-siakan begitu saja, bukan?

"Apa kamu yakin?" Sean mengawasi Rhein yang terlihat ragu.

Melihat wanita itu mengangguk, rasanya jantung Sean ingin melompat saat itu juga. Ia bangkit dari sofa sambil menenteng bantalnya.

"Tapi dengan satu syarat! Jangan macam-macam dan melewati batas ini!" Rhein memberi garis batas tak kasat mata di tengah-tengah ranjang dengan menggunakan jari telunjuknya yang runcing. "Mengerti!?" pungkasnya sembari menatap Sean dengan tajam.

Dengan cepat, Sean mengangguk. Ia sudah sangat mengantuk dan lelah. Menyetujui apapun yang 'istrinya' itu inginkan pastinya akan mempercepat proses istirahatnya di atas ranjang empuk itu!

"Baiklah. Awas saja kalo besok kamu--"

"Bisakah aku naik ke sana sekarang?" Sean menunjuk sisi ranjang yang kosong dengan putus asa. "Aku sangat lelah, Rhein," imbuhnya.

Rhein mengangguk. Ketika Sean perlahan naik ke sisi sebelah ranjang yang kosong, wanita itu menahan napas dan lekas merebahkan diri. Rhein pasti sudah benar-benar mabuk! Bisa-bisanya ia mengundang Sean untuk tidur di ranjang yang sama!?

Alih-alih tidur karena lelah, Rhein justru tak bisa menutup mata. Suara dengkuran halus dari sisi kanan ranjangnya membuat dada wanita itu berdesir hangat. Seperti inikah hidup sebagai suami istri? Tidur seranjang dengan pria dan menghabiskan waktu bersama-sama seharian?

Biasanya Rhein sangat membenci suara berisik apapun saat sedang tidur, akan tetapi kali ini suara hembusan napas Sean terdengar sangat merdu dan sopan. Apa-apaan ini! Tidak mungkin ia terbawa suasana secepat ini! Pasti semua ini gara-gara wine sialan itu, logika Rhein kalah telak dibanding perasaannya.

Entah di menit ke berapa, bola mata indah berwarna dark grey itupun akhirnya menutup perlahan. Rhein larut dalam dunia mimpi.

"Arrrg!!"

Suara teriakan melengking yang dibarengi dengan dorongan tangan seseorang dibagian dadanya secara paksa, membuat Sean seketika membuka mata. Yang pertama tertangkap oleh indranya adalah sosok Rhein yang mendekap tubuh dibalik selimut tebal.

Tunggu, tunggu dulu ... Ada apa ini sebenarnya?

Sean beringsut duduk dengan bingung. Ia memperhatikan pakaiannya yang masih utuh.

"Sudah kubilang, kan, jangan melewati batas ini!!" jerit Rhein sembari menggarisi batas yang ia buat semalam. "Kamu melanggar kesepakatan kita, Sean!"

"Apa aku menidurimu?" tanya Sean cemas, tapi bila memang benar demikian harusnya mereka berdua sudah telanjang bulat sekarang!

"Kamu tidur sambil memelukku!" sungut Rhein sembari melemparkan sebuah bantal ke arah pria yang sejak semalam tidur seranjang dengannya.

Dengan sigap, Sean menangkap bantal itu sebelum tepat mengenai wajahnya.

"Maaf, Rhein. Aku tidak sengaja!" pinta Sean memelas sembari mengembalikan bantal itu pada 'istrinya'.

Rhein merampas bantal itu dan kembali melemparkannya ke arah Sean. Kesal karena pria itu bisa menangkap lemparannya dengan sigap, Rhein akhirnya turun dari ranjang.

"Nanti malam kamu tidur di sofa! Aku nggak peduli meskipun kamu akan tidur sambil duduk atau kayang sekalipun! Kamu dilarang mendekati ranjangku lagi!" omelnya sembari berlalu ke kamar mandi.

Sean tersenyum mendengar omelan sang 'istri'. Ini seperti menjalani kehidupan rumah tangga yang sebenarnya. Di mana setiap pagi semua wanita pasti akan mengomel dan mengomentari hal-hal sepele lantas menjadikannya hal besar yang ujung-ujungnya menjadi kesalahan para pria.

"Enak saja tidur di sofa, aku akan membuatmu betah tidur di dekatku mulai hari ini!" janji Sean sepenuh hati.

Karena tak sempat menikmati fasilitas yang disediakan hotel di hari pertama, akhirnya Sean memutuskan untuk mencoba fasilitas infinity pool yang tersedia keesokan harinya. Untuk pertama kalinya ia berenang di kolam dengan suhu udara 0° Celcius.

Sambil menikmati kolam air hangat itu, Sean menoleh ke sisi kanan di mana balkon kamarnya berada. Rhein masih mandi ketika ia memutuskan keluar dan berendam di kolam ini.

Sementara itu di kamar hotel, Rhein yang tak menemukan Sean di dalam kamar pada akhirnya memilih untuk menonton film. Udara yang cukup dingin di luar membuat Rhein merapatkan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya.

"Dari mana kamu?" tanya Rhein ketika melihat Sean masuk ke dalam kamar sambil mengenakan bathrobe.

"Berenang." Sean menyahut sambil berlalu ke kamar mandi.

Berenang?

Rhein mengerjapkan matanya untuk mencerna kembali perkataan Sean. Berenang di suhu sedingin ini? Apa Sean sudah sinting?

Tak berapa lama, Sean keluar dengan mengenakan pakaian yang lebih rapi. Ia memperhatikan Rhein yang masih berada di atas ranjang sambil sesekali menggigil kedinginan.

"Kamu tidak mau turun untuk sarapan?" ajak Sean sembari mengenakan arlojinya dan menoleh sekilas pada Rhein.

"Apa sarapannya nggak bisa diantar ke kamar? Kakiku membeku, Sean!" keluh wanita itu.

Tanpa banyak bicara, Sean mendekat ke perapian dan menata beberapa kayu kering di tengahnya. Setelah memastikan membuka penutup cerobong, Sean menyalakan korek dan membakar kertas yang sudah ia tata di bawah kayu-kayu kering itu.

Dalam sekejap, kamar yang tadinya sedingin kulkas kini menjadi sehangat microwave. Rhein memperhatikan cara Sean menyalakan api di perapian itu dengan seksama.

"Apa kamu juga memiliki perapian di rumahmu?" selidik Rhein kepo.

Tak mungkin Sean paham dengan cara menyalakan perapian bila tidak terbiasa melakukan itu sebelumnya. Terlebih Sean tahu bagaimana caranya membuka penutup cerobong sebelum menyalakan api.

"Kamu tidak mau ikut sarapan?" Sean balik bertanya untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka berdua.

Sepertinya ia terlalu banyak bertingkah hingga membuat Rhein curiga.

"Baiklah, aku ikut. Kamu turunlah dulu nanti aku menyusul!"

Di restoran.

Sean memilih menu kaya protein untuk mempertahankan staminanya selama berada di suhu dingin. Dua porsi chicken breast dengan siraman saus lemon serta salad sayuran dan sedikit mashed potato. Sambil memperhatikan danau Lucerne dari balik jendela restoran, Sean melahap sarapannya perlahan.

Rhein tiba sepuluh menit kemudian dan duduk di meja yang berbeda. Sean hanya menoleh sekilas pada 'istrinya' itu lantas kembali fokus menyantap menu favoritnya.

"Rhein?"

Suara lelaki yang memanggil namanya sontak membuat Rhein menoleh dan mendelik tak percaya.

"Harvey!?" Rhein bangkit dan berhambur memeluk pria di hadapannya dengan erat. "Bagaimana kamu bisa ada di sini?" imbuh Rhein seolah tak percaya dengan penglihatannya.

Pria bernama Harvey itu mengurai pelukan dan menatap Rhein cukup lama.

"Aku sedang mengunjungi kolegaku. Kamu sendiri bagaimana bisa terdampar di tempat ini?"

Sean menoleh untuk mendengar jawaban Rhein. Diam-diam ia menguping dari mejanya.

"Aku..." Rhein melirik Sean yang sedang menatapnya. "Aku sedang mengadakan riset untuk salah satu produk terbaruku, Harv!" lanjut wanita itu berdusta.

Cih!

Sean tersenyum kecut saat mendengar jawaban 'istrinya' itu. Ia kembali melanjutkan sarapannya dan memilih untuk menulikan kedua telinga.

"I see ... Kamu semakin sukses dengan bisnismu, Rhein! Aku bangga padamu!" puji Harvey tanpa menyadari bila seorang pria yang sedang duduk di belakangnya mulai cemburu.

"Sure! Apa kamu sendiri? Sarapanlah denganku sebentar." Rhein menunjuk mejanya yang terisi penuh oleh makanan.

"Sayang sekali, aku harus segera ke bandara untuk kembali ke London. Kapan-kapan saja kita makan bersama jika aku pulang ke Indonesia, bagaimana?"

"Kamu sudah berjanji, Harv! Awas saja jika tak segera pulang ke Indonesia!"

Terdengar suara tawa keduanya memecah keheningan di restoran yang mulai sepi. Sean meraih gelasnya dan meneguk teh herbal itu hingga tandas.

'Siapa Harvey ini? Mengapa Rhein terlihat sangat akrab dengannya?' batin Sean penasaran.

Setelah mereka berpisah, Sean berbalik badan dan menatap Rhein yang melahap sarapannya.

"Apa lihat-lihat!?" gerutu Rhein karena cara Sean menatapnya terlihat menyeramkan, seperti hendak menerkam dan mengunyahnya hidup-hidup.

"Tidak apa. Aku kembali dulu ke kamar. Bisa serahkan kuncinya padaku?" Sean menadahkan tangan pada wanita yang masih menatapnya penuh curiga.

"Nih!" Rhein menyerahkan kartu kamar mereka berdua tanpa menoleh.

Sean mengantongi kartu itu sambil berterima kasih dan pergi. Ia tak menyadari bila di dalam kamar mereka berdua saat ini ada kejutan lain yang sedang menanti.

Ketika keluar dari lift, sepanjang jalan menuju kamar yang dipenuhi oleh kelopak bunga mawar membuat pria itu mengernyit curiga. Karena merasa firasat buruk, Sean memilih menunggu hingga Rhein selesai sarapan.

"Apa ini, Sean?" Rhein yang baru keluar dari lift, mendadak bingung melihat hamparan kelopak bunga mawar di sepanjang koridor menuju kamar mereka.

"Aku juga tidak tahu. Itulah kenapa aku menunggumu untuk masuk ke dalam!" Sean menyodorkan kembali kartu kunci pada Rhein dengan gesit.

Setelah menempelkan kartu itu pada sensor di handle pintu, Rhein mendorong pintu kamar dengan ragu. Benar saja, seluruh lantai yang telah tertutupi oleh kelopak mawar membuat keduanya mematung tak percaya.

"Apakah ini kejutan dari mami?" desis Rhein terheran-heran.

Sepertinya berlalu banyak menonton film telah membuat ide brilian di otak Veronica bermunculan. Dan Rhein adalah korban dari ide-ide gila itu.

"Sepertinya begitu." Sean menjawab sembari meringsek masuk ke dalam kamar.

Melewati ribuan kelopak yang berhamburan di lantai tak pelak membuat Rhein merasa sayang untuk menginjakkan kakinya. Ia berjalan sambil menepikan kelopak-kelopak itu ke tepian.

Tiba di ranjang. Tubuh Sean yang kembali membeku, membuat Rhein seketika penasaran pada apa yang sedang dilihat pria itu. Ia mendekat dan terbelalak tak percaya melihat lingerie, borgol, cambuk serta sex toys lain ditata dengan sangat rapi di atas ranjang. Tak lupa juga ada sebuah celana dalam pria yang berlubang di bagian tengahnya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status