Share

Bab 5: Kebenaran yang Terpotong

Penulis: ulfaz
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-11 22:18:49

Rani – POV

Tanganku bergetar. Video itu terus berputar, menampilkan bibir Adrian yang menempel pada wanita asing itu, gerakannya lembut tapi… penuh keintiman.

Aku memaksa mataku untuk tetap menatap layar, walau dada terasa sesak.

Siapa dia?

Kenapa aku belum pernah melihat wajahnya?

Dan yang paling menghantui… kenapa Adrian terlihat bahagia di sana?

“Cukup,” suara pria berjas hitam itu memecah pikiranku.

Dia meraih ponsel dari tanganku, tapi aku menahannya erat.

“Siapa dia?!” suaraku pecah, setengah marah, setengah putus asa.

Dia hanya tersenyum tipis. “Itu bagian dari permainan, Rani. Kamu akan tahu… kalau kamu bertahan cukup lama.”

Permainan?

Kata itu seperti racun yang meresap pelan ke kepalaku.

Aku melangkah mundur, ponsel tetap kugenggam. “Kalau kau tidak bicara, aku akan—”

“Akan apa?” potongnya.

Tubuhnya mendekat, cukup dekat hingga aku bisa mencium aroma parfum maskulin yang mahal. “Kamu tidak mengerti… ini bukan tentang siapa dia, tapi tentang kenapa Adrian memilihnya di depan semua orang, tapi menyembunyikanmu di balik bayangan.”

Urat-urat di leherku menegang. “Kau bohong.”

Dia menatapku lama, lalu tersenyum samar. “Kalau begitu… tanya saja pada Adrian.”

Dia berbalik, berjalan keluar seperti tidak pernah ada apa-apa. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang menggema di kepalaku.

Adrian – POV

Aku tidak bisa memikirkan angka-angka di layar laptop. Laporan, kontrak, semua terasa tak berarti. Yang memenuhi pikiranku hanyalah suara pria misterius di telepon tadi.

Kalau dia tahu tentang Rani, berarti dia juga tahu… tentang malam itu.

Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.

Ponselku berdering—nomor Rani.

“Rani?” suaraku terdengar lega sekaligus tegang.

Tapi yang kudengar bukan sapaan, melainkan napas cepatnya.

“Kita perlu bicara,” katanya pelan. “Sekarang.”

Rani – POV

Aku berdiri di trotoar, lampu jalan memantulkan cahaya pucat di aspal basah. Ponsel masih kugenggam erat, video itu masih tersimpan di dalamnya.

Ketika mobil Adrian berhenti di depanku, aku melihat wajahnya dari balik kaca.

Tenang, seperti biasa.

Tapi aku sudah tahu… di balik ketenangan itu, ada rahasia yang tidak akan mudah dia lepaskan.

Dia keluar dari mobil, langkahnya cepat menghampiriku. “Kamu kenapa? Ada apa?”

Aku menatapnya lama, lalu mengangkat ponsel. “Kau yang jawab pertanyaanku dulu.”

Dia menatap layar, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu di wajahnya… keterkejutan yang tidak bisa dia sembunyikan.

“Aku bisa jelasin,” katanya cepat.

“Jangan jelasin, Adrian. Jujur saja,” balasku.

Udara di antara kami terasa berat.

Adrian menghela napas panjang, lalu berkata pelan, “Itu… bukan seperti yang kamu pikirkan.”

Dingin hujan masih menempel di kulitku, meresap sampai tulang.

Tapi dingin itu tak seberapa dibanding rasa yang menggerogoti dadaku saat ini.

Adrian berdiri di depanku, setengah menunduk, matanya mencoba menembus tatapanku yang beku.

“Aku bisa jelasin, Rani,” katanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.

Tangannya terulur, mencoba menyentuh bahuku.

Aku mundur selangkah.

“Kalau memang mau jelasin, jelasin sekarang,” suaraku nyaris bergetar tapi aku memaksanya tegas.

Adrian menarik napas panjang, seolah sedang memilih kata.

“Itu… urusan bisnis,” katanya akhirnya. “Wanita itu… salah satu klien luar negeri. Dia terlalu… ramah, dan aku tidak ingin mempermalukannya di depan publik. Itu saja.”

Aku mengerutkan kening. “Urusan bisnis?” ucapku penuh nada tak percaya.

“Ya,” jawabnya cepat, terlalu cepat.

Matanya tidak bisa menatapku lama. Itu sudah cukup bagiku untuk tahu—dia menyembunyikan sesuatu.


Hening membungkus kami, hanya terdengar suara tetesan air dari atap mobilnya.

Aku menunduk, jemariku menggenggam ponsel begitu kuat sampai buku-buku jariku memutih. Video itu terasa berat, seolah jadi bukti hidup yang menusukku pelan-pelan.

“Ada banyak cara menolak tanpa harus… seperti itu,” ucapku pelan, lebih pada diriku sendiri.

Adrian diam.

Dia menatapku beberapa detik, lalu berkata lirih, “Rani, kamu percaya sama aku, kan?”

Pertanyaan itu menusukku.

Karena yang paling mengerikan dari sebuah kebohongan adalah ketika orang yang kita cintai memintanya dibungkus dengan kata percaya.


Aku menghela napas, memalingkan wajah. “Aku… nggak tahu, Adrian.”

Dia meraih lenganku. “Rani, dengar aku. Semua yang kamu lihat itu… bukan yang sebenarnya. Ada orang yang ingin memecah kita. Kalau kamu ikut permainan mereka, kamu masuk ke perangkap.”

Permainan.

Kata itu lagi.

Aku melepaskan lengannya. “Kalau memang begitu, kenapa kamu nggak pernah cerita duluan? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?”

Dia membuka mulut, tapi menutupnya lagi.

Aku melangkah mundur, tapi dia mengejarku. “Rani—”

“Nggak usah, Adrian.” Aku mengangkat tangan, menghentikannya. “Malam ini… aku butuh sendiri.”

Wajahnya mengeras, tapi dia tidak mencoba menahanku lagi.

Dia hanya menatapku saat aku berjalan menjauh, masuk ke jalan sempit yang tembus ke halte. Aku tahu tatapan itu—campuran marah, cemas, dan… takut.

Takut kehilangan kendali.

Di halte – beberapa menit kemudian

Lampu jalan kuning pucat memantulkan bayanganku di genangan. Aku duduk di bangku dingin, menarik napas panjang.

Ponselku kembali bergetar. Nomor asing.

Pesan pertama:
"Kalau kamu ingin kebenaran tentang Adrian… datang sendirian malam ini ke tempat yang akan kukirimkan."

Pesan kedua, terkirim lima detik kemudian:
Satu jam lagi. Jangan bawa siapa pun, atau kamu akan menyesal.

Tanganku menggenggam ponsel itu erat.

Otakku berputar cepat, mencari kemungkinan jebakan. Tapi rasa penasaran jauh lebih kuat daripada logika.

Aku membalas: Siapa kamu?

Tidak ada jawaban.

Lima menit kemudian, sebuah lokasi masuk ke ponselku. Titik merah berkedip di peta, menunjukkan sebuah gudang tua di pinggiran kota.

Rani – POV (menuju lokasi)

Langkahku cepat, meski setiap bagian dari diriku menjerit untuk pulang.

Taksi yang kunaiki melaju menembus gerimis tipis, melewati deretan lampu kota yang redup. Semakin jauh kami dari pusat kota, semakin sunyi suasananya.

Supir taksi menatapku dari kaca spion. “Mbak yakin mau turun di sini? Tempatnya sepi, lho.”

Aku hanya mengangguk. “Ya. Terima kasih.”

Saat aku turun, udara dingin menusuk pipi. Gudang itu berdiri gelap, hanya satu lampu neon berkedip di pintu masuk.

Adrian – POV (di tempat lain)

Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal.

“Aku sudah kirim umpan. Dia menuju lokasi sekarang,” suara di seberang berkata tenang.

“Kalau kau menyentuhnya—”

Klik. Sambungan terputus.

Aku berdiri mendadak, menyambar kunci mobil. Tidak peduli ini jebakan atau bukan, aku tidak bisa membiarkan Rani sendirian di sana.

Rani – POV (di gudang)

Pintu besi itu berderit saat kudorong. Bau besi tua dan debu memenuhi udara.

Langkahku bergema di lantai semen yang lembap. Lampu neon berkedip di atas, membuat bayangan bergerak di dinding.

“Rani.”

Suara itu datang dari sudut gelap.

Aku memutar badan. Sosok pria berjas hitam itu muncul, sama seperti yang tadi sore merampas ponselku.

Dia tersenyum tipis. “Kamu datang. Bagus.”

“Aku mau tahu kebenarannya,” kataku tegas.

Dia melangkah mendekat. “Dan kamu akan mendapatkannya. Tapi ingat, kebenaran itu mahal, dan setelah mendengarnya… kamu mungkin berharap tidak pernah tahu.”

Dia mengeluarkan amplop dari dalam jas, menyodorkannya padaku.

Tanganku gemetar saat meraihnya.

“Apa ini?” tanyaku.

“Bukti… bahwa Adrian bukan orang yang kamu kira.”Sebelum aku sempat membuka amplop itu, suara keras terdengar dari belakang—pintu gudang dibanting terbuka.

Aku menoleh, dan melihat Adrian berdiri di ambang pintu.

Matanya tajam, napasnya memburu.

“Lepaskan dia,” perintahnya pada pria itu.

Tapi pria berjas hitam itu hanya tersenyum… dan berkata, “Kalau begitu, kenapa kamu tidak ceritakan semua padanya sekarang?”

Aku menatap keduanya, dan untuk pertama kalinya… aku tak tahu siapa di antara mereka yang sebenarnya berbohong.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 73

    Rani menunduk di depan pintu kaca sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Hujan semalam masih meninggalkan jejak di aspal dan atap. Tangannya gemetar saat ia menatap pesan Aurora yang terakhir. Setiap kata terasa seperti tombak: “Kebenaran yang akan kau temukan nanti… akan membunuhmu pelan-pelan.”Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya berdebar tak karuan. Malam demi malam, minggu demi minggu, semua teka-teki dan kebohongan akhirnya menuntunnya ke titik ini. Titik di mana ia harus memilih: tetap diam dan menerima luka, atau menghadapi kebenaran sekalipun itu menghancurkan rumah tangganya.Rani menatap sekeliling. Tak ada yang memperhatikan, hanya hujan dan lampu jalan yang redup. Ia membuka tasnya, mengeluarkan foto-foto lama yang ia temukan dari dokumen keluarga Adrian surat, foto, dan beberapa catatan yang menunjukkan kedekatan Adrian dengan Aurora, jauh sebelum Rani mengetahuinya.“Habis sudah… aku harus tahu,” gumam Rani sambil menggenggam foto itu. Matanya berkaca-

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 72

    Rani melangkah cepat di trotoar yang basah oleh sisa hujan. Lampu jalan berpendar redup, memantulkan bayangan panjang di bawah kakinya. Pikirannya berputar, mencoba memahami pesan misterius yang baru saja ia terima."Jangan pulang malam ini. Bahaya menunggumu di rumah."Kata-kata itu terus menggema di benaknya, membuat jantungnya berdebar kencang. Apakah seseorang tengah memperingatkannya? Atau itu hanya permainan baru Aurora untuk mengguncang kestabilannya?Ia berhenti di depan halte kosong, menatap ponselnya lagi. Tidak ada pesan lanjutan. Tidak ada petunjuk siapa pengirimnya. Tapi entah kenapa, firasatnya berkata bahwa pesan itu bukan sekadar ancaman. Ada sesuatu yang benar-benar salah malam ini.Rani menarik napas panjang. Udara malam menusuk kulitnya, dingin dan lembap. Ia menatap ke arah jalan, mobil-mobil melintas cepat, lampu-lampunya membelah kegelapan.“Kalau aku tidak pulang… ke mana aku harus pergi?” gumamnya lirih.Matanya terarah pada satu tempat: kantor Adrian. Tempat d

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 71

    Hujan akhirnya reda, menyisakan bau tanah basah yang menusuk hidung. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara tetesan air dari atap rumah atau pohon yang bergoyang tertiup angin. Rani masih berjalan tanpa arah, langkahnya berat, tapi matanya menyalakan api yang berbeda.Air mata sudah berhenti jatuh, bukan karena luka telah hilang, melainkan karena kesedihan itu telah berubah menjadi sesuatu yang lebih keras tekad.Ia menatap ke depan, wajahnya basah, rambutnya menempel di pipi. Dalam hatinya, satu kalimat terngiang: Kalau aku terus diam, aku akan habis. Kalau aku ingin bertahan, aku harus melawan.Adrian berlari menyusul, tubuhnya basah kuyup. Nafasnya memburu, tapi setiap kali ia memanggil nama Rani, perempuan itu justru mempercepat langkah. Ia tahu, kata-katanya tidak lagi

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 70

    Hujan belum benar-benar berhenti ketika malam itu menjadi saksi runtuhnya fondasi rumah tangga Rani dan Adrian.Rani masih berdiri di depan jendela, matanya kosong menatap derasnya air yang mengalir di kaca. Foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas di media sosial seolah terbakar di kepalanya, berulang kali menohok jantungnya tanpa ampun.“Kenapa harus begini…” suaranya nyaris tak terdengar, namun tubuhnya gemetar hebat.Adrian berdiri di belakangnya, wajahnya kusut, rambutnya berantakan, dan sorot matanya penuh keputusasaan. “Rani, dengarkan aku. Aku tidak pernah mencintai Aurora. Aku tidak pernah menyentuhnya seperti yang terlihat di foto itu.”Rani berbalik, matanya sembab tapi menyala penuh api. “Lalu apa ini, Adrian?!” ia mengangkat ponsel, menyorotkan layar ke arah suaminya. “Kau tersenyum padanya. Kau berdiri begitu dekat… cukup dekat untuk membuat semua orang percaya. Kau pikir aku bisa menutup mata dan berpura-pura tidak melihat?!”Adrian menelan ludah. Kata-kata yang i

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 69

    Hujan yang turun malam itu tidak kunjung reda. Derai air seolah menjadi saksi bagi hancurnya ketenangan rumah tangga keluarga Wijaya. Di ruang tengah, Rani masih berdiri mematung, ponselnya menggenggam erat, wajahnya memucat, dan matanya sembab. Foto itu foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas—menghancurkan dunianya seketika.“Tidak… tidak mungkin,” bisiknya, hampir tak terdengar. Napasnya tersengal, dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menekan ponsel ke dadanya seolah dengan itu bisa menahan kepedihan yang mengalir deras di hatinya.Adrian keluar dari kamar, langkahnya gontai. Wajahnya pucat pasi, mata yang dulu hangat kini penuh kecemasan. “Rani… tolong dengarkan aku. Itu bukan apa yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan semuanya,” suaranya lirih, hampir hilang di antara suara hujan dan guntur.

  • Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari    Bab 68

    Rani menatap layar ponselnya, matanya membesar tak percaya. Foto itu menampilkan Adrian duduk bersama Aurora di sebuah restoran. Sudut pengambilan gambar sengaja dibuat intim: Adrian sedikit condong ke arah Aurora, wajah mereka terlalu dekat, seperti sepasang kekasih yang sedang berbagi rahasia.Jantung Rani berdegup keras, seolah ingin pecah. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel. Seluruh tubuhnya terasa dingin, tapi kepalanya terbakar.“Tidak mungkin…” bisiknya lirih. “Adrian tidak mungkin…”Tapi matanya kembali menatap foto itu, mencoba mencari celah, alasan, pembelaan apa pun yang bisa membuatnya percaya Adrian tidak bersalah. Namun setiap detail justru menghantamnya: senyum samar di bibir Aurora, ekspresi tegang tapi pasrah di wajah Adrian.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status