Rani – POV
Tanganku bergetar. Video itu terus berputar, menampilkan bibir Adrian yang menempel pada wanita asing itu, gerakannya lembut tapi… penuh keintiman.
Siapa dia?
“Cukup,” suara pria berjas hitam itu memecah pikiranku.
Permainan?
Aku melangkah mundur, ponsel tetap kugenggam. “Kalau kau tidak bicara, aku akan—”
Urat-urat di leherku menegang. “Kau bohong.”
Dia berbalik, berjalan keluar seperti tidak pernah ada apa-apa. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang menggema di kepalaku.
Adrian – POV
Aku tidak bisa memikirkan angka-angka di layar laptop. Laporan, kontrak, semua terasa tak berarti. Yang memenuhi pikiranku hanyalah suara pria misterius di telepon tadi.
Kalau dia tahu tentang Rani, berarti dia juga tahu… tentang malam itu.
Ponselku berdering—nomor Rani.
Rani – POV
Aku berdiri di trotoar, lampu jalan memantulkan cahaya pucat di aspal basah. Ponsel masih kugenggam erat, video itu masih tersimpan di dalamnya.
Ketika mobil Adrian berhenti di depanku, aku melihat wajahnya dari balik kaca.
Dia keluar dari mobil, langkahnya cepat menghampiriku. “Kamu kenapa? Ada apa?”
Dia menatap layar, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu di wajahnya… keterkejutan yang tidak bisa dia sembunyikan.
“Aku bisa jelasin,” katanya cepat.
Udara di antara kami terasa berat.
Dingin hujan masih menempel di kulitku, meresap sampai tulang.
“Aku bisa jelasin, Rani,” katanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.
“Kalau memang mau jelasin, jelasin sekarang,” suaraku nyaris bergetar tapi aku memaksanya tegas.
“Itu… urusan bisnis,” katanya akhirnya. “Wanita itu… salah satu klien luar negeri. Dia terlalu… ramah, dan aku tidak ingin mempermalukannya di depan publik. Itu saja.”
Aku mengerutkan kening. “Urusan bisnis?” ucapku penuh nada tak percaya.
Hening membungkus kami, hanya terdengar suara tetesan air dari atap mobilnya.
“Ada banyak cara menolak tanpa harus… seperti itu,” ucapku pelan, lebih pada diriku sendiri.
Dia menatapku beberapa detik, lalu berkata lirih, “Rani, kamu percaya sama aku, kan?”
Pertanyaan itu menusukku.
Aku menghela napas, memalingkan wajah. “Aku… nggak tahu, Adrian.”
Permainan.
Aku melepaskan lengannya. “Kalau memang begitu, kenapa kamu nggak pernah cerita duluan? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?”
Aku melangkah mundur, tapi dia mengejarku. “Rani—”
Wajahnya mengeras, tapi dia tidak mencoba menahanku lagi.
Takut kehilangan kendali.
Di halte – beberapa menit kemudian
Lampu jalan kuning pucat memantulkan bayanganku di genangan. Aku duduk di bangku dingin, menarik napas panjang.
Pesan pertama:
"Kalau kamu ingin kebenaran tentang Adrian… datang sendirian malam ini ke tempat yang akan kukirimkan."
Pesan kedua, terkirim lima detik kemudian:
Satu jam lagi. Jangan bawa siapa pun, atau kamu akan menyesal.
Tanganku menggenggam ponsel itu erat.
Aku membalas: Siapa kamu?
Lima menit kemudian, sebuah lokasi masuk ke ponselku. Titik merah berkedip di peta, menunjukkan sebuah gudang tua di pinggiran kota.
Rani – POV (menuju lokasi)
Langkahku cepat, meski setiap bagian dari diriku menjerit untuk pulang.
Supir taksi menatapku dari kaca spion. “Mbak yakin mau turun di sini? Tempatnya sepi, lho.”
Saat aku turun, udara dingin menusuk pipi. Gudang itu berdiri gelap, hanya satu lampu neon berkedip di pintu masuk.
Adrian – POV (di tempat lain)
Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal.
Aku berdiri mendadak, menyambar kunci mobil. Tidak peduli ini jebakan atau bukan, aku tidak bisa membiarkan Rani sendirian di sana.
Rani – POV (di gudang)
Pintu besi itu berderit saat kudorong. Bau besi tua dan debu memenuhi udara.
“Rani.”
Aku memutar badan. Sosok pria berjas hitam itu muncul, sama seperti yang tadi sore merampas ponselku.
“Aku mau tahu kebenarannya,” kataku tegas.
Dia mengeluarkan amplop dari dalam jas, menyodorkannya padaku.
“Apa ini?” tanyaku.
Matanya tajam, napasnya memburu.
Tapi pria berjas hitam itu hanya tersenyum… dan berkata, “Kalau begitu, kenapa kamu tidak ceritakan semua padanya sekarang?”
Aku menatap keduanya, dan untuk pertama kalinya… aku tak tahu siapa di antara mereka yang sebenarnya berbohong.
Rani menunduk di depan pintu kaca sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Hujan semalam masih meninggalkan jejak di aspal dan atap. Tangannya gemetar saat ia menatap pesan Aurora yang terakhir. Setiap kata terasa seperti tombak: “Kebenaran yang akan kau temukan nanti… akan membunuhmu pelan-pelan.”Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya berdebar tak karuan. Malam demi malam, minggu demi minggu, semua teka-teki dan kebohongan akhirnya menuntunnya ke titik ini. Titik di mana ia harus memilih: tetap diam dan menerima luka, atau menghadapi kebenaran sekalipun itu menghancurkan rumah tangganya.Rani menatap sekeliling. Tak ada yang memperhatikan, hanya hujan dan lampu jalan yang redup. Ia membuka tasnya, mengeluarkan foto-foto lama yang ia temukan dari dokumen keluarga Adrian surat, foto, dan beberapa catatan yang menunjukkan kedekatan Adrian dengan Aurora, jauh sebelum Rani mengetahuinya.“Habis sudah… aku harus tahu,” gumam Rani sambil menggenggam foto itu. Matanya berkaca-
Rani melangkah cepat di trotoar yang basah oleh sisa hujan. Lampu jalan berpendar redup, memantulkan bayangan panjang di bawah kakinya. Pikirannya berputar, mencoba memahami pesan misterius yang baru saja ia terima."Jangan pulang malam ini. Bahaya menunggumu di rumah."Kata-kata itu terus menggema di benaknya, membuat jantungnya berdebar kencang. Apakah seseorang tengah memperingatkannya? Atau itu hanya permainan baru Aurora untuk mengguncang kestabilannya?Ia berhenti di depan halte kosong, menatap ponselnya lagi. Tidak ada pesan lanjutan. Tidak ada petunjuk siapa pengirimnya. Tapi entah kenapa, firasatnya berkata bahwa pesan itu bukan sekadar ancaman. Ada sesuatu yang benar-benar salah malam ini.Rani menarik napas panjang. Udara malam menusuk kulitnya, dingin dan lembap. Ia menatap ke arah jalan, mobil-mobil melintas cepat, lampu-lampunya membelah kegelapan.“Kalau aku tidak pulang… ke mana aku harus pergi?” gumamnya lirih.Matanya terarah pada satu tempat: kantor Adrian. Tempat d
Hujan akhirnya reda, menyisakan bau tanah basah yang menusuk hidung. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara tetesan air dari atap rumah atau pohon yang bergoyang tertiup angin. Rani masih berjalan tanpa arah, langkahnya berat, tapi matanya menyalakan api yang berbeda.Air mata sudah berhenti jatuh, bukan karena luka telah hilang, melainkan karena kesedihan itu telah berubah menjadi sesuatu yang lebih keras tekad.Ia menatap ke depan, wajahnya basah, rambutnya menempel di pipi. Dalam hatinya, satu kalimat terngiang: Kalau aku terus diam, aku akan habis. Kalau aku ingin bertahan, aku harus melawan.Adrian berlari menyusul, tubuhnya basah kuyup. Nafasnya memburu, tapi setiap kali ia memanggil nama Rani, perempuan itu justru mempercepat langkah. Ia tahu, kata-katanya tidak lagi
Hujan belum benar-benar berhenti ketika malam itu menjadi saksi runtuhnya fondasi rumah tangga Rani dan Adrian.Rani masih berdiri di depan jendela, matanya kosong menatap derasnya air yang mengalir di kaca. Foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas di media sosial seolah terbakar di kepalanya, berulang kali menohok jantungnya tanpa ampun.“Kenapa harus begini…” suaranya nyaris tak terdengar, namun tubuhnya gemetar hebat.Adrian berdiri di belakangnya, wajahnya kusut, rambutnya berantakan, dan sorot matanya penuh keputusasaan. “Rani, dengarkan aku. Aku tidak pernah mencintai Aurora. Aku tidak pernah menyentuhnya seperti yang terlihat di foto itu.”Rani berbalik, matanya sembab tapi menyala penuh api. “Lalu apa ini, Adrian?!” ia mengangkat ponsel, menyorotkan layar ke arah suaminya. “Kau tersenyum padanya. Kau berdiri begitu dekat… cukup dekat untuk membuat semua orang percaya. Kau pikir aku bisa menutup mata dan berpura-pura tidak melihat?!”Adrian menelan ludah. Kata-kata yang i
Hujan yang turun malam itu tidak kunjung reda. Derai air seolah menjadi saksi bagi hancurnya ketenangan rumah tangga keluarga Wijaya. Di ruang tengah, Rani masih berdiri mematung, ponselnya menggenggam erat, wajahnya memucat, dan matanya sembab. Foto itu foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas—menghancurkan dunianya seketika.“Tidak… tidak mungkin,” bisiknya, hampir tak terdengar. Napasnya tersengal, dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menekan ponsel ke dadanya seolah dengan itu bisa menahan kepedihan yang mengalir deras di hatinya.Adrian keluar dari kamar, langkahnya gontai. Wajahnya pucat pasi, mata yang dulu hangat kini penuh kecemasan. “Rani… tolong dengarkan aku. Itu bukan apa yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan semuanya,” suaranya lirih, hampir hilang di antara suara hujan dan guntur.
Rani menatap layar ponselnya, matanya membesar tak percaya. Foto itu menampilkan Adrian duduk bersama Aurora di sebuah restoran. Sudut pengambilan gambar sengaja dibuat intim: Adrian sedikit condong ke arah Aurora, wajah mereka terlalu dekat, seperti sepasang kekasih yang sedang berbagi rahasia.Jantung Rani berdegup keras, seolah ingin pecah. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel. Seluruh tubuhnya terasa dingin, tapi kepalanya terbakar.“Tidak mungkin…” bisiknya lirih. “Adrian tidak mungkin…”Tapi matanya kembali menatap foto itu, mencoba mencari celah, alasan, pembelaan apa pun yang bisa membuatnya percaya Adrian tidak bersalah. Namun setiap detail justru menghantamnya: senyum samar di bibir Aurora, ekspresi tegang tapi pasrah di wajah Adrian.