Mata Salma menyipit dengan bibir tersungging sebelah saat mendengar pertanyaan Nabila. Dengan licik ia ingin mengatakan sesuatu yang membuat Nabila curiga sekaligus rendah diri. Karena setelah bisa mengendalikan Arka, keinginan Salma saat ini hanya satu, yaitu membuat Nabila mundur dari posisinya sebagai istri Arka.
Namun, baru saja Salma hendak membuka mulut, Arka keluar dari kamar mandi dan menatapnya penuh tanya. Tatapan lelaki itu langsung tertuju pada ponsel yang menempel di telinga Salma. Ia hafal betul dengan casing ponselnua.Segera Arka mengambil ponsel itu dari tangan Salma. Sekilas ia menatap Salma dengan tidak suka. Lalu dilihatnya siapa yang menelepon. Sekali lagi Arka menatap tajam kepada Salma karena ternyata Nabila yang menelepon."Halo, Na!" ucap Arka setelah menempelkan ponsel di telinganya. Ia melangkah menjauhi Salma menuju kaca kamar yang terbentang lebar."Halo, Mas! Tadi kenapa Salma yang angkat telpon? Kamu masih sama dia? Kalian baik-baik aja, kan?" cecar Nabila yang takut terjadi apa-apa dengan Arka."Aku habis dari kamar mandi. Numpang di kos Salma. Kebelet tadi, mungkin aku kekenyangan. Ini udah mau pulang," jelas Arka. Meski tidak suka pada Nabila, tetapi Arka tetap tidak ingin istrinya itu curiga."Oh, syukurlah kalau kamu baik-baik saja.""Ya udah, aku mau jalan nih." Tanpa menunggu jawaban Nabila, lelaki itu menutup sambungan teleponnya.Kembali Arka menatap Salma dengan tajam. "Kamu lancang sekali, Sal! Istriku aja enggak pernah nyentuh hp-ku! Kenapa kamu malah angkat telpon dari Nabila?""Nabila telpon berkali-kali, Mas. Aku takut aja kalau ada sesuatu yang penting." Salma menekuk wajah. Ia tidak suka diperlakukan kasar seperti itu oleh Arka."Kamu kan, bisa bilang sama aku? Ketuk pintu kamar mandi dan bilang kalau Nabila telpon!" Wajah masam Arka masih melekat. Ia tidak suka Salma terlalu lancang. Sementara Nabila tidak pernah sekali pun melewati batas yang memang Arka ciptakan.Salma tidak menyahut. Ia masih menekuk wajah dan memajukan bibirnya. Ia ingin Arka meminta maaf dan membujuknya. Namun, Arka masih tetap dengan omelannya."Lain kali, jangan sentuh hp-ku lagi!" tegas Arka. "Apalagi sampai angkat telepon yang masuk!"Setelah memasukkan ponsel ke dalam saku celana dan memastikan pakaiannya rapi, Arka menoleh pada Salma yang sejak tadi ia tunggu jawabannya, tetapi tak kunjung menjawab. "Kenapa diam aja? Dengar, kan, aku ngomong apa?""Kamu bisa enggak sih, Mas, kalau bicara sedikit aja lebih lembut? Sakit telingaku, tau, dengar kamu bentak-bentak aku terus!" Salma merajuk.Arka menghela napas. "Ya udah, besok lagi jangan sembarangan pegang barang-barangku!"Salma malas berdebat, karena percuma berdebat dengan atasannya yang sejak dulu memang tidak pernah mau kalah itu. Seandainya uang Arka tidak banyak dan jabatannya bukan seorang manager, sudah barang tentu Salma tidak Sudi menjadi selingkuhannya seperti sekarang ini.***"Mas, mau aku masakin apa?" tanya Nabila saat mendengar suara tukang sayur lewat."Yang layak makan, lah. Di sini ada Hanan juga," jawab Arka yang masih bermalas-malasan di atas ranjang. Minggu pagi memang Arka selalu keluar kamar saat sudah siang. Biasanya lelaki itu meminta Nabila membawakan sarapannya ke dalam kamar. Setelahnya ia tidur lagi, baru siang ia keluar rumah untuk menemui Salma."Ya udah, mana uangnya? Aku udah enggak punya uang," ucap Nabila dengan cuek.Wanita yang lagi-lagi mengenakan daster lusuh itu mengambil sweater tipis dan jilbab instan di gantungan belakang pintu lalu mengenakannya. Ia sedang bersiap-siap keluar rumah untuk membeli sayur. Nabila sama sekali tidak memperhatikan tatapan Arka yang sedang menatapnya tidak suka."Uang terus," gerutu Arka sembari bangkit dari tempat tidur menuju rak yang diatasnya terdapat tas kerjanya.Nabila sudah sangat terbiasa dengan kepelitan, kata-kata pedas, tatapan tidak suka dan merendahkan dari Arka. Ia sudah dalam fase enggan mempermasalahkan hal itu. Hatinya sudah kebas, tidak lagi sesensitif dulu.Saat awal-awal menikah memang Nabila merasa sangat tidak tahan dan ingin menyerah. Sering ia menangis setiap kali kata-kata pedas atau hinaan terlontar dari bibir Arka. Ia merasa tidak percaya diri. Dan akhirnya sekarang rasa rendah diri itu tertanam di alam bawah sadar Nabila. Seolah-olah sikap Arka kepadanya memang sudah sewajarnya seperti itu.Nabila merasa dirinya pantas diperlakukan seperti itu oleh Arka. Ia hanya perempuan biasa, tidak berpendidikan tinggi dan berpenghasilan seperti Arka. Jadi, saat Arka berkata semaunya, Nabila sudah berada di fase mewajarkan hal tersebut. Meski tidak ia pungkiri, hatinya masih merasakan sakit sesekali."Nih!" Arka mengulurkan satu lembar uang lima puluh ribu. "Masak yang enak. Jangan bikin aku malu sama Hanan. Masa kakaknya seorang manager, makannya sama kangkung! Malu-maluin kamu itu!"Tanpa berkata-kata, Nabila menerima uang tersebut dan meninggalkan Arka di kamar. Nabila tidak ingin mendengar omelan Arka yang cerewetnya melebihi perempuan."Kemana, Na?"Nabila terkejut saat mendapati Hanan sedang menyapu lantai rumahnya. "Loh, Han, ngapain kamu nyapu?"Nabila sampai tidak menjawab pertanyaan Hanan dan justru balik bertanya. Selama pernikahannya dengan Arka, tak sekali pun lelaki itu mau memegang gagang sapu. Sehingga ia sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Hanan.Hanan berdiri sembari menjadikan sapu yang ia pegang sebagai tumpuan. Matanya menatap lurus ke arah Nabila. "Ada orang tanya, bukannya dijawab malah balik bertanya."Nabila tersenyum. "Maaf, habisnya kamu ngagetin aku. Udah, enggak usah disapu. Nanti biar aku yang nyapu setelah masak.""Nabila, aku itu tanya, kamu mau kemana?" ulang Hanan dengan gemas."Ah, ini mau beli sayur." Nabila menunjuk ke arah luar rumahnya."Enggak mau belanja ke pasar aja?" tanya Hanan. "Ayo, aku antar kalau mau ke pasar?"Nabila melirik telapak tangannya yang menggenggam uang lima puluh ribu rupiah. "Ke pasar bawa uang segini?" batin Nabila."Ah, enggak usah, Han. Belanja di tukang sayur aja. Lengkap, kok. Kamu mau aku masakin apa?" Nabila memasang senyum lebar. Ia tidak mau Hanan mengetahui hatinya yang tadi sempat gundah."Apa aja yang kamu masak, aku suka," ucap Hanan yang tidak berani membebani Nabila."Ya udah, aku ke depan dulu." Nabila sudah melangkah saat Hanan memanggilnya kembali."Eh, Na, tunggu!"Nabila menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Apa?""Bentar." Hanan kemudian masuk ke kamarnya. Sejurus kemudian ia kembali keluar."Tolong beliin aku kerupuk, ya!" pinta Hanan sembari merangsekkan lima lembar uang seratus ribuan ke telapak tangan Nabila."Loh, Han?" Nabila kebingungan melihat uang yang baginya sangat banyak berada di tangannya."Udah, sana beliin aku kerupuk!" Hanan membalik badan kurus Nabila dan mendorong dengan perlahan keluar rumah."Tapi, Han ....""Udah, sana!"Nabila akhirnya berjalan keluar rumah meskipun berkali-kali menengok ke arah Hanan. Sejak menikah dengan Arka, ini kali pertama baginya memegang uang sampai lima ratus ribu rupiah. Rasanya seketika itu Nabila merasa sangat kaya. Ia ingin membeli berbagai lauk dan sayur untuk adik iparnya itu.Benar saja, begitu tiba di tempat tukang sayur yang sedang dikerumuni ibu-ibu itu, Nabila langsung membeli satu kilogram ikan segar, satu kilogram daging ayam, serta lauk dan sayur lainnya. Ibu-ibu yang biasa berbelanja dengan Nabila sampai terheran-heran. Pasalnya tak sekali pun sejak Nabila tinggal di komplek mereka, Nabila membeli daging dan ikan seperti sekarang ini."Mbak Nabila mau ada acara?" tanya Bu Helmi yang rumahnya berjarak dua rumah dari rumah Nabila."Enggak, kok, Bu," jawab Nabila sungkan. Ia bisa menebak kalau para tetangganya itu pasti bertanya-tanya dengan barang belanjaannya yang cukup banyak. "Lagi ada tamu," jelas Nabila akhirnya."Oh, pantas aja. Masak besar jadinya, ya?" tanya Bu Yahya."Iya, Bu.""Mbak Nabila sih enak ya, tiap harinya kalau lagi enggak ada tamu, belanja dikit aja udah cukup. Enggak masak juga enggak masalah. Orang suaminya pasti bawain makanan dari rumah makan terus, kan?" celetuk Bu Helena.Nabila hanya menanggapi dengan senyuman. Ia sebenarnya heran mengapa Bu Helena sampai berkata seperti itu. Ia tidak tahu darimana Bu Helena tahu tentang Arka. Namun, tak mungkin Nabila bertanya-tanya apalagi menceritakan yang sebenarnya kepada mereka semua. Ia masih ingat betul pesan ibunya."Istri itu pakaian suami, begitu juga sebaliknya. Jadi, kewajiban suami istri itu saling menutupi keburukan satu sama lain. Seperti pakaian yang menutupi tubuh dari pandangan mata orang lain.""Eh, tapi iya juga sih, ya, Jeng," timpal Bu Retno. "Aku juga pernah, loh, liat Mas Arka di rumah makan mewah. Lumayan sering malah, soalnya rumah makan itu milik pacar anakku. Tapi, kok, dia sama perempuan, ya? Apa Mbak Nabila tahu siapa perempuan yang sering makan sama Mas Arka itu? Soalnya aku enggak cuma sekali, dua kali, loh, liatnya.""Iya, bener," imbuh yang lain."Perempuan?" gumam Nabila."Iya, aku juga beberapa kali liat, aku enggak nyapa, sih, soalnya Mas Arka sama perempuan," imbuh Bu Ajeng."Sama. Aku juga enggak nyapa. Sungkan, ya? Mas Arka kan, jabatannya manager di usia yang masih muda," imbuh Bu Helena. "Jadi aku cuma liatin dari tempat makanku aja."Nabila gusar. Jika benar apa yang dikatakan ibu-ibu tetangganya itu, berarti selama ini Arka telah berbohong. Selama ini Arka meminta Nabila untuk hidup hemat agar mereka mempunyai tabungan. Arka selalu bilang, ia rela makan di kantin kantor demi menghemat uang. Namun, yang ibu-ibu itu katakan ....Nabila langsung menyelesaikan belanjanya dengan dada bergemuruh. Pikirannya sudah berlari dari tempat itu. Ia ingin bertanya secepatnya pada Arka. Jika benar demikian, sungguh Arka sudah sangat keterlaluan."Ibu-ibu, aku duluan, ya?" pamit Nabila.Semua mengangguk dengan senyum aneh di mata Nabila. Setelah beberapa langkah, Nabila masih bisa mendengar kasak-kusuk ibu-ibu itu."Malah, Jeng, aku sering liat Mas Arka mesra sekali, loh, sama perempuan itu.""Iya, mereka suap-suapan!""Bener, ceweknya mana manja banget, nempel terus sama Mas Arka!"Hati Nabila benar-benar hancur berkeping-keping. "Begini kamu balas semua pengorbananku, Mas?"Pak Handoko dan Bu Wardani langsung membawa Nabila ke rumah sakit. Kondisi Nabila demam tinggi dan tidak sadarkan diri membuat sepasang suami istri itu panik. Beberapa tetangga yang pagi itu kebetulan lewat depan rumah Pak Handoko pun ikut membantu menaikkan Nabila ke mobil. Hingga kabar tentang kondisi Nabila menyebar ke penjuru kampung.Tiba di rumah sakit, Nabila langsung dibawa ke IGD. Serangkaian pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui kondisi Nabila. Beberapa saat setelah hasil pemeriksaan keluar, dokter menyatakan kalau kondisi Nabila koma."Apa? Koma, Dok? Gimana bisa? Semalam putri saya baik-baik saja?" protes Bu Wardani yang sangat takut mendengar apa yang menimpa Nabila.Begitu juga Pak Handoko. Ia sangat takut putri semata wayangnya kenapa-kenapa. "Betul, Dok. Semalam kami masih makan malam bersama. Masih ngobrol-ngobrol seperti biasa.""Dari hasil pemeriksaan, pasien sepertinya mengalami stress berat, sehingga memicu hipertensi dan kejang arteri koroner. Mungkin kondisi pa
"Tapi, Lis ...." Radit berusaha mencegah Lisa, tetapi Lisa langsung memotongnya."Kenapa? Kamu takut aku ganggu acara kamu sama calon istri kamu itu?" sinis Lisa. "Tenang aja, aku enggak akan ganggu, Dit. Lagian harusnya kamu bilang sama aku dari awal kalau mau bawa Manda sama pacar baru kamu. Manda perlu diberi pengertian. Aku enggak mau dia kebingungan nantinya!""Udah, Mas, enggak apa-apa." Nabila menengahi Radit dan mantan istrinya itu. Karena jika melihat karakter Lisa, Nabila paham kalau mantan istri Radit itu bukan tipe perempuan yang gampang mengalah.Radit menatap Nabila lama. Ia tidak enak pada Nabila. Karena harusnya hari ini ia habiskan waktu bersama Nabila dan Amanda, tetapi Lisa justru merecokinya.Karena tidak mau berdebat di depan Amanda dan Nabila juga menyetujui, akhirnya Radit membiarkan Lisa untuk ikut."Ya udah, ayo, berangkat!" ajak Radit.Radit hendak menuntun Amanda, tetapi Lisa tidak melepaskan tangan putrinya itu. Karena tidak mau menggandeng Amanda bersama-s
"Terus kamu mau balikan sama dia?" tanya Nabila dengan jantung tergores luka. Nabila memang tidak mencintai Radit, tetapi saat ini mereka telah berkomitmen untuk menikah. Meski bukan pernikahan impian Nabila, tetap saja apa yang dilakukan Radit malam ini membuat Nabila terluka. Terlebih jika Radit memilih kembali kepada mantan istrinya dan membatalkan rencana pernikahan mereka, meski itu yang Nabila harapkan, tetapi tetap saja hal itu akan melukainya. Radit menatap Nabila lama. Cukup lama. Kemudian Radit menggeleng, "Enggak. Aku udah punya kamu." Radit tersenyum hangat. "Aku enggak bisa kembali sama perempuan yang sudah bermain api dengan laki-laki lain."Nabila sudah tahu kisah masa lalu Radit dari orang tuanya. Kabarnya dulu mantan istri Radit ketahuan berselingkuh. Meski hanya berselingkuh di facebook. Katanya mereka hanya chating, tidak sampai bertemu. Sayangnya, riwayat chat pasangan selingkuh itu terbaca oleh Radit dan Radit sangat marah hingga akhirnya menceraikan istrinya.D
"Ajak Nabila makan di luar aja, Dit!" titah Pak Handoko terhadap calon menantunya.Dengan senang hati Radit mengajak Nabila. Namun, Nabila menolak karena merasa tidak enak badan dan juga tidak ingin pergi dengan Radit. Ia cuma ingin sendiri, menuliskan semua yang sedang ia rasakan saat ini ke dalam novelnya."Kalau kamu gini terus, bisa-bisa kamu sakit, Na!" kesal Bu Wardani. Ia sebenarnya frustasi menghadapi anak dan suaminya yang sama-sama keras kepala."Nabila baik-baik aja, Bu," ucap Nabila menenangkan sang ibu. "Nabila cuma lagi enggak ingin kemana-mana.""Ya udah kalau gitu. Ayo, Dit, makan bersama!" ajak Pak Handoko.Sembari makan malam, Pak Handoko menanyakan tentang pekerjaan Radit dan segala sesuatu yang terlihat membanggakan agar Nabila semakin tertarik. Namun, karena Nabila tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Radit, semua yang di mata ayahnya tampak begitu membanggakan, di matanya terlihat biasa-biasa saja.Mungkin bagi orang lain, Radit adalah sosok yang sempurna den
"Lancang kamu, Han!" desis Nabila. Meski tadi ia sempat terlena, tetapi mendengar perkataan Hanan, membuat harga dirinya terluka. Nabila merasa dilecehkan."Aku tahu," jawab Hanan dengan tenang. Ia memang sengaja melakukan itu. Karena Hanan tahu, jika ia melakukan hal itu, tentu Nabila akan marah kepadanya. Hanan tidak mau merusak rencana pernikahan Nabila. Apalagi dibanding dengan dirinya, calon suami Nabila jauh lebih segala-galanya."Tapi aku enggak akan minta maaf," lanjut Hanan. "Aku cuma ingin kamu tahu kayak gimana perasaanku sama kamu."Nabila membuang muka. Ia tidak suka dengan sikap Hanan. Baru kali ini ia melihat sikap Hanan yang tidak ia sukai. Padahal sebelumnya Hanan laksana malaikat bagi dirinya."Aku enggak ingin kamu gimana-gimana walaupun sekarang kamu sudah tahu perasaanku. Lanjutkan aja rencana pernikahanmu! Aku enggak akan ganggu kamu." Tanpa berkata-kata lagi, Hanan kemudian pergi dari rumah Shela. Hanan bertekad untuk menghilang dari kehidupan Nabila. Rasanya t
Hanan menatap Nabila dengan sorot mata terluka. Tumpukan pikiran positif yang sejak tadi ia susun di tengah berbagai prasangka yang menyerang pikirannya, runtuh seketika. Bahu Hanan terkulai lemas, kemudian bibirnya tersenyum getir. "Selamat ya, Na, semoga semuanya dilancarkan."Nabila ingin sekali membantah. Berkata kalau itu semua tidak benar. Namun, sorot mata ayahnya membuatnya menjadi pecundang. Mulutnya terkunci dan matanya berkaca-kaca, sampai akhirnya genangan itu tumpah dan Nabila membuang muka. Ia tidak ingin menjual kesedihannya."Ayo, masuk, Han!" ajak Pak Handoko dengan ramah. "Biar sekalian kenal dan ngobrol sama calon suami Nabila. Radit itu dokter, loh. Kamu bisa tanya-tanya tentang kesehatan sama dia," ucap Pak Handoko dengan bangga. Pak Handoko melakukan itu karena ingin Hanan tidak lagi mendekati Nabila. Meski sebenarnya ia suka pada Hanan, tetapi ia tidak bisa menerimanya karena Hanan adalah adik Arka dan juga anak Pak Danang. Pak Handoko sudah terlanjur kecewa pa