Jantungku seolah berhenti berdetak.
Tanganku meraih gagang pintu, tapi kemudian terhenti. Kalau aku keluar sekarang, aku akan basah kuyup dan kehilangan kesempatan mengetahui siapa dia.
“Aku tahu kamu di sana,” ucapku pelan, nyaris berbisik.
Tapi aku tahu dia mendengar.
Dengan hati-hati, aku meraih ponsel dan menyalakan kamera depan, mencoba memantulkan bayangannya di layar. Tapi sebelum aku sempat memotret, bayangan itu bergerak cepat—dan suara pintu belakang terbuka terdengar di telingaku.
Aku menoleh. Kosong.
Kupandangi jok belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda pintu terbuka. Bahkan kaca jendela masih berembun.
Seolah… tidak pernah ada orang di sana.
Aku menyandarkan kepala di setir, mencoba mengatur napas.
Ponselku bergetar lagi.
"Berhenti mencarinya, Rani. Dia tidak sebersih yang kamu kira."
Darahku berdesir. “Dia” yang dimaksud jelas Adrian.
Tanganku gemetar. Tapi di balik rasa takut itu, ada rasa penasaran yang justru membakar.
Aku menyalakan mesin mobil dan memutar arah. Daripada pulang, aku memutuskan kembali ke kafe.
Namun, saat aku tiba, lampu kafe sudah padam. Pintu terkunci. Hanya ada seorang petugas kebersihan yang menyapu trotoar di seberang jalan.
“Maaf, kafe itu tutup jam berapa tadi?” tanyaku.
Pasangan. Aku tidak perlu menebak siapa.
Aku kembali ke mobil, tapi sebelum masuk, aku melihat secarik kertas terselip di bawah wiper kaca.
"Kalau mau jawaban, datang ke Hotel Rave pukul 23.00. Sendirian."
Aku menelan ludah. Hotel Rave. Tempat itu terkenal… bukan karena reputasi baiknya.
📍 Sementara itu – Adrian
Aku menutup laptop, memijit pelipis.
Namun, yang membuatku resah bukan itu.
Ponselku berdering lagi. Nomor yang sama.
Suaranya terdengar seperti senyum sinis yang dibungkus kata-kata.
Aku berdiri. “Jangan macam-macam dengan dia!”
Klik. Sambungan terputus lagi.
Tanpa pikir panjang, aku mengambil jaket dan kunci mobil. Kalau Rani benar menuju ke sana, aku harus sampai sebelum dia.
📍 Rani – Hotel Rave
Lampu neon hotel menyala redup, memantulkan cahaya merah muda ke genangan air di halaman.
Pintu lobi terbuka sendiri ketika aku mendekat. Aroma parfum berat dan musik jazz pelan menyambutku.
“Ada yang memesan kamar untuk saya?” tanyaku hati-hati.
Aku ingin bertanya siapa, tapi sebelum sempat, telepon di meja resepsionis berbunyi. Pria itu mengangkat, dan suaranya berubah serius, seperti menerima instruksi.
Dia menutup telepon, lalu menatapku lagi. “Silakan naik. Mereka bilang ini penting.”
Aku menggenggam kunci itu erat. Langkahku menuju lift terasa seperti berjalan ke arah jurang.
Lift terbuka. Sepi. Hanya suara detak jarum jam di panel lantai.
Pesannya hanya satu kalimat:
"Kalau kamu buka pintu 406, semuanya akan berubah selamanya."
Lorong di lantai empat terasa terlalu sunyi, seakan dinding-dindingnya menyerap semua suara. Lampu-lampu gantung di langit-langit berkelip pelan, menciptakan bayangan yang bergerak di karpet merah.
Aku menatap pintu 406 di depanku. Nomor itu tampak sederhana, tapi entah kenapa seperti memanggil-manggilku.
Aku mengatur napas, mencoba mengusir rasa takut. “Oke, Rani… ini cuma kamar hotel. Bukan sesuatu yang berbahaya,” gumamku—walau dalam hati aku tidak percaya pada kata-kataku sendiri.
Tanganku hampir menyentuh gagang pintu ketika kudengar langkah kaki di ujung lorong.
Ketika jaraknya tinggal beberapa meter, dia berhenti… tepat di depan pintu 408—kamar di sebelahku.
Aku merinding.
Aku memutuskan tidak memikirkan wanita itu. Fokusku hanya pada kunci di tanganku.
Dari dalam, aroma parfum pria yang asing menusuk hidungku.
Aku melangkah masuk, lampu remang-remang menyala otomatis. Kamar itu tampak normal—tempat tidur rapi, meja dengan vas bunga segar, dan tirai tebal menutupi jendela.
Lalu mataku tertuju pada meja kecil di dekat tempat tidur.
Foto itu membuat darahku berdesir.
Jantungku berdegup kencang. Siapa yang punya foto ini? Dan kenapa ada di kamar ini?
Aku ingin mengambilnya, tapi pintu kamar tiba-tiba menutup sendiri di belakangku.
Di ambang pintu berdiri seorang pria.
“Selamat datang, Rani,” suaranya dalam dan tenang, tapi terasa seperti pisau dingin yang menyentuh kulit.
Aku mundur setapak. “Siapa kamu? Apa yang kamu mau?”
Benda itu mendarat di atas ranjang.
“Dia… menitipkan ini padaku,” katanya sambil melangkah maju. “Tapi kamu tidak akan suka isi di dalamnya.”
Aku menatap ponsel itu, rasa takut dan penasaran bercampur jadi satu.
“Begitu kamu melihatnya… kamu tidak akan bisa kembali ke kehidupan lamamu.”
Aku menelan ludah, menatap ponsel itu. Jantungku berdegup terlalu cepat hingga terasa sakit di dada.
Jempolku ragu.
Klik.
Gambar di layar goyah, seperti direkam diam-diam dari jarak jauh.
Aku menahan napas.
Pagi itu, Rani bangun lebih awal. Cahaya matahari menembus tirai tipis, namun hangatnya tak mampu mengusir dingin yang menggerogoti hatinya. Ia menoleh ke samping, mendapati ranjang yang kosong. Adrian sudah pergi sebelum ia terbangun. Lagi.Di meja rias, ponsel Adrian tertinggal. Jarang sekali ia meninggalkan barang sepenting itu. Rani menatapnya lama, hatinya berperang. Ada suara kecil yang mendorongnya untuk membuka, mencari jawaban atas rasa gelisah yang semakin menyesakkan. Namun ada pula ketakutan: apa yang akan ia temukan?Tangannya sempat terulur, tapi segera ia tarik kembali. Napasnya bergetar. “Aku nggak boleh jadi istri yang curiga tanpa alasan,” bisiknya pada diri sendiri, meski hatinya berteriak sebaliknya.Saat ia menurunkan ponsel itu, matanya menangkap bercak lipstik samar di kerah kemeja puti
Rani menatap jam dinding di ruang tamu. Jarumnya sudah menunjuk pukul sebelas malam, namun rumah masih saja sepi. Adrian belum pulang.Di hadapannya, cangkir teh yang sudah dingin tak tersentuh. Dari luar, suara jangkrik malam menyelip di sela keheningan yang membuat dadanya semakin sesak.Sudah hampir sebulan pernikahan mereka berjalan. Di depan keluarga, Rani selalu menampilkan senyum yang sama: senyum istri bahagia. Namun di balik itu, ia tahu betul rumah tangga mereka hanyalah panggung sandiwara.Adrian sering pulang larut malam. Alasannya selalu sama “urusan bisnis”. Tapi Rani bukan perempuan bodoh.“Masa setiap malam ada urusan bisnis?” gumamnya lirih, matanya berkaca-kaca.Ia ingat, seminggu lalu ibunya
Rani – POVTanganku bergetar. Video itu terus berputar, menampilkan bibir Adrian yang menempel pada wanita asing itu, gerakannya lembut tapi… penuh keintiman.Aku memaksa mataku untuk tetap menatap layar, walau dada terasa sesak.Siapa dia?Kenapa aku belum pernah melihat wajahnya?Dan yang paling menghantui… kenapa Adrian terlihat bahagia di sana?“Cukup,” suara pria berjas hitam itu memecah pikiranku.Dia meraih ponsel dari tanganku, tapi aku menahannya erat.“Siapa dia?!” suaraku pecah, setengah marah, setengah putus asa.Dia hanya tersenyum tipis. “Itu bagian dari permainan, Rani. Kamu akan tahu… kalau kamu bertahan cukup lama.”Permainan?Kata itu seperti racun yang meresap pelan ke kepalaku.Aku melangkah mundur, ponsel tetap kugenggam. “Kalau kau tidak bicara, aku akan—”“Akan apa?” potongnya.Tubuhnya mendekat, cukup dekat hingga aku bisa mencium aroma parfum maskulin yang mahal. “Kamu tidak mengerti… ini bukan tentang siapa dia, tapi tentang kenapa Adrian memilihnya di depan
Jantungku seolah berhenti berdetak.Bayangan itu masih di sana—tidak bergerak, tidak bersuara, hanya sepasang mata yang mengawasi dari cermin tengah.Tanganku meraih gagang pintu, tapi kemudian terhenti. Kalau aku keluar sekarang, aku akan basah kuyup dan kehilangan kesempatan mengetahui siapa dia.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.“Aku tahu kamu di sana,” ucapku pelan, nyaris berbisik.Tidak ada jawaban.Tapi aku tahu dia mendengar.Karena mata itu… berkedip.Dengan hati-hati, aku meraih ponsel dan menyalakan kamera depan, mencoba memantulkan bayangannya di layar. Tapi sebelum aku sempat memotret, bayangan itu bergerak cepat—dan suara pintu belakang terbuka terdengar di telingaku.Aku menoleh. Kosong.Jalanan sepi, hanya sisa hujan yang menetes dari atap.Kupandangi jok belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda pintu terbuka. Bahkan kaca jendela masih berembun.Seolah… tidak pernah ada orang di sana.Aku menyandarkan kepala di setir, mencoba mengatur nap
Hujan masih turun sejak sore, menyelimuti kota dengan bau tanah basah dan dingin yang merayap sampai ke tulang.Aku duduk di kursi dekat jendela, memandangi jalanan yang basah oleh lampu-lampu kendaraan. Adrian belum pulang.Tidak ada pesan, tidak ada telepon.Bahkan sekadar “Aku lembur” pun tidak.Sudah dua minggu terakhir ini kebiasaannya berubah. Dulu, ia selalu memberi kabar. Sekarang… seolah keberadaanku tidak lagi penting untuk dia ketahui.Aku memegang ponsel, jemariku gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena pesan yang baru saja masuk satu jam lalu."Kalau mau tahu siapa wanita itu, datang ke kafe di Jalan Taman pukul delapan malam besok. Jangan bilang siapa-siapa."Tidak ada nama pengirim. Nomor asing.Dan yang membuat dadaku makin sesak—pengirim itu mengirimkan foto Adrian… duduk bersama seorang wanita di kafe, saling menatap, dengan tangan Adrian menyentuh jemari wanita itu.Tanganku nyaris melepaskan ponsel.Jantungku berdentum keras, seolah ingin memecahkan dada.Wanita
Adrian punya rahasia yang tak pernah ia ceritakan pada Rani. Malam setelah pesta, ia menemui seseorang di “tempat biasa” mereka. Tapi siapa yang sebenarnya menunggu di sana—dan kenapa wajahnya terlihat seperti bayangan dari masa lalu?Mobil hitamku melaju pelan di bawah gerimis.Jam menunjukkan pukul delapan malam. Jalanan Jakarta basah, lampu-lampu kota memantul di aspal, membuat segalanya terasa seperti film.Aku menoleh sekilas ke kursi penumpang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi aroma parfum melati samar masih tercium. Aroma yang sejak tadi membuatku tersenyum tanpa sadar.Pesan di ponselku dari sore tadi masih belum kubalas."Aku di sini jam delapan. Jangan terlambat."Tempat biasa.Sebuah kafe kecil di pojok jalan yang hampir tak pernah ramai. Penerangannya remang, musiknya pelan, dan meja di sudut kanan selalu jadi milik kami.Aku memarkir mobil, menarik napas panjang, lalu masuk.Dia sudah ada di sana. Duduk sambil memainkan sendok di gelas cappuccino-nya. Rambut hitamnya t