Mendengar suara yang tak asing di telinganya itu, Cakra pun langsung berlari keluar dari tempat tersebut. Sedangkan para pegawai tempat itu pun saling menatap dan sesaat kemudian mereka ikut berlari keluar dari tempat itu.
Dan ketika semua pegawai sampai di teras tempat makan tersebut, mereka mendapati pemandangan aneh. Terlihat Cakra sedang menatap tajam ke arah seorang gadis yang kini berada di bawah tubuh seorang pemuda di pinggir jalan raya depan tempat makan tersebut.
"Ah, cepat bangun!" teriak gadis yang masih menggunakan baby doll itu sembari berusaha mendorong tubuh laki-laki di atasnya.
"Bangun-bangun, kamu nggak lihat kakiku keram!" tukas pemuda tersebut sembari berusaha beralih dari tubuh gadis yang ada di bawahnya menggunakan kedua tangannya.
Dan karena tak sabar, gadis itu pun langsung menendang tubuh pemuda yang ada di atasnya hingga pemuda tersebut pun terpental.
"Akhhh!" pekik pemuda tersebut sembari meringis menahan sakit.
"Mampus," ucap gadis itu sambil menatap kesal pada pemuda tersebut.
"Kurang ajar, awas kamu," ucap pemuda tersebut sembari menunjuk ke arah gadis yang sempat menendangnya tadi.
Namun gadis tersebut tak memperdulikannya dan langsung menoleh ke arah lain, hingga ia menemukan Cakra yang kini sedang menatapnya dari kejauhan.
"Kak, kamu kok diem aja. Bantu aku bangun dong," ucapnya sembari mengulurkan tangan, meminta bantuan Cakra.
Cakra pun menghela napas panjang lalu berjalan mendekat ke arah gadis tersebut dan menolongnya. "Baru juga bangun, sudah bikin masalah," ucap Cakra dengan nada dingin.
"Dih, dia tuh yang yang bikin masalah," sahut gadis tersebut sembari menunjuk ke arah pemuda yang saat ini masih terduduk di tanah tak jauh dari mereka.
"Masalah apa! Kamu itu yang jalan sembarangan dan hampir saja ketabrak, untung aku menolong kamu. Eh bukannya terima kasih, habis ditolong malah nendang," ujar Pemuda itu dengan kesal.
"Tapi ak—"
"As!" Tegur Cakra yang membuat gadis tersebut langsung terdiam. Kemudian ia pun langsung berjalan ke arah pemuda tersebut dan membantunya berdiri. "Maafkan dia, apa kamu tidak apa-apa? Akan aku antar ke rumah sakit jika ada yang terluka."
Pemuda itu pun langsung menatap ke arah Cakra. "Tidak perlu. Ini hanya kram sebentar," jawabnya sembari menghentak-hentakkan kakinya.
"Baiklah," sahut Cakra dengan tenang setelahnya.
Kemudian Pemuda tersebut menatap ke arah Cakra dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kamu bukan orang sini?"
"Iya, aku baru sampai dari Jakarta."
"Hem … pantas," gumam Pemuda tersebut, kemudian ia mengulurkan tangannya. "Perkenalkan aku Rendra, dokter rumah sakit yang ada di sana," ujar Pemuda tersebut sembari menatap ke arah papan rumah sakit besar yang tidak jauh dari tempat tersebut.
"Aku Cakra yang mengurus tempat makan ini," ucap Cakra lalu menerima jabat tangan dari pemuda bernama Rendra tersebut.
"Oh begitu," sahut Rendra sambil menatap ke arah tempat makan yang dimaksud oleh Cakra. "Iya, aku beberapa kali makan di sini."
Cakra pun mengernyitkan keningnya ketika melihat ekspresi tak begitu mengenakkan dari Rendra ketika menatap tempat makan yang akan dikelolanya itu.
"Kenapa, apa ada masalah dengan tempat ini? Aku adalah orang baru, jadi aku tidak tahu jika ada yang tidak benar sebelumnya."
Lalu Rendra pun menggeleng pelan. "Ah tidak ada apa-apa," jawabnya dengan tenang, terlihat jelas kalau ia enggan berkomentar.
Setelah berbincang beberapa saat, kemudian Rendra pun melanjutkan langkahnya menuju ke rumah sakit tempat kerjanya. Sedangkan Cakra sendiri pun berbalik dan membawa Asta masuk ke dalam tempat makan tersebut.
\*
Setengah jam berlalu, kini yang ada di tempat itu tinggal Cakra, Asta dan juru masak tempat makan tersebut.
"Ini Pak," ucap Juru Masak tersebut sembari membawakan semua makanan yang ada di daftar menu.
Cakra pun langsung menghela napas panjang ketika menatap ke arah makanan-makanan yang ada di depannya. Semua makanan tersebut memiliki aroma yang menggunggah selera, namun sayangnya tampilan makanan tersebut terlalu sederhana di mata Cakra.
"Apa Anda selalu menyajikan makanan seperti ini?" tanya Cakra pada juru masak tersebut.
"Iya Pak," jawab laki-laki paruh baya tersebut dengan jujur.
"Apa tidak pernah ada yang komplain atau sejenisnya?" tanya Cakra lagi.
Laki-laki paruh baya tersebut menggaruk-garuk pelipisnya. "Kalau untuk itu saya tidak tahu, saya hanya tukang masak. Untuk masalah itu mungkin anak-anak muda itu yang lebih tahu," jawabnya lagi.
Lalu Cakra pun mempersilahkan laki-laki paruh baya tersebut untuk duduk di dekat mereka.
"Baik Pak," sahut laki-laki paruh baya tersebut dan dengan cepat duduk seperti yang diminta oleh Cakra.
Kemudian Cakra dan Asta pun memakan masakan laki-laki tersebut sembari memberikan beberapa komentar, sedangkan laki-laki paruh baya tersebut terus mengangguk-angguk mendengar berbagai komentar dari mereka berdua.
Satu jam lebih berlalu dengan diskusi di antara mereka bertiga. Lebih tepatnya antara Cakra dan juru masak tersebut, sedangkan Asta hanya mendengarkan dan sedikit menyahut ketika diajak bicara.
"Terima kasih Pak Harto, saya senang ada orang yang bisa saya ajak diskusi setelah ini," ucap Cakra sembari berjabat tangan dengan juru masak tersebut.
Laki-laki tersebut pun menyahut dengan senyum lepas di wajahnya. "Saya yang harusnya berterima kasih. Saya tidak menyangka di usia seperti ini masih ada yang mau berdiskusi dengan saya, bahkan Anda mau mendengarkan saran dari orang tua seperti saya."
"Sama-sama Pak," ucap Cakra dengan sopan.
Lalu Pak Harto pun menatap ke arah Cakra dan Asta bergantian. "Maaf jika saya boleh tahu, kalian berdua ini …."
"Dia adik saya," jawab Cakra dengan cepat.
Mendengar hal tersebut Asta pun langsung menoleh ke arah Cakra. 'Kenapa, apa sememalukan itu punya istri seperti aku,' batinnya yang kemudian menundukkan pandangannya.
Lalu sesaat setelahnya, ia pun mengalihkan pandangannya pada pak Harto. "Benar, saya adiknya Kak Cakra," ujarnya sambil tersenyum hambar.
"Oh ternyata seperti itu," gumam Pak Harto. "Lalu kalian berdua ini tinggal di mana?"
"Kami baru pagi ini sampai, jadi belum mendapat tempat tinggal. Apa Anda bisa merekomendasikan tempat tinggal untuk kami?" tanya Cakra.
"Sebenarnya ada, tapi tidak tahu cocok atau tidak," jawab Pak Harto sambil tersenyum sungkan.
"Kalau begitu kita lihat saja dulu," sahut Cakra dengan santai.
Setelah itu mereka bertiga pun meninggalkan tempat makan tersebut.
\*
Di dalam mobil.
"Kamu kenapa?" tanya Cakra karena sejak masuk ke dalam mobil tak terdengar sepatah kata pun keluar dari mulut gadis di sampingnya itu.
"Tidak apa-apa," sahut Asta singkat.
"Kamu kesal? Itu kesalahan kamu sendiri. Sudah aku katakan jangan mengikutiku, di sini itu bukan rumah, tidak akan ada yang menghibur kamu jika kamu marah," ujar Cakra dengan nada dingin.
Lalu Asta langsung menoleh ke arah laki-laki di sampingnya itu. "Apa kamu pikir aku semanja itu?" tanyanya yang tentu saja tersinggung dengan perkataan suaminya tersebut.
Sedangkan Cakra hanya diam, terlihat dia tak ingin menjawab pertanyaan Asta tersebut.
"Baiklah itu terserah kamu, aku tidak perduli," ujar Asta mencoba tetap tenang. "Tapi ngomong-ngomong, tidak biasanya kamu bisa langsung hormat pada orang. Memang Pak Harto itu siapa?"
"Dia juru masak, bukannya kamu juga tahu itu."
"Tapi kenapa kamu memperlakukannya berbeda?"
"Jika kamu bisa melihat aku memperlakukan dia berbeda, harusnya kamu juga bisa melihat kalau dia punya wibawa yang tidak biasa," jawab Cakra dengan tenang.
Sedangkan Asta hanya bisa menghela napas panjang mendengar jawaban yang tidak melegakan hatinya itu.
Setelah mengikuti Pak Harto yang naik motor bebek—menunjukkan jalan pada mereka selama lebih dari lima menit, akhirnya mereka berhenti di halaman sebuah rumah yang terlihat sederhana dengan taman kecil yang menghiasi halaman rumah tersebut.
"Apa ini rumahnya?" tanya Asta ketika baru turun dari mobil dengan tatapan yang syarat akan kekecewaan ketika memandangi rumah tersebut.
"Benar. Ini rumah anak saya tapi orangnya sedang bekerja di luar negeri, jadi saya bermaksud menyewakannya," terang Pak Harto dengan tenang.
"Baik Pak, kami ambil rumah ini."
"Kak," ucap Asta sambil mengerutkan keningnya pada Cakra yang begitu saja mengambil keputusan tanpa bertanya sedikit pun pada dirinya.
Lalu Cakra pun langsung menatap ke arah Asta. "Jangan manja," tukasnya dingin.
"Tapi ak—"
Tiba-tiba ….
"Hei, kita bertemu lagi!" teriak seorang pemuda yang tengah lewat di jalanan depan rumah tersebut dan langsung berbelok ke halaman rumah itu begitu saja.
Sedangkan Asta yang melihat pemuda tersebut pun langsung mengerucutkan bibirnya.
"Dih segitunya," ujar pemuda tersebut sembari mengedipkan sebelah matanya pada Asta.
"Kamu ….
"Dih segitunya," ujar pemuda tersebut sembari mengedipkan sebelah matanya pada Asta."Kamu …," ujar Asta sambil menyipitkan matanya pada pemuda yang baru menyapanya tersebut.'Dih, bisa-bisanya Si Kampret ini menggodaku di depan banyak orang,' gerutu Asta di dalam hati.Sedangkan Cakra yang saat ini sedang berdiri di samping Asta pun langsung bertanya pada pemuda yang sedang turun dari motor matic-nya itu. "Siapa kamu?"Dan setelah memarkirkan motornya dengan benar, laki-laki tersebut pun berjalan mendekati ketiga orang tersebut dan berdiri tepat di depan Cakra. "Aku Satria, tetangga di sini," jawab Satria sambil mengulurkan tangannya, meminta untuk berjabat tangan."Benar, dia ini tetangga di sini," sahut Pak Harto yang saat ini berdiri tepat di sebelah Cakra.Cakra yang mendengar hal tersebut pun langsung menerima jabat tangan dari Satria. "Cakra, peny
"Aku?" tanya Asta sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.Namun Cakra tak menjawab pertanyaan tersebut dan hanya memberikan tatapan tajam untuk menanggapi pertanyaan Asta tersebut."Astaga Kak ... mana mungkin aku suka pada laki-laki tengil seperti itu," ujar Asta lalu membuang napas kasar sambil menggedikkan bahunya.Namun Pak Harto yang masih berada tidak jauh dari Cakra pun langsung menyahut, "Hati-hati jangan bicara seperti itu, nanti bisa kualat. Istri saya itu dulu juga seperti itu pada saya, dan sekarang kami sudah punya anak tiga."Mendengar hal tersebut Asta pun langsung tersenyum canggung.'Andaikan bapak-bapak ini tahu kalau aku ini istri laki-laki di dekatnya itu, dia pasti tidak akan bicara begitu,' batin Asta yang merasa sedikit bingung saat ingin menjawab kalimat Pak Harto tersebut. Setelah lebih dari satu jam mengelilingi r
"Kampret!" teriak Asta sambil berlari dari depan pintu kamarnya menuju ke arah Cakra dan Satria.Sontak saja kedua laki-laki tersebut menatap ke arah Asta. Dan sesaat kemudian Asta pun langsung merebut benda pribadi berenda yang dipegang oleh Satria tersebut. "Ambil kembaliannya," ucap Asta sambil memberikan uang lima puluh ribu ke tangan Satria dan dengan cepat berbalik sembari berlari membawa benda tersebut kembali ke dalam kamarnya.Kedua laki-laki yang sedang berdiri di dekat pintu masuk rumah tersebut pun hanya terdiam terpaku melihat kelakuan Asta yang*absurd* tersebut.Setelah beberapa saat …."Ehem!" Sebuah deheman kemudian muncul dari bibir Satria. "Ya sudah kalau begitu, aku ke sini untuk memastikan benda yang masuk ke dalam daftar belanjaanku tadi," imbuhnya."Ya," sahut Cakra dingin.Lalu Satria pun menyodorkan uang yang diberikan ole
"Ck, apa Kakak tidak tahu, aku ini ingin … mandi," ujarnya ketika tubuh sintalnya hanya berjarak beberapa inchi dari tubuh laki-laki di depannya itu.Dan setelah itu ia pun dengan cepat berjalan menjauh dari Cakra tanpa menoleh sedikit pun.Dan ketika ia sampai di depan pintu kamar mandi yang ada di ruang belakang, ia pun berhenti untuk membetulkan handuk yang melilit tubuhnya sambil menoleh ke arah Cakra. "Kita makan malam apa, atau kita keluar saja?" tanyanya dengan suara yang dibuat sedikit serak-serak seksi mengundang.Cakra yang sedari tadi terus memperhatikan langkah dan setiap gerakan dari tubuh Asta pun langsung menjawab tanpa sadar, "Keluar.""Bagus," sahut Asta sambil tersenyum manis dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang sudah berada di depannya itu.Cakra pun langsung terkesiap ketika Asta menghilang dari pandangannya. "Astaga," gumamnya sambil mengus
"Hei!" Terdengar panggilan dari arah lain.Sontak saja Cakra dan Asta langsung menoleh ke arah suara tersebut."Kalian orang yang ada di tempat makan tadi kan?" tanya seorang laki-laki yang kini sedang berada di halaman rumah Satria."Dia …," gumam Asta sambil menunjuk ke arah laki-laki tersebut.Laki-laki itu pun mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi Asta tersebut. "Kenapa, apa kalian lupa padaku?" tanyanya."Tidak," sahut Cakra dengan cepat. "Kamu Dokter Rendra kan?"Asta pun langsung menoleh kembali ke arah Cakra. 'Kok tidak kaget, apa dia sudah tahu sebelumnya?' batinnya."Benar-benar," sahut Rendra yang kemudian berjalan keluar dari halamannya dan masuk ke halaman rumah tersebut.Setelah sampai di teras rumah tersebut, Rendra pun bersalaman dengan Asta dan Cakra dengan santai. "Kalian tinggal
"Apa yang sedang …." Kalimat Cakra terhenti ketika melihat Asta dan Rendra sedang berada di depan kompor gas. "Kamu sedang apa?" Cakra mengganti pertanyaannya dan langsung mengarahkan pertanyaan tersebut khusus untuk Asta.Asta yang sedang memegang spatula di tangannya pun menjawab dengan ringan, "Masak.""Kamu bisa masak?" tanya Cakra lagi."Bisa, dikit," jawab Asta lalu menoleh ke arah Rendra. "Kalau dia nih ... jago," imbuhnya lalu kembali terkekeh.Melihat hal tersebut, Cakra pun langsung mengerutkan keningnya. 'Sejak kapan mereka menjadi akrab?' batinnya yang merasa ada yang salah dengan hal itu."Iya aku jago karena yang aku masak ini ayam jago, Benarkan?" sahut Rendra sembari ikut tertawa kecil.Kemudian Cakra pun menyahut, "Lalu suara tadi ...." Cakra menggantung kalimatnya."Suara apa?" tanya Asta, menanggapi kalimat laki-
BRUGH!"Ishhh!" desis Asta sesaat setelah tubuhnya terjungkal di lantai rumah tersebut.Beberapa detik kemudian, ia pun dengan cepat mengganti posisinya dan duduk di lantai sembari menatap ke arah laki-laki yang kini sedang berdiri tidak jauh darinya itu."Siapa yang mengajari kamu hal seperti itu?" tanya laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu dengan sebuah tatapan tajam menyertai kalimatnya.Namun bukannya menjawab, kini Asta malah melengos dan menatap ke arah lain.Suasana di ruangan itu pun langsung berubah sunyi selama beberapa saat. Cakra pun terus saja menatap ke arah Asta dengan ekspresi yang sama, ekspresi yang menggambarkan tuntutannya agar Asta menjawab pertanyaannya itu. Begitu juga dengan Asta yang masih kekeh menatap ke arah lain dan terlihat jelas kalau tak ingin menjawab pertanyaan tersebut."Hufff …." Akhirnya Asta pun menghela nap
THAKKK! Auuu! pekik Asta ketika sebuah koin mengenai keningnya dan langsung membuat matanya terbuka lebar."Isssh!" desis Asta kesal ketika menatap koin yang kini masih berputar-putar di lantai tak jauh dari tempatnya berdiri."Jangan lama-lama!" Terdengar teriakan lagi dari laki-laki yang kini melangkah ke arah ruang tamu tersebut."Apa dia hilang ingatan, kenapa bisa memperlakukan aku seperti ini lagi. Dasar laki-laki freak," gerutu Asta lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengambil peralatan mandinya. Lima belas menit berlalu, dan kini Cakra masih menunggu Asta di ruang tamu rumah itu sembari menghentak-hentakkan kakinya karena mulai tak sabar menunggu istrinya itu."Ck, lama sekali," ucap Cakra ketika melihat Asta yang baru saja masuk ke ruang tamu tersebut.Asta yang dikomentari pun langsung