Share

Bab 4: Mata di Kursi Belakang

Author: ulfaz
last update Last Updated: 2025-08-11 22:14:58

Jantungku seolah berhenti berdetak.

Bayangan itu masih di sana—tidak bergerak, tidak bersuara, hanya sepasang mata yang mengawasi dari cermin tengah.

Tanganku meraih gagang pintu, tapi kemudian terhenti. Kalau aku keluar sekarang, aku akan basah kuyup dan kehilangan kesempatan mengetahui siapa dia.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

“Aku tahu kamu di sana,” ucapku pelan, nyaris berbisik.

Tidak ada jawaban.

Tapi aku tahu dia mendengar.

Karena mata itu… berkedip.

Dengan hati-hati, aku meraih ponsel dan menyalakan kamera depan, mencoba memantulkan bayangannya di layar. Tapi sebelum aku sempat memotret, bayangan itu bergerak cepat—dan suara pintu belakang terbuka terdengar di telingaku.

Aku menoleh. Kosong.

Jalanan sepi, hanya sisa hujan yang menetes dari atap.

Kupandangi jok belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda pintu terbuka. Bahkan kaca jendela masih berembun.

Seolah… tidak pernah ada orang di sana.

Aku menyandarkan kepala di setir, mencoba mengatur napas.

Ini terlalu aneh.

Kalau semua ini hanya permainanku sendiri, berarti aku sudah gila. Tapi kalau bukan… berarti ada seseorang yang bermain sangat rapi.

Ponselku bergetar lagi.

Kali ini pesannya singkat:

"Berhenti mencarinya, Rani. Dia tidak sebersih yang kamu kira."

Darahku berdesir. “Dia” yang dimaksud jelas Adrian.

Tapi siapa yang mengirim ini? Dan kenapa mereka ingin aku berhenti?

Tanganku gemetar. Tapi di balik rasa takut itu, ada rasa penasaran yang justru membakar.

Berhenti? Tidak. Aku justru akan semakin mencari tahu.

Aku menyalakan mesin mobil dan memutar arah. Daripada pulang, aku memutuskan kembali ke kafe.

Setidaknya aku harus tahu apakah Adrian masih di sana.

Namun, saat aku tiba, lampu kafe sudah padam. Pintu terkunci. Hanya ada seorang petugas kebersihan yang menyapu trotoar di seberang jalan.

“Maaf, kafe itu tutup jam berapa tadi?” tanyaku.

“Sekitar setengah jam lalu. Ada pasangan yang keluar dari pintu belakang, kelihatannya buru-buru.”

Pasangan. Aku tidak perlu menebak siapa.

Tapi kenapa lewat pintu belakang?

Aku kembali ke mobil, tapi sebelum masuk, aku melihat secarik kertas terselip di bawah wiper kaca.

Kertas itu basah, tapi tulisannya masih bisa kubaca:

"Kalau mau jawaban, datang ke Hotel Rave pukul 23.00. Sendirian."

Aku menelan ludah. Hotel Rave. Tempat itu terkenal… bukan karena reputasi baiknya.

Tapi jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan 22.45. Kalau aku mau ke sana, aku punya waktu kurang dari lima belas menit.

📍 Sementara itu – Adrian

Aku menutup laptop, memijit pelipis.

Rani pasti sudah curiga. Aku bisa merasakannya. Dia terlalu pintar untuk tidak menyadari perubahan sikapku beberapa minggu terakhir.

Namun, yang membuatku resah bukan itu.

Telepon tadi… suara itu… seakan orang itu tahu seluruh langkahku.

Ponselku berdering lagi. Nomor yang sama.

Kali ini aku mengangkat lebih cepat. “Siapa kau?”

Suaranya terdengar seperti senyum sinis yang dibungkus kata-kata.

“Kau pikir hanya istrimu yang kau bisa sembunyikan rahasia, Adrian? Dia sedang menuju Hotel Rave sekarang. Menarik, kan?”

Aku berdiri. “Jangan macam-macam dengan dia!”

“Kenapa? Kau takut dia tahu?”

Klik. Sambungan terputus lagi.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil jaket dan kunci mobil. Kalau Rani benar menuju ke sana, aku harus sampai sebelum dia.

Tidak peduli risiko ketahuan.

📍 Rani – Hotel Rave

Lampu neon hotel menyala redup, memantulkan cahaya merah muda ke genangan air di halaman.

Aku memarkir mobil agak jauh, mencoba tidak menarik perhatian.

Pintu lobi terbuka sendiri ketika aku mendekat. Aroma parfum berat dan musik jazz pelan menyambutku.

Di belakang meja resepsionis, seorang pria berkemeja hitam menatapku, senyumnya tipis.

“Ada yang memesan kamar untuk saya?” tanyaku hati-hati.

Dia memeriksa buku catatan. “Ya. Kunci kamar 406. Seseorang sudah menunggumu di sana.”

Aku ingin bertanya siapa, tapi sebelum sempat, telepon di meja resepsionis berbunyi. Pria itu mengangkat, dan suaranya berubah serius, seperti menerima instruksi.

Dia menutup telepon, lalu menatapku lagi. “Silakan naik. Mereka bilang ini penting.”

Aku menggenggam kunci itu erat. Langkahku menuju lift terasa seperti berjalan ke arah jurang.

Lift terbuka. Sepi. Hanya suara detak jarum jam di panel lantai.

Ketika pintu tertutup, ponselku kembali bergetar. Nomor tak dikenal lagi.

Pesannya hanya satu kalimat:

"Kalau kamu buka pintu 406, semuanya akan berubah selamanya."

Lorong di lantai empat terasa terlalu sunyi, seakan dinding-dindingnya menyerap semua suara. Lampu-lampu gantung di langit-langit berkelip pelan, menciptakan bayangan yang bergerak di karpet merah.

Aku menatap pintu 406 di depanku. Nomor itu tampak sederhana, tapi entah kenapa seperti memanggil-manggilku.

Aku mengatur napas, mencoba mengusir rasa takut. “Oke, Rani… ini cuma kamar hotel. Bukan sesuatu yang berbahaya,” gumamku—walau dalam hati aku tidak percaya pada kata-kataku sendiri.

Tanganku hampir menyentuh gagang pintu ketika kudengar langkah kaki di ujung lorong.

Aku menoleh cepat.

Seorang wanita bergaun hitam panjang berjalan menuju arahku. Rambutnya tergerai, wajahnya tertutup bayangan. Dia tidak menatapku, tapi langkahnya mantap, seperti tahu persis ke mana dia pergi.

Ketika jaraknya tinggal beberapa meter, dia berhenti… tepat di depan pintu 408—kamar di sebelahku.

Dia mengeluarkan kunci, membukanya, lalu melirikku sekilas. Tatapannya dingin, tapi bibirnya melengkung samar—senyum yang entah artinya apa.

Aku merinding.

Aku memutuskan tidak memikirkan wanita itu. Fokusku hanya pada kunci di tanganku.

Perlahan, aku memasukkan kunci ke lubang pintu 406. Klik. Pintu terbuka beberapa sentimeter.

Dari dalam, aroma parfum pria yang asing menusuk hidungku.

Bukan aroma Adrian.

Aku melangkah masuk, lampu remang-remang menyala otomatis. Kamar itu tampak normal—tempat tidur rapi, meja dengan vas bunga segar, dan tirai tebal menutupi jendela.

Lalu mataku tertuju pada meja kecil di dekat tempat tidur.

Di atasnya… ada foto bingkai kayu.

Foto itu membuat darahku berdesir.

Itu adalah foto aku dan Adrian… yang diambil diam-diam.

Jantungku berdegup kencang. Siapa yang punya foto ini? Dan kenapa ada di kamar ini?

Aku ingin mengambilnya, tapi pintu kamar tiba-tiba menutup sendiri di belakangku.

Aku berbalik cepat.

Di ambang pintu berdiri seorang pria.

Tinggi, berjas hitam, wajahnya setengah tertutup bayangan. Tapi yang membuatku membeku adalah senyumannya—seolah dia sudah lama menungguku.

“Selamat datang, Rani,” suaranya dalam dan tenang, tapi terasa seperti pisau dingin yang menyentuh kulit.

“Kita belum pernah bertemu,” kataku, mencoba terdengar berani.

“Oh, kita sudah… hanya saja, kamu tidak ingat,” jawabnya.

Aku mundur setapak. “Siapa kamu? Apa yang kamu mau?”

Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mengambil sesuatu dari sakunya dan melemparnya ke arahku.

Benda itu mendarat di atas ranjang.

Sebuah ponsel… ponsel milik Adrian.

“Dia… menitipkan ini padaku,” katanya sambil melangkah maju. “Tapi kamu tidak akan suka isi di dalamnya.”

Aku menatap ponsel itu, rasa takut dan penasaran bercampur jadi satu.

Tanganku bergerak pelan untuk meraihnya—tapi sebelum sempat kusentuh, pria itu menutup jarak dan berbisik di telingaku:

“Begitu kamu melihatnya… kamu tidak akan bisa kembali ke kehidupan lamamu.”

Aku menelan ludah, menatap ponsel itu. Jantungku berdegup terlalu cepat hingga terasa sakit di dada.

Perlahan, aku menekan tombol daya. Layar menyala, menampilkan satu pesan video yang belum dibuka.

Jempolku ragu.

Tapi rasa penasaran mengalahkan rasa takut.

Klik.

Gambar di layar goyah, seperti direkam diam-diam dari jarak jauh.

Fokusnya pada seorang pria dan seorang wanita… berciuman di bawah cahaya redup sebuah restoran mewah.

Aku menahan napas.

Pria itu adalah Adrian.

Dan wanita itu… bukan Maya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 7 : Jejak yang Tersisa

    Pagi itu, Rani bangun lebih awal. Cahaya matahari menembus tirai tipis, namun hangatnya tak mampu mengusir dingin yang menggerogoti hatinya. Ia menoleh ke samping, mendapati ranjang yang kosong. Adrian sudah pergi sebelum ia terbangun. Lagi.Di meja rias, ponsel Adrian tertinggal. Jarang sekali ia meninggalkan barang sepenting itu. Rani menatapnya lama, hatinya berperang. Ada suara kecil yang mendorongnya untuk membuka, mencari jawaban atas rasa gelisah yang semakin menyesakkan. Namun ada pula ketakutan: apa yang akan ia temukan?Tangannya sempat terulur, tapi segera ia tarik kembali. Napasnya bergetar. “Aku nggak boleh jadi istri yang curiga tanpa alasan,” bisiknya pada diri sendiri, meski hatinya berteriak sebaliknya.Saat ia menurunkan ponsel itu, matanya menangkap bercak lipstik samar di kerah kemeja puti

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 6 : Diam yang Menyiksa

    Rani menatap jam dinding di ruang tamu. Jarumnya sudah menunjuk pukul sebelas malam, namun rumah masih saja sepi. Adrian belum pulang.Di hadapannya, cangkir teh yang sudah dingin tak tersentuh. Dari luar, suara jangkrik malam menyelip di sela keheningan yang membuat dadanya semakin sesak.Sudah hampir sebulan pernikahan mereka berjalan. Di depan keluarga, Rani selalu menampilkan senyum yang sama: senyum istri bahagia. Namun di balik itu, ia tahu betul rumah tangga mereka hanyalah panggung sandiwara.Adrian sering pulang larut malam. Alasannya selalu sama “urusan bisnis”. Tapi Rani bukan perempuan bodoh.“Masa setiap malam ada urusan bisnis?” gumamnya lirih, matanya berkaca-kaca.Ia ingat, seminggu lalu ibunya

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 5: Kebenaran yang Terpotong

    Rani – POVTanganku bergetar. Video itu terus berputar, menampilkan bibir Adrian yang menempel pada wanita asing itu, gerakannya lembut tapi… penuh keintiman.Aku memaksa mataku untuk tetap menatap layar, walau dada terasa sesak.Siapa dia?Kenapa aku belum pernah melihat wajahnya?Dan yang paling menghantui… kenapa Adrian terlihat bahagia di sana?“Cukup,” suara pria berjas hitam itu memecah pikiranku.Dia meraih ponsel dari tanganku, tapi aku menahannya erat.“Siapa dia?!” suaraku pecah, setengah marah, setengah putus asa.Dia hanya tersenyum tipis. “Itu bagian dari permainan, Rani. Kamu akan tahu… kalau kamu bertahan cukup lama.”Permainan?Kata itu seperti racun yang meresap pelan ke kepalaku.Aku melangkah mundur, ponsel tetap kugenggam. “Kalau kau tidak bicara, aku akan—”“Akan apa?” potongnya.Tubuhnya mendekat, cukup dekat hingga aku bisa mencium aroma parfum maskulin yang mahal. “Kamu tidak mengerti… ini bukan tentang siapa dia, tapi tentang kenapa Adrian memilihnya di depan

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 4: Mata di Kursi Belakang

    Jantungku seolah berhenti berdetak.Bayangan itu masih di sana—tidak bergerak, tidak bersuara, hanya sepasang mata yang mengawasi dari cermin tengah.Tanganku meraih gagang pintu, tapi kemudian terhenti. Kalau aku keluar sekarang, aku akan basah kuyup dan kehilangan kesempatan mengetahui siapa dia.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.“Aku tahu kamu di sana,” ucapku pelan, nyaris berbisik.Tidak ada jawaban.Tapi aku tahu dia mendengar.Karena mata itu… berkedip.Dengan hati-hati, aku meraih ponsel dan menyalakan kamera depan, mencoba memantulkan bayangannya di layar. Tapi sebelum aku sempat memotret, bayangan itu bergerak cepat—dan suara pintu belakang terbuka terdengar di telingaku.Aku menoleh. Kosong.Jalanan sepi, hanya sisa hujan yang menetes dari atap.Kupandangi jok belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda pintu terbuka. Bahkan kaca jendela masih berembun.Seolah… tidak pernah ada orang di sana.Aku menyandarkan kepala di setir, mencoba mengatur nap

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 3 : Bisikan dalam Hujan

    Hujan masih turun sejak sore, menyelimuti kota dengan bau tanah basah dan dingin yang merayap sampai ke tulang.Aku duduk di kursi dekat jendela, memandangi jalanan yang basah oleh lampu-lampu kendaraan. Adrian belum pulang.Tidak ada pesan, tidak ada telepon.Bahkan sekadar “Aku lembur” pun tidak.Sudah dua minggu terakhir ini kebiasaannya berubah. Dulu, ia selalu memberi kabar. Sekarang… seolah keberadaanku tidak lagi penting untuk dia ketahui.Aku memegang ponsel, jemariku gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena pesan yang baru saja masuk satu jam lalu."Kalau mau tahu siapa wanita itu, datang ke kafe di Jalan Taman pukul delapan malam besok. Jangan bilang siapa-siapa."Tidak ada nama pengirim. Nomor asing.Dan yang membuat dadaku makin sesak—pengirim itu mengirimkan foto Adrian… duduk bersama seorang wanita di kafe, saling menatap, dengan tangan Adrian menyentuh jemari wanita itu.Tanganku nyaris melepaskan ponsel.Jantungku berdentum keras, seolah ingin memecahkan dada.Wanita

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 2 :Tempat Biasa

    Adrian punya rahasia yang tak pernah ia ceritakan pada Rani. Malam setelah pesta, ia menemui seseorang di “tempat biasa” mereka. Tapi siapa yang sebenarnya menunggu di sana—dan kenapa wajahnya terlihat seperti bayangan dari masa lalu?Mobil hitamku melaju pelan di bawah gerimis.Jam menunjukkan pukul delapan malam. Jalanan Jakarta basah, lampu-lampu kota memantul di aspal, membuat segalanya terasa seperti film.Aku menoleh sekilas ke kursi penumpang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi aroma parfum melati samar masih tercium. Aroma yang sejak tadi membuatku tersenyum tanpa sadar.Pesan di ponselku dari sore tadi masih belum kubalas."Aku di sini jam delapan. Jangan terlambat."Tempat biasa.Sebuah kafe kecil di pojok jalan yang hampir tak pernah ramai. Penerangannya remang, musiknya pelan, dan meja di sudut kanan selalu jadi milik kami.Aku memarkir mobil, menarik napas panjang, lalu masuk.Dia sudah ada di sana. Duduk sambil memainkan sendok di gelas cappuccino-nya. Rambut hitamnya t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status