"Kamu ngapain nyusul ke sini?" geram Arka. Meski setengah berbisik dan dengan gigi terkatup rapat, nada kesal dari suaranya tetap bisa ditangkap oleh Salma. Apalagi dengan tampang Arka yang dinginnya melebihi salju yang telah membeku ribuan tahun.
"Aku ...."Belum juga Salma menyelesaikan ucapan, Arka sudah memotongnya. "Kamu tau, kan? Kita harus hati-hati?"Salma mengangguk. Ia tidak menyangka kalau Arka akan memarahinya seperti ini. "Tapi, aku kangen sama kamu, Mas." Salma berusaha mencairkan kebekuan Arka dengan rengekan manjanya."Iya, aku tahu. Tapi, enggak gini juga. Kalau istriku tahu gimana, coba?""Tapi, kan, dia enggak tau."Arka menghela napas kasar."Aku masih kangen banget sama kamu, Mas ...." Salma mengambil telapak tangan Arka dan menempelkannya di pipi mulusnya lalu menciumi punggung tangan itu berkali-kali."Tadi, kan, udah."Sesuai perkiraan Salma, pegunungan es yang tadi menghiasi wajah Arka akhirnya mencair. Teori Salma tentang lelaki kembali berhasil. Kini nada bicara dan juga wajah Arka menjadi lembut dan hangat."Masih pingin lagi ...." Lagi-lagi Salma mengeluarkan jurus yang membuat Arka tak bisa berkutik. Merengek manja sembari memasang wajah yang menggemaskan."Ya udah, besok datang pagian, ya?""Maunya malam ini ...." Salma menaruh jemari Arka di leher jenjangnya. Padahal saat ini mereka berada di tempat umum, tetapi Salma tidak peduli. Ia bahkan berharap istri Arka memergoki apa yang tengah dia lakukan.Dirayu seperti itu, tentu Arka pun tak bisa menahan naga yang menggeliat di dalam tubuhnya. "Ya udah, nanti kamu cari alasan biar bisa ikut ke mobilku. Nanti kita lanjutin di hotel.""Beneran?" Mata Salma berbinar penuh kemenangan.Arka mengangguk penuh keyakinan kemudian menarik tangannya dari leher Salma setelah sekilas membelai rahang Salma dengan ibu jarinya."Habiskan makananmu!" titah Arka dengan suara parau karena gejolak dalam dirinya semakin menggila akibat godaan Salma.Salma mengangguk dengan semangat. Lalu melanjutkan makan malamnya.Beberapa saat kemudian Nabila kembali bersama Hanan. Perhatian Arka langsung tertuju pada istri dan adiknya itu. "Emang baju kamu enggak bisa dibersihin?" tanya Arka sembari menatap tidak suka pada Nabila yang mengenakan sweater adiknya."Basah, Mas, baju Nabila," jawab Hanan yang tidak habis pikir dengan kakaknya itu. Melihat baju istrinya kotor, bukannya berinisiatif membantu membersihkan, malah tadi masih menyalahkan. Saat ini pun, saat melihat Nabila mengenakan sweaternya, pertanyaan Arka sangat tidak enak didengar telinga."Ada-ada aja!" Arka menarik sebelah bibirnya sembari menatap sinis pada istrinya.Hanan menarik tangan Nabila untuk kembali duduk. "Yuk, lanjutin makannya!" ajak Hanan tanpa memedulikan kakaknya."Maaf, ya, Mbak, tadi aku enggak sengaja," ucap Salma setelah Nabila kembali duduk di sampingnya. Tempat itu masih bersih karena tumpahan jus tadi nyaris semua menumpahi baju Nabila."Iya, enggak apa-apa," jawab Nabila sembari tersenyum tulus. Dia sama sekali tidak tahu kalau wanita itu adalah duri yang sedang berusaha mengoyak pernikahannya.Setelah mereka selesai makan malam, Arka pura-pura bertanya kepada Salma, "Sal, tadi ke sini pakai apa malam-malam gini?""Taksi, Pak," jawab Salma yang sudah bersiap dengan siasatnya."Apa enggak bahaya, tuh, sendirian pakai taksi gitu?""Gimana lagi, Pak. Daripada pakai motor, malam-malam gini dingin.""Iya juga, sih." Arka menjeda ucapannya dan sedang pura-pura berpikir. "Ehm, daripada bahaya gitu, gimana kalau pulang bareng kami aja?"Salma memasang wajah sungkan. Ia menoleh pada Nabila seolah-olah sedang meminta persetujuan istri Arka itu.Nabila yang merasa sedang ditunggu pendapatnya pun angkat suara. "Iya, Mbak. Benar yang dibilang Mas Arka. Pulang bareng kami aja.""Tapi, kosanku agak jauh dari sini," ucap Salma masih dengan tampang pura-pura sungkan."Sejauh apa, sih? Enggak sehari semalam perjalanan, kan?" timpal Arka.Salma tersenyum lebar. "Ya udah. Maaf, ya, Mbak, jadi ganggu acara kalian."Mereka berempat akhirnya pulang dengan mobil dinas Arka. Hanan dan Nabila pikir, mereka akan mengantar Salma terlebih dahulu. Namun, ternyata Arka melajukan mobil ke arah rumah mereka."Loh, Mas, enggak antar Mbak Salma dulu?" tanya Hanan mewakili pertanyaan Nabila."Lumayan jauh kosnya, Han. Kalau antar dia dulu kasian kamu, jadi enggak bisa istirahat. Kamu pasti capek, kan, habis perjalanan jauh?"Karena Hanan dan Nabila belum mencurigai Salma dan Arka, mereka berdua percaya-percaya saja. Mereka pikir, Arka memang sedang memikirkan Hanan yang memang sedang kelelahan karena habis menempuh perjalanan yang cukup jauh.Setelah mengantar Hanan dan Nabila ke rumah, Arka merasa merdeka bersama Salma. Di tengah perjalanan, Salma berpindah tempat duduk ke samping Arka. Ia sudah tidak sabar untuk kembali mereguk madu asmara dengan bosnya itu."Mas," panggil Salma dengan suara manjanya."Hmm." Arka menoleh sekilas kemudian fokus kembali pada jalanan di depannya."Katanya mau beliin aku apartemen?" tanya Salma sembari jemarinya bergerilya di bagian atas lutut Arka.Arka menoleh sekilas pada jemari lentik Salma yang begitu lincah menggugah naluri lelakinya kemudian menjawab, "Nunggu bonus keluar, ya? Minggu depan kayaknya.""Asyik!" seru Salma masih dengan suara manjanya."Aduh, Sal, sabar dulu, nanti di hotel aja!" pinta Arka saat jemari Salma sudah merangsek terlalu dalam. Arka jadi tidak fokus mengemudi."Beneran, enggak mau aku panasin sekarang dulu?" goda Salma."Kalau sama kamu tuh, enggak perlu dipanasin udah langsung mendidih."Salma terkikik manja mendengar ucapan bosnya itu. "Habis, milih istri udik begitu," sungut Salma. "Pasti kalah jauh sama aku, kan, Mas?"Arka tersenyum sembari mengangguk, mengiyakan ucapan Salma. "Kamu bisa kira-kira sendirilah. Itu sebabnya kamu jadi candu buat aku."Salma membuang napas kasar. "Tapi statusku cuma simpanan." Wanita cantik itu memajukan bibirnya dan menekuk wajahnya.Arka menoleh. "Itu kan, cuma status, enggak penting. Yang paling penting kan, kamu mendapatkan segalanya. Apa yang kamu mau selalu aku turuti, kan?""Tapi, aku ingin jadi istri kamu, Mas. Enggak kayak gini terus.""Iya, ya. Kamu sabar dulu.""Benar?"Arka mengangguk meski tidak yakin dengan apa yang diucapkan itu. Yang terpenting baginya adalah membuat Salma senang dan mau melayaninya. Bahkan apartemen yang ia janjikan pada Salma pun, tidak mungkin ia atas namakan wanita itu. Salma hanya ia izinkan menempati nantinya, tetapi bukan memiliki.Begitu tiba di kamar hotel, mereka berdua langsung bergumul layaknya orang yang kelaparan. Saling mengecap dan mengecup, menyentuh dan menuntut, hingga dua manusia itu tidak ingat lagi akan dosa.Seprei kusut yang belum ada lima jam yang lalu menjadi saksi bisu kebrutalan gairah mereka berdua, kembali ditimpa oleh dua insan yang sedang lupa segalanya. Tiupan angin dari iblis membuat keduanya semakin menggila. Rasa nikmat yang mereka dapat pun seolah-olah semakin berlipat. Padahal itu hanya tipu daya iblis.Sementara di kamar rumahnya, Nabila sedang gelisah menanti kepulangan Arka. Sudah lewat tengah malam, tetapi suaminya itu tidak kunjung pulang. Nabila takut terjadi sesuatu dengan suaminya itu. Terlebih, Arka tidak mengangkat teleponnya sama sekali."Semoga kamu baik-baik aja, Mas," gumam Nabila sembari menatap layar ponselnya. Hatinya merasa gelisah, tetapi ia tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu. Ia hanya takut terjadi sesuatu dengan Arka. Tidak terpikir sama sekali di otaknya kalau Arka sedang berjibaku dengan perbuatan hina.Sampai akhirnya, saat ia kembali menelepon Arka, suaminya itu mengangkat ponselnya. Namun, begitu mendengar suara yang menyapanya, Nabila merasa tidak percaya. Ia sampai memastikan apakah dirinya salah menelpon orang lain.Namun, ternyata memang benar, nomor Arkalah yang ia hubungi. Lalu mengapa bukan suara Arka yang menjawab? Melainkan suara wanita?"Ini Mbak Salma, ya? Kenapa angkat telpon suami saya? Mana Mas Arka?" tanya Nabila setelah kembali menempelkan ponsel pada telinga.Mata Salma menyipit dengan bibir tersungging sebelah saat mendengar pertanyaan Nabila. Dengan licik ia ingin mengatakan sesuatu yang membuat Nabila curiga sekaligus rendah diri. Karena setelah bisa mengendalikan Arka, keinginan Salma saat ini hanya satu, yaitu membuat Nabila mundur dari posisinya sebagai istri Arka.Namun, baru saja Salma hendak membuka mulut, Arka keluar dari kamar mandi dan menatapnya penuh tanya. Tatapan lelaki itu langsung tertuju pada ponsel yang menempel di telinga Salma. Ia hafal betul dengan casing ponselnua.Segera Arka mengambil ponsel itu dari tangan Salma. Sekilas ia menatap Salma dengan tidak suka. Lalu dilihatnya siapa yang menelepon. Sekali lagi Arka menatap tajam kepada Salma karena ternyata Nabila yang menelepon. "Halo, Na!" ucap Arka setelah menempelkan ponsel di telinganya. Ia melangkah menjauhi Salma menuju kaca kamar yang terbentang lebar."Halo, Mas! Tadi kenapa Salma yang angkat telpon? Kamu masih sama dia? Kalian baik-baik aja, kan?" cecar Nab
"Loh, Na, kamu kenapa?" Hanan langsung berdiri mencegat Nabila, saat melihat kakak iparnya itu kembali ke rumah sembari menangis.Hati Nabila teramat hancur, sehingga ia tidak bisa lagi menahan cairan hangat yang berdesakan untuk keluar dari pelupuk matanya. Ia merasa tertipu, dibohongi, bahkan kemungkinan besar dikhianati. Hatinya remuk redam saat ini."Aku mau masuk," ucap Nabila dengan suara tercekat. Hanan bahkan nyaris tidak bisa mendengarnya.Hanan menyingkir, membiarkan Nabila memasuki rumah. Lelaki itu mengikuti langkah kakak iparnya, meninggalkan secangkir teh yang sebelumnya sedang ia nikmati di teras rumah. Hanan mengamati Nabila dari belakang. Nabila mematung di depan pintu kamarnya yang masih terbuka. Dadanya bergemuruh melihat Arka yang masih bergelung di bawah selimut. "Suami kejam!" geram Nabila dengan suara tertahan karena tenggorokannya serasa tercekat.Karena Nabila mematung cukup lama, Hanan kemudian mengambil kantong belanjaan yang bahkan masih dipegang Nabila,
"Masak apa kamu?" tanya Arka. Lagi-lagi dengan nada sinis dan tidak bersahabat. Nabila enggan menjawab. Saat ini ia tidak akan lagi mau diperlakukan seenaknya oleh Arka. Ia memilih menyiapkan sayur asam permintaan Hanan dan mengabaikan Arka.Arka menaikkan sebelah alisnya, karena tidak biasanya Nabila mengabaikannya seperti itu. Lelaki itu kemudian berjalan mendekati meja makan dan mencomot ayam goreng yang masih hangat. Setelah menghabiskan satu potong, Arka tersenyum sinis. "Ck! Kamu sengaja masak berlebih gini biar bisa makan enak banyak-banyak, ya?" Arka mendengkus, lebih tepatnya dengkusan yang terdengar merendahkan Nabila. "Mentang-mentang aku kasih uang belanja lebih, udah enggak terkendali belanjaanmu ini!"Nabila langsung meletakkan sendok sayur yang sedang ia pegang dengan keras. Sampai menimbulkan bunyi yang membuat perhatian Arka teralihkan seketika.Arka menoleh dan menatap Nabila penuh tanya. Selama lima tahun pernikahan, ini kali pertama Nabila bersikap seperti itu."
Pergi dari rumah, Arka menyetir mobil dengan pikiran kacau. Perubahan sikap Nabila membuat kepalanya mau pecah. Ia takut kalau ke depan Nabila tidak bisa ia kendalikan lagi.Berkali-kali Arka mengumpat kasar. Berkali-kali juga ia memukul stir yang tidak bersalah apa-apa.Lelaki itu kemudian membunyikan musik di mobilnya. Memutar lagu rock dengan volume yang cukup keras. Ia melampiaskan kekesalannya dengan ikut bernyanyi sembari berteriak-teriak sepuasnya."Aaa! Aaaa!"Pertanyaan mengapa Nabila berubah terus berputar di kepalanya. Arka terus berpikir dan mencari cara agar Nabila bisa ia tundukkan lagi seperti sebelumnya. Sampai Arka tidak fokus pada jalanan karena kebetulan jalanan memang sedang sangat sepi. Ia tidak menyadari kalau di depan ada perempatan dan lampu lalu lintas sudah menyala merah. Ia terus melajukan mobilnya, sampai akhirnya bunyi tabrakan dan benturan kepalanya dengan stir mobil membuat kesadaran Arka kembali."Oh, damn! Shitttt!" teriak Arka sembari memegang keningn
Arka kebingungan begitu berada di rumah sakit. Ia perlu dirawat, tetapi tidak ada yang membantunya mengurus administrasi. Ia ingin menghubungi Hanan, tetapi adiknya itu tentu belum begitu paham dengan daerah situ. Sementara Nabila, menurut Arka istrinya itu tidak bisa diandalkan. "Mana mungkin Nabila yang cuma lulusan SMA bisa urus administrasi rumah sakit," gumam Arka sembari tersenyum sinis. Lelaki itu kemudian memilih menghubungi Salma. Terlebih mereka tadi memang sudah janjian untuk bertemu."Iya, Mas. Kamu udah sampai?" tanya Salma lagi-lagi dengan suara mendayu."Belum, Sal. Aku kecelakaan. Sekarang aku di rumah sakit. Kamu bisa ke sini, kan?""Apa? Kamu kecelakaan, Mas? Astaga! Terus gimana kondisi kamu? Kamu enggak kenapa-kenapa, kan, Mas? Sekarang kamu sama siapa?" cerocos Salma membuat kepala Arka yang sakit semakin pening."Sendiri, kamu ke sini, ya!" Arka kemudian menyebutkan nama rumah sakit dimana dirinya dirawat."Ya udah, kamu tunggu sebentar, aku ke situ sekarang."A
Dada Nabila serasa terbakar melihat pemandangan di depannya itu. Napasnya tersengal-sengal sampai dadanya turun naik dengan cepat."Keterlaluan kamu, Mas!"Arka langsung melerai rangkulan di pinggang Salma. Ia menoleh ke asal suara dan kaki Arka lemas seketika."Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku, Mas?" tanya Nabila dengan perasaan hancur lebur. Ia bahkan sampai kesulitan berkata-kata karena dadanya teramat sesak."Na, dengarkan aku dulu! Aku bisa jelasin ini semua." Arka berjalan cepat mendekati Nabila."Apalagi yang mau kamu jelaskan?" Susah payah Nabila menahan air matanya agar tidak tumpah di depan Arka dan Salma. "Ini enggak seperti yang kamu pikirkan, Na." Arka membujuk Nabila sembari memegangi kedua lengan istrinya itu. Namun, Nabila langsung menghempasnya."Lalu?" Nabila tersenyum miris. "Alasan apalagi yang mau kamu katakan, Mas? Kemarin kamu bilang, dia ada di rumah sakit karena kebetulan kalian memang akan ada urusan pekerjaan bersama. Sekarang? Urusan apalagi? Ranja
"Mas, kamu mau kemana?" Salma mencekal lengan Arka saat lelaki itu hendak menyusul Nabila."Sebentar, ya!" Arka berbalik kemudian memegangi kedua bahu Salma. "Kamu di sini dulu, nungguin orang-orang ini beresin furniture-nya.""Tapi, Mas ....""Aku nanti balik lagi, kok. Atau kalau mereka udah selesai, kamu langsung ke kantor aja enggak apa-apa. Nanti aku nyusul ke kantor."Salma menatap Arka dengan raut wajah keberatan. Namun, ia tidak punya pilihan lain. "Bener?""Iya." Arka mengangguk kemudian mengecup kening Salma. "Aku pergi dulu, ya?" Arka langsung meninggalkan apartemennya untuk menyusul Nabila.Sepanjang perjalanan Arka mengebut. Meski hatinya ketar-ketir karena mobil yang ia kendarai itu belum lama keluar dari bengkel karena kecelakaan beberapa waktu lalu. Namun, ia lebih takut lagi kalau Nabila nekat pergi dari rumah. Apalagi kalau sampai pulang ke rumah orang tuanya. Bisa hancur dirinya dimaki oleh seluruh keluarga.Benar saja, begitu Arka tiba di rumah, Nabila sedang menge
Arka mengacak-acak rambutnya. "Astaga! Gimana ini? Apa yang harus aku katakan sama orang tua Nabila? Kenapa bisa kebetulan gini? Apa jangan-jangan Nabila telpon orang tuanya dan cerita masalah kami sehingga mereka langsung ke sini? Ah, tapi mana mungkin. Jarak dari sini ke kampung kan lebih dari setengah hari."Saat melihat kedua orang tuanya Nabila turun dari mobil, Arka semakin salah tingkah. Rasanya ia ingin berlari sekencang mungkin meninggalkan rumahnya. Namun, hal itu tak mungkin ia lakukan."Assalamualaikum!" Kedua orang tua Nabila mengucap salam sembari tersenyum lebar, begitu sudah berada di depan Arka yang sedang sibuk menutupi kegundahan hatinya."Wa-waalaikumsalam," jawab Arka sembari memaksakan diri untuk membalas senyum mertuanya. Laki-laki itu hanya berdiri, kebingungan harus berkata dan berbuat apa. Bahkan kedua mertuanya itu tidak dipersilakan masuk, sampai ibunda dari Nabila menanyakan keberadaan putrinya."Nak Arka tumben jam segini sudah pulang kerja? Nabilanya man