"Aku?" tanya Asta sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.
Namun Cakra tak menjawab pertanyaan tersebut dan hanya memberikan tatapan tajam untuk menanggapi pertanyaan Asta tersebut.
"Astaga Kak ... mana mungkin aku suka pada laki-laki tengil seperti itu," ujar Asta lalu membuang napas kasar sambil menggedikkan bahunya.
Namun Pak Harto yang masih berada tidak jauh dari Cakra pun langsung menyahut, "Hati-hati jangan bicara seperti itu, nanti bisa kualat. Istri saya itu dulu juga seperti itu pada saya, dan sekarang kami sudah punya anak tiga."
Mendengar hal tersebut Asta pun langsung tersenyum canggung.
'Andaikan bapak-bapak ini tahu kalau aku ini istri laki-laki di dekatnya itu, dia pasti tidak akan bicara begitu,' batin Asta yang merasa sedikit bingung saat ingin menjawab kalimat Pak Harto tersebut.
Setelah lebih dari satu jam mengelilingi rumah tersebut dan akhirnya menyerahkan kunci rumah tersebut pada Cakra, kemudian Pak Harto pun meninggalkan rumah tersebut.
"Bawa barang-barangmu masuk," ucap Cakra yang saat ini sedang mengeluarkan kopernya dari dalam bagasi mobil.
Sedangkan Asta yang kini berada di dekat Cakra pun langsung berdecak kesal. "Ck, iya-iya," ujarnya sambil membuka pintu belakang mobil tersebut dan mengeluarkan sebuah tas ransel yang disembunyikannya di sana.
Setelah itu mereka berdua pun berjalan bersama-sama masuk ke dalam rumah tersebut.
Dan ketika memasuki ruang tamu rumah itu, Asta pun menurunkan tas ranselnya dan kemudian menghela napas panjang sambil mengarahkan pandangannya ke sekitar ruangan tersebut. "Nanti kita tidur di man—"
"Itu kamarmu," ucap Cakra sambil menunjuk salah satu pintu kamar yang ada di sana. "Dan itu kamarku," ujarnya lagi sambil menunjuk ke arah pintu kamar yang lain.
Asta pun tersentak mendengar hal tersebut dan langsung menatap ke arah suaminya itu. "Kenapa tidak sekamar?" tanyanya terus terang.
"Jangan macam-macam," tukas Cakra sambil melangkah dan membawa kopernya ke kamar yang sudah ditunjuknya tadi.
Dan tentu saja, Asta yang tidak mendapatkan jawaban yang jelas pun langsung mengikuti langkah Cakra dan menarik lengan laki-laki yang memutuskan segalanya itu. "Tunggu Kak, jawab dulu pertanyaanku."
Cakra pun menyahut dengan santai tanpa menoleh sedikit pun, "Apa?"
Sebuah pertanyaan singkat yang mengisyaratkan kalau dia tak begitu perduli pada arti pertanyaan Asta sebelumnya itu pun langsung membuat Asta memanyunkan bibirnya.
"Tapi Kak, kita kan sudah menikah ... apa tidak sebaiknya kita—"
"Jangan manja," potong Cakra sambil melepaskan tangan Asta dari lengannya dan kemudian kembali berjalan ke kamar yang sudah ia tentukan sendiri menjadi kamarnya.
Sedangkan Asta yang mendapat jawaban dingin tersebut hanya terdiam terpaku di tempatnya berdiri saat ini sambil menatap punggung suaminya yang kini hilang ketika memasuki kamar yang sudah ditentukan tanpa persetujuannya.
"Hufff ...." Satu helaan napas pun akhirnya muncul kembali dari bibir mungilnya.
Akhirnya ia pun menyeret tas ransel yang sempat ia turunkan di lantai tadi dengan langkah gontai menuju kamar yang sudah ditunjuk oleh suaminya tadi untuk dirinya. Dan ketika ia sampai di depan pintu kamarnya, ia pun menoleh ke arah pintu kamar suaminya yang berada tepat di seberang kamarnya.
"Dasar batako. Hih!" ucapannya lalu mengambil hiasan kecil di dinding dekat pintu kamarnya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Dan ...
DAGH! Asta melemparkan hiasan tersebut tepat ke pintu kamar Cakra.
Setelah itu ia pun dengan cepat masuk ke dalam kamarnya tersebut dan mengunci pintunya.
Dan tentu saja, Cakra pun langsung keluar dari dalam kamarnya.
"Asta!" panggil Cakra ketika melihat sebuah hiasan dinding yang terbuat dari kayu kini patah menjadi dua bagian dan tergelatak di lantai tak jauh dari pintu kamarnya.
Namun tak terdengar sedikit pun sahutan dari kamar yang ada di seberang kamarnya tersebut.
"Huff." Akhirnya Cakra pun hanya menghela napas panjang lalu memungut hiasan yang rusak tersebut dan membawanya masuk ke dalam kamarnya.
KLAK! Ia pun menutup pintu kamar tersebut lagi.
"Dasar gadis itu," gumam Cakra sambil menatap hiasan yang dipegangnya tersebut.
Dan tak diduga, sebuah senyum kecil tiba-tiba muncul di bibir laki-laki yang sedari tadi selalu mengeluarkan kalimat-kalimat dingin untuk istrinya itu.
Setelah itu, ia pun melangkah ke ranjang yang ada di dalam kamar tersebut dan mengeluarkan semua barang-barangnya dari dalam koper. Hingga terlihat sebuah foto terjatuh, lalu ia pun dengan cepat memungutnya.
"Aku pikir aku akan merindukan kamu beberapa waktu ini, tapi ternyata ...." Cakra tak meneruskan kalimatnya dan kemudian tertawa kecil mengingat semua yang dialaminya hari ini.
Namun seketika senyumannya berubah redup ketika mengingat perkenalannya dengan tetangga rumah itu.
"Ck!" Dan hanya decakan kesal yang kini keluar untuk menggambarkan perasaanya saat ini.
"Apa aku ...,"
TOK! TOK! TOK! Terdengar suara ketukan pintu yang cukup mengganggu.
"Permisi!" Terdengar lagi suara seorang laki-laki dari luar rumah tersebut.
"Asta!" panggil orang yang jelas berada di depan rumah tersebut.
Cakra pun langsung bangun dari pinggiran ranjang tersebut dan keluar dari kamarnya. Ia pun dengan cepat berjalan ke arah pintu depan rumah tersebut dan membuka pintu itu dalam sekejap.
"Ada apa?" tanya Cakra saat melihat Satria yang ada di depan pintu rumahnya.
"Apa Asta-nya ada?"
"Ada perlu apa?" tanya Cakra lagi seperti sedang menginterogasi.
Kemudian Satria pun mengeluarkan benda yang sedari tadi disembunyikannya. "Tolong tanyakan, apa ini milik dia?"
Cakra pun membulatkan matanya ketika melihat sebuah benda berenda berbentuk seperti kaca mata besar yang kini sedang ditunjukkan oleh Satria pada dirinya itu.
"KAMPRET!"
"Kampret!" teriak Asta sambil berlari dari depan pintu kamarnya menuju ke arah Cakra dan Satria.Sontak saja kedua laki-laki tersebut menatap ke arah Asta. Dan sesaat kemudian Asta pun langsung merebut benda pribadi berenda yang dipegang oleh Satria tersebut. "Ambil kembaliannya," ucap Asta sambil memberikan uang lima puluh ribu ke tangan Satria dan dengan cepat berbalik sembari berlari membawa benda tersebut kembali ke dalam kamarnya.Kedua laki-laki yang sedang berdiri di dekat pintu masuk rumah tersebut pun hanya terdiam terpaku melihat kelakuan Asta yang*absurd* tersebut.Setelah beberapa saat …."Ehem!" Sebuah deheman kemudian muncul dari bibir Satria. "Ya sudah kalau begitu, aku ke sini untuk memastikan benda yang masuk ke dalam daftar belanjaanku tadi," imbuhnya."Ya," sahut Cakra dingin.Lalu Satria pun menyodorkan uang yang diberikan ole
"Ck, apa Kakak tidak tahu, aku ini ingin … mandi," ujarnya ketika tubuh sintalnya hanya berjarak beberapa inchi dari tubuh laki-laki di depannya itu.Dan setelah itu ia pun dengan cepat berjalan menjauh dari Cakra tanpa menoleh sedikit pun.Dan ketika ia sampai di depan pintu kamar mandi yang ada di ruang belakang, ia pun berhenti untuk membetulkan handuk yang melilit tubuhnya sambil menoleh ke arah Cakra. "Kita makan malam apa, atau kita keluar saja?" tanyanya dengan suara yang dibuat sedikit serak-serak seksi mengundang.Cakra yang sedari tadi terus memperhatikan langkah dan setiap gerakan dari tubuh Asta pun langsung menjawab tanpa sadar, "Keluar.""Bagus," sahut Asta sambil tersenyum manis dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang sudah berada di depannya itu.Cakra pun langsung terkesiap ketika Asta menghilang dari pandangannya. "Astaga," gumamnya sambil mengus
"Hei!" Terdengar panggilan dari arah lain.Sontak saja Cakra dan Asta langsung menoleh ke arah suara tersebut."Kalian orang yang ada di tempat makan tadi kan?" tanya seorang laki-laki yang kini sedang berada di halaman rumah Satria."Dia …," gumam Asta sambil menunjuk ke arah laki-laki tersebut.Laki-laki itu pun mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi Asta tersebut. "Kenapa, apa kalian lupa padaku?" tanyanya."Tidak," sahut Cakra dengan cepat. "Kamu Dokter Rendra kan?"Asta pun langsung menoleh kembali ke arah Cakra. 'Kok tidak kaget, apa dia sudah tahu sebelumnya?' batinnya."Benar-benar," sahut Rendra yang kemudian berjalan keluar dari halamannya dan masuk ke halaman rumah tersebut.Setelah sampai di teras rumah tersebut, Rendra pun bersalaman dengan Asta dan Cakra dengan santai. "Kalian tinggal
"Apa yang sedang …." Kalimat Cakra terhenti ketika melihat Asta dan Rendra sedang berada di depan kompor gas. "Kamu sedang apa?" Cakra mengganti pertanyaannya dan langsung mengarahkan pertanyaan tersebut khusus untuk Asta.Asta yang sedang memegang spatula di tangannya pun menjawab dengan ringan, "Masak.""Kamu bisa masak?" tanya Cakra lagi."Bisa, dikit," jawab Asta lalu menoleh ke arah Rendra. "Kalau dia nih ... jago," imbuhnya lalu kembali terkekeh.Melihat hal tersebut, Cakra pun langsung mengerutkan keningnya. 'Sejak kapan mereka menjadi akrab?' batinnya yang merasa ada yang salah dengan hal itu."Iya aku jago karena yang aku masak ini ayam jago, Benarkan?" sahut Rendra sembari ikut tertawa kecil.Kemudian Cakra pun menyahut, "Lalu suara tadi ...." Cakra menggantung kalimatnya."Suara apa?" tanya Asta, menanggapi kalimat laki-
BRUGH!"Ishhh!" desis Asta sesaat setelah tubuhnya terjungkal di lantai rumah tersebut.Beberapa detik kemudian, ia pun dengan cepat mengganti posisinya dan duduk di lantai sembari menatap ke arah laki-laki yang kini sedang berdiri tidak jauh darinya itu."Siapa yang mengajari kamu hal seperti itu?" tanya laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu dengan sebuah tatapan tajam menyertai kalimatnya.Namun bukannya menjawab, kini Asta malah melengos dan menatap ke arah lain.Suasana di ruangan itu pun langsung berubah sunyi selama beberapa saat. Cakra pun terus saja menatap ke arah Asta dengan ekspresi yang sama, ekspresi yang menggambarkan tuntutannya agar Asta menjawab pertanyaannya itu. Begitu juga dengan Asta yang masih kekeh menatap ke arah lain dan terlihat jelas kalau tak ingin menjawab pertanyaan tersebut."Hufff …." Akhirnya Asta pun menghela nap
THAKKK! Auuu! pekik Asta ketika sebuah koin mengenai keningnya dan langsung membuat matanya terbuka lebar."Isssh!" desis Asta kesal ketika menatap koin yang kini masih berputar-putar di lantai tak jauh dari tempatnya berdiri."Jangan lama-lama!" Terdengar teriakan lagi dari laki-laki yang kini melangkah ke arah ruang tamu tersebut."Apa dia hilang ingatan, kenapa bisa memperlakukan aku seperti ini lagi. Dasar laki-laki freak," gerutu Asta lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengambil peralatan mandinya. Lima belas menit berlalu, dan kini Cakra masih menunggu Asta di ruang tamu rumah itu sembari menghentak-hentakkan kakinya karena mulai tak sabar menunggu istrinya itu."Ck, lama sekali," ucap Cakra ketika melihat Asta yang baru saja masuk ke ruang tamu tersebut.Asta yang dikomentari pun langsung
"Hei!" teriak Asta yang terkejut karena wanita paruh baya tersebut tiba-tiba saja menarik rambut ibu muda yang duduk di sampingnya."Apa kamu!" sentak wanita paruh baya tersebut sambil melotot pada Asta."Lepaskan dia!" Asta tentu tak mau kalah dan merasa benar-benar harus membela perempuan muda yang saat ini sedang memeluk erat anaknya sembari mempertahankan posisi duduknya agar tak terjatuh. Dan tanpa pikir panjang Asta langsung mengambil sebuah papan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, ingin memukulkan papan tersebut pada wanita paruh baya di depannya. Namun tepat sebelum papan itu diayun ke arah kepala wanita paruh baya tersebut, tiba-tiba sebuah tangan menahannya.'Kok macet,' batin Asta yang merasa heran karena papan tersebut tak bisa digerakkan. Sesaat kemudian ia pun menatap ke atas, dan menemukan sebuah telapak tangan dengan tanda lahir berwarna coklat sedang menahan kayu yang dipegangnya."Jangan sembarangan," ucap pe
Satu jam berlalu, kini Asta dan Cakra sudah kembali ke rumah sewa mereka."Aku tetap tidak habis pikir, bisa-bisanya ada orang tua setega itu pada anaknya," ujarnya sembari menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tamu. "Dia itu baru tujuh belas tahun, tujuh belas tahun Kak," imbuhnya sambil menekan bagian akhir kalimatnya.Cakra yang masuk ke dalam rumah itu setelah Asta pun menutup pintu rumah tersebut sembari menyahut, "Kamu sudah tiga kali mengatakan kalimat ini."Jawaban datar dari Cakra langsung saja membuat Asta mendengus kesal. "Ngeselin," lirih Asta hampir tak terdengar.Setalah selesai menutup pintu utama rumah itu, kemudian Cakra pun ikut duduk di sofa sembari meletakkan barang belanjaan yang dibelinya tadi di dekatnya dan Asta. "Aku capek, bawa benda ini ke dapur," perintahnya sembari menyenderkan punggungnya di sofa tersebut agar lebih santai."Kok aku," protes Asta."Lalu siapa?" tanya Cakra sambil menoleh k