"Dih segitunya," ujar pemuda tersebut sembari mengedipkan sebelah matanya pada Asta.
"Kamu …," ujar Asta sambil menyipitkan matanya pada pemuda yang baru menyapanya tersebut.
'Dih, bisa-bisanya Si Kampret ini menggodaku di depan banyak orang,' gerutu Asta di dalam hati.
Sedangkan Cakra yang saat ini sedang berdiri di samping Asta pun langsung bertanya pada pemuda yang sedang turun dari motor matic-nya itu. "Siapa kamu?"
Dan setelah memarkirkan motornya dengan benar, laki-laki tersebut pun berjalan mendekati ketiga orang tersebut dan berdiri tepat di depan Cakra. "Aku Satria, tetangga di sini," jawab Satria sambil mengulurkan tangannya, meminta untuk berjabat tangan.
"Benar, dia ini tetangga di sini," sahut Pak Harto yang saat ini berdiri tepat di sebelah Cakra.
Cakra yang mendengar hal tersebut pun langsung menerima jabat tangan dari Satria. "Cakra, penyewa baru rumah ini," ujarnya dengan santai.
"Oh, ternyata penyewa rumah ini …," gumam Satria sambil menatap ke arah rumah yang disewakan oleh Pak Harto. "Kalau begitu kita akan jadi tetangga setelah ini. Itu rumahku," imbuhnya sambil menunjuk ke arah rumah yang tepat berada di samping rumah tersebut.
Mendengar hal tersebut, Asta pun ikut menatap ke arah rumah yang ditunjuk oleh Satria.
"Ck," decaknya yang terlihat jelas tak senang dengan hal tersebut.
Kemudian pemuda bernama Satria tersebut pun dengan cepat mengarahkan pandangannya pada Asta. "Lalu siapa nona ini?" tanyanya dengan sebuah senyum manis mengikuti kalimatnya.
'Cih, sok manis,' batin Asta sambil menunjukkan ekspresi aneh di wajahnya.
"Ayolah … tadi di Indomart kamu sudah kabur, masa di sini kamu ingin kabur lagi," ujar Satria dengan ringan. "Lagi pula setelah ini kita akan terus menjadi tetangga, mau sembunyi di mana kamu."
'Dasar tidak tahu malu. Kata-kata macam apa itu,' batin Asta sambil memberikan ekspresi aneh bercampur mulut yang setengah terbuka, memperjelas perasaan takjubnya pada ucapan tak tahu malu pemuda di depannya itu.
Sedangkan Cakra pun langsung mengerutkan keningnya mendengar ucapan pemuda yang saat saat ini sedang ditatap aneh oleh Asta tersebut.
"Kamu masih tid—"
"Diam." Asta dengan cepat memotong kalimat Satria, lalu dalam sekejap mata menyambar tangan pemuda di depannya itu (berjabat tangan). "Aku Asta, puas?"
"Nah, begitu dong …," sahut Satria dengan santai sambil terkekeh.
Kemudian ….
"Kalian bertemu di mana?" tanya Cakra sambil menatap ke arah Asta dan Satria bergantian.
"Aku bertemu dia saat tadi pergi ke swalayan yang ada di depan tempat makan tadi," jawab Asta dengan cepat. "Dan dia yang menyebabkan aku hampir ditabrak tadi," imbuhnya.
Dan tentu saja Satria pun terkejut mendengar hal tersebut. "Kamu hampir ditabrak karena aku?"
"Benar. Maka dari itu kamu jangan—,"
"Jadi sampai seperti itu pesonaku ya," sela Satria sambil memejamkan mata dan mengangguk-ngangguk, bertingkah konyol seperti sedang mencoba bersikap bijak setelah mendapatkan pujian.
Sontak saja Asta pun langsung terpancing dan mengomel tak ada hentinya karena melihat tingkah menyebalkan pemuda yang ada di depannya itu.
Sementara itu, di sisi lain kini Cakra dan Pak Harto sama-sama sedang menatap ke arah Asta dan Satria yang terus-terusan berdebat dengan seru.
"Dia itu memang begitu orangnya, sangat ramah pada semua orang, apa lagi pada wanita-wanita di daerah sini," ujar Pak Harto, berbicara pada Cakra sambil terus menatap ke arah Satria yang saat ini sedang menggoda Asta.
Mendengar hal tersebut Cakra pun langsung mengepalkan tangannya sembari memusatkan perhatiannya pada Satria.
"Apa dia selalu seperti itu?" tanyanya lalu menoleh pada Pak Harto.
"Selalu seperti itu?" tanya Pak Harto yang terdengar sedikit bingung mendengar pertanyaan tersebut.
"Suka menggoda perempuan," sahut Cakra, memperjelas pertanyaannya tadi.
Pak Harto pun terdiam sejenak, dan kemudian ….
"Hahaha!" Gelak tawa pun muncul dari bibir Pak Harto. "Bukan-bukan, dia itu memang pemuda yang ramah tapi bukan yang macam-macam seperti itu," imbuhnya.
Dan tentu saja, tawa Pak Harto itu langsung membuat Asta dan Satria menoleh ke arah Cakra dan laki-laki paruh baya tersebut.
"Kenapa Pak, sepertinya ada yang seru?" tanya Satria pada Pak Harto.
"Tidak ada apa-apa, aku sedang menceritakan tetangga di sekitar sini."
Lalu Satria pun menyahut, "Jangan khawatir Mas, tetangga di sini rukun-rukun. Apalagi aku, aku ini sangat menjunjung tinggi kerukunan."
"Hmmm," gumam Cakra menanggapi ucapan Satria tersebut.
Lima belas menit lebih berlalu, akhirnya Satria pun berpamitan untuk meninggalkan halaman rumah tersebut dan pergi ke rumahnya sendiri, yang seperti dikatakan berada tepat di samping rumah yang disewa Cakra dan Asta itu.
'Dih, baru juga sampai di sini kenapa sudah punya tetangga seperti itu,' batin Asta sambil menatap ke rumah Satria dan melihat pemuda tersebut sedang melambaikan tangan ke arahnya.
"Astaga," gumamnya sambil menggeleng pelan melihat tingkah pemuda tersebut.
Sedangkan Cakra saat ini hanya diam saja melihat interaksi antara kedua orang tersebut, namun di balik diamnya itu ada tangan yang mengepal kuat. Entah itu sedang menahan amarah karena istrinya digoda orang, atau merasa jengkel karena adik yang selama ini dijaganya seperti sedang dipermainkan oleh seorang pemuda.
"Kenapa, apa kamu tertarik pada pemuda itu?" tanyanya dengan tiba-tiba.
Asta yang sedang menatap ke arah rumah Satria pun langsung menoleh ke arah suami seharinya itu. "Aku …,"
"Aku?" tanya Asta sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.Namun Cakra tak menjawab pertanyaan tersebut dan hanya memberikan tatapan tajam untuk menanggapi pertanyaan Asta tersebut."Astaga Kak ... mana mungkin aku suka pada laki-laki tengil seperti itu," ujar Asta lalu membuang napas kasar sambil menggedikkan bahunya.Namun Pak Harto yang masih berada tidak jauh dari Cakra pun langsung menyahut, "Hati-hati jangan bicara seperti itu, nanti bisa kualat. Istri saya itu dulu juga seperti itu pada saya, dan sekarang kami sudah punya anak tiga."Mendengar hal tersebut Asta pun langsung tersenyum canggung.'Andaikan bapak-bapak ini tahu kalau aku ini istri laki-laki di dekatnya itu, dia pasti tidak akan bicara begitu,' batin Asta yang merasa sedikit bingung saat ingin menjawab kalimat Pak Harto tersebut. Setelah lebih dari satu jam mengelilingi r
"Kampret!" teriak Asta sambil berlari dari depan pintu kamarnya menuju ke arah Cakra dan Satria.Sontak saja kedua laki-laki tersebut menatap ke arah Asta. Dan sesaat kemudian Asta pun langsung merebut benda pribadi berenda yang dipegang oleh Satria tersebut. "Ambil kembaliannya," ucap Asta sambil memberikan uang lima puluh ribu ke tangan Satria dan dengan cepat berbalik sembari berlari membawa benda tersebut kembali ke dalam kamarnya.Kedua laki-laki yang sedang berdiri di dekat pintu masuk rumah tersebut pun hanya terdiam terpaku melihat kelakuan Asta yang*absurd* tersebut.Setelah beberapa saat …."Ehem!" Sebuah deheman kemudian muncul dari bibir Satria. "Ya sudah kalau begitu, aku ke sini untuk memastikan benda yang masuk ke dalam daftar belanjaanku tadi," imbuhnya."Ya," sahut Cakra dingin.Lalu Satria pun menyodorkan uang yang diberikan ole
"Ck, apa Kakak tidak tahu, aku ini ingin … mandi," ujarnya ketika tubuh sintalnya hanya berjarak beberapa inchi dari tubuh laki-laki di depannya itu.Dan setelah itu ia pun dengan cepat berjalan menjauh dari Cakra tanpa menoleh sedikit pun.Dan ketika ia sampai di depan pintu kamar mandi yang ada di ruang belakang, ia pun berhenti untuk membetulkan handuk yang melilit tubuhnya sambil menoleh ke arah Cakra. "Kita makan malam apa, atau kita keluar saja?" tanyanya dengan suara yang dibuat sedikit serak-serak seksi mengundang.Cakra yang sedari tadi terus memperhatikan langkah dan setiap gerakan dari tubuh Asta pun langsung menjawab tanpa sadar, "Keluar.""Bagus," sahut Asta sambil tersenyum manis dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang sudah berada di depannya itu.Cakra pun langsung terkesiap ketika Asta menghilang dari pandangannya. "Astaga," gumamnya sambil mengus
"Hei!" Terdengar panggilan dari arah lain.Sontak saja Cakra dan Asta langsung menoleh ke arah suara tersebut."Kalian orang yang ada di tempat makan tadi kan?" tanya seorang laki-laki yang kini sedang berada di halaman rumah Satria."Dia …," gumam Asta sambil menunjuk ke arah laki-laki tersebut.Laki-laki itu pun mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi Asta tersebut. "Kenapa, apa kalian lupa padaku?" tanyanya."Tidak," sahut Cakra dengan cepat. "Kamu Dokter Rendra kan?"Asta pun langsung menoleh kembali ke arah Cakra. 'Kok tidak kaget, apa dia sudah tahu sebelumnya?' batinnya."Benar-benar," sahut Rendra yang kemudian berjalan keluar dari halamannya dan masuk ke halaman rumah tersebut.Setelah sampai di teras rumah tersebut, Rendra pun bersalaman dengan Asta dan Cakra dengan santai. "Kalian tinggal
"Apa yang sedang …." Kalimat Cakra terhenti ketika melihat Asta dan Rendra sedang berada di depan kompor gas. "Kamu sedang apa?" Cakra mengganti pertanyaannya dan langsung mengarahkan pertanyaan tersebut khusus untuk Asta.Asta yang sedang memegang spatula di tangannya pun menjawab dengan ringan, "Masak.""Kamu bisa masak?" tanya Cakra lagi."Bisa, dikit," jawab Asta lalu menoleh ke arah Rendra. "Kalau dia nih ... jago," imbuhnya lalu kembali terkekeh.Melihat hal tersebut, Cakra pun langsung mengerutkan keningnya. 'Sejak kapan mereka menjadi akrab?' batinnya yang merasa ada yang salah dengan hal itu."Iya aku jago karena yang aku masak ini ayam jago, Benarkan?" sahut Rendra sembari ikut tertawa kecil.Kemudian Cakra pun menyahut, "Lalu suara tadi ...." Cakra menggantung kalimatnya."Suara apa?" tanya Asta, menanggapi kalimat laki-
BRUGH!"Ishhh!" desis Asta sesaat setelah tubuhnya terjungkal di lantai rumah tersebut.Beberapa detik kemudian, ia pun dengan cepat mengganti posisinya dan duduk di lantai sembari menatap ke arah laki-laki yang kini sedang berdiri tidak jauh darinya itu."Siapa yang mengajari kamu hal seperti itu?" tanya laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu dengan sebuah tatapan tajam menyertai kalimatnya.Namun bukannya menjawab, kini Asta malah melengos dan menatap ke arah lain.Suasana di ruangan itu pun langsung berubah sunyi selama beberapa saat. Cakra pun terus saja menatap ke arah Asta dengan ekspresi yang sama, ekspresi yang menggambarkan tuntutannya agar Asta menjawab pertanyaannya itu. Begitu juga dengan Asta yang masih kekeh menatap ke arah lain dan terlihat jelas kalau tak ingin menjawab pertanyaan tersebut."Hufff …." Akhirnya Asta pun menghela nap
THAKKK! Auuu! pekik Asta ketika sebuah koin mengenai keningnya dan langsung membuat matanya terbuka lebar."Isssh!" desis Asta kesal ketika menatap koin yang kini masih berputar-putar di lantai tak jauh dari tempatnya berdiri."Jangan lama-lama!" Terdengar teriakan lagi dari laki-laki yang kini melangkah ke arah ruang tamu tersebut."Apa dia hilang ingatan, kenapa bisa memperlakukan aku seperti ini lagi. Dasar laki-laki freak," gerutu Asta lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengambil peralatan mandinya. Lima belas menit berlalu, dan kini Cakra masih menunggu Asta di ruang tamu rumah itu sembari menghentak-hentakkan kakinya karena mulai tak sabar menunggu istrinya itu."Ck, lama sekali," ucap Cakra ketika melihat Asta yang baru saja masuk ke ruang tamu tersebut.Asta yang dikomentari pun langsung
"Hei!" teriak Asta yang terkejut karena wanita paruh baya tersebut tiba-tiba saja menarik rambut ibu muda yang duduk di sampingnya."Apa kamu!" sentak wanita paruh baya tersebut sambil melotot pada Asta."Lepaskan dia!" Asta tentu tak mau kalah dan merasa benar-benar harus membela perempuan muda yang saat ini sedang memeluk erat anaknya sembari mempertahankan posisi duduknya agar tak terjatuh. Dan tanpa pikir panjang Asta langsung mengambil sebuah papan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, ingin memukulkan papan tersebut pada wanita paruh baya di depannya. Namun tepat sebelum papan itu diayun ke arah kepala wanita paruh baya tersebut, tiba-tiba sebuah tangan menahannya.'Kok macet,' batin Asta yang merasa heran karena papan tersebut tak bisa digerakkan. Sesaat kemudian ia pun menatap ke atas, dan menemukan sebuah telapak tangan dengan tanda lahir berwarna coklat sedang menahan kayu yang dipegangnya."Jangan sembarangan," ucap pe