Share

Awal Penyelidikan

Abdi melihat ke arah Lies dan Indri secara bergantian. Kedua asisten rumah tangga ini tidak terlalu ia kenal. Mereka masuk atas rekomendasi Alleta setelah Sassi dan Ganendra menikah.

"Keputusan saya dan juga peraturan rumah sakit nggak akan berubah. Kalau kalian tetap di sini, bukan nggak mungkin keamanan rumah sakit akan turun tangan. Jadi lebih baik saya antar kalian beristirahat," ujar Abdi.

Abdi mengarahkan Lies dan Indri ke pintu keluar rumah sakit. Membuat Lies dan Indri, mau tidak mau mengikuti Abdi. Mereka bertiga berjalan keluar menuju hotel yang tak jauh dari rumah sakit. Setelah mengurus semuanya, Abdi berjalan menuju parkiran mobil.

Abdi mengambil laptop dan juga tas yang berisi beberapa berkas pekerjaannya. Ada banyak hal yang harus ia periksa.

"Abdi."

Abdi menoleh ke arah suara. Seorang dokter yang sudah berumur menantinya di depan ruang UGD.

"Dokter Glen. Maaf saya baru bisa menemui sekarang," ujar Abdi setelah berlari kecil menghampiri Glen.

Glen, laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan itu menjawab Abdi dengan senyuman. Walau bukan dokter keluarga Darma, Glen merupakan salah satu orang yang akrab dengan Darma.

"Nggak papa, saya sampai pagi jaga UGD. Saya ingin menyampaikan satu hal yang saya tunda tadi."

"Apa itu, Dok?"

"Kau harus menjaga Sassi dengan baik mulai saat ini, Abdi. Karena ...."

Setelah tiga puluh menit berbincang dengan Glen, Abdi berjalan kembali menuju ruangan Sassi. Di sepanjang koridor rumah sakit, Abdi memikirkan banyak hal.

Tak berapa lama, Abdi telah sampai di kamar inap Sassi.

"Kau belum tidur, Sas?" tanya Abdi.

Sassi hanya terdiam, pandangannya menatap keluar jendela yang tidak tertutup gorden. Ia mencoba menembus pekatnya malam.

"Belum. Kau saja. Kau pasti mengantuk dan juga lebih lelah dariku," jawab Sassi sambil melihat ke arah Abdi.

"Aku sudah terbiasa terjaga seperti ini. Nggak usah khawatirkan aku," ucap Abdi.

Abdi meletakkan laptop dan juga tasnya di atas meja.

"Pekerjaanmu banyak? Aku pasti telah banyak mengganggumu hari ini, padahal kau baru saja tiba," tambah Sassi.

"Nggak juga. Kebetulan saja tadi lewat parkiran. Jadi sekalian aku ambil semua yang ada di mobil," jawab Abdi sambil berjalan menghampiri Sassi.

"Tadi kenapa keluar?" tanya Sassi.

"Ganendra mengirim asisten untuk menjagamu. Aku tolak. Aku minta mereka menginap di hotel kecil, seberang rumah sakit ini," ujar Abdi.

Abdi duduk di kursi yang berada dekat di samping Sassi. Beberapa saat mereka terdiam.

"Apa kau juga akan meninggalkanku, Di?" tanya Sassi yang kembali menatap keluar jendela.

"Nggak akan, Sas. Aku akan kembali menjagamu. Kecuali nyawa ini sudah tiba waktunya untuk menghadap pada Tuhan. Sekarang tidurlah. Aku akan menjagamu. Jangan berpikir macam-macam."

Raut wajah Abdi sedikit memaksa Sassi untuk beristirahat, membuat Sassi menurutinya. Sassi kembali merebahkan tubuhnya dan mencoba terpejam. Abdi segera merapikan selimut di atas tubuh Sassi.

Abdi memandangi wajah Sassi. Ada banyak hal yang sebenarnya ingin ia tanyakan. Terutama tentang kematian Darma.

Ia sama sekali tak menyangka, pagi hari ketika ia berada di Wellington, New Zealand, ia mendapat telefon dari salah seorang bawahan dari kantor yang mengabarkan kepergian Darma.

Abdi segera memesan tiket pesawat saat itu juga. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas jam, Abdi harus menerima kenyataan bahwa Darma akan segera dimakamkan. Padahal Darma terdengar baik-baik saja saat berbicara dengannya di telefon sebelumnya, pada pagi hari waktu Wellington.

Abdi kembali duduk di sofa kemudian mengeluarkan laptopnya. Ia mengakses server perusahaan milik Darma. Tugas-tugasnya saat di New Zealand kemarin telah selesai dengan hasil yang memuaskan. Namun, ada hal lain yang harus ia pastikan.

Beberapa anak perusahaan milik Sassi, sudah berpindah tangan ke Ganendra. Cepat sekali. Hanya dalam dua minggu. Bertepatan dengan keberadaannya di Wellington.

Ada apa ini? Apakah Sassi mengetahui hal ini? Atau Ganendra telah merebut perusahaan dengan cara ilegal?

"Apa kau sedang memeriksa semuanya, Di?" tanya Sassi membuyarkan pikiran Abdi.

"Kau nggak jadi tidur, Sas? Ada apa?"

"Banyak hal yang nggak kamu tau, Di. Banyak kejadian saat kamu berada di New Zealand," ucap Sassi lagi, ia tetap berbaring miring ke arah kanan.

"Ada apa, Sas? Apa kau mau bercerita padaku?"

"Laki-laki itu telah berhasil mengambil hati kita semua, Di."

"Siapa? Ganendra maksudmu?"

"Setelah membuat kita lengah, dia mulai berulah. Kita telat menyadarinya, Di."

Abdi menutup laptopnya kemudian berjalan menghampiri Sassi.

"Sas ...," panggil Abdi pelan. Ia kembali melihat air mata menetes di pipi Sassi.

"Maafkan aku, Di. Aku terlalu bodoh. Saat itu Ganendra berhasil membujukku untuk mengalihkan anak perusahan yang Papa buat atas namaku kepadanya."

"Apa Om Darma tau masalah ini?" tanya Abdi. Ia kembali duduk di kursi yang berada di samping ranjang.

"Aku nggak tau, Papa tau atau nggak."

"Sas, mungkin pertanyaan ini akan membangkitkan kesedihanmu. Tapi aku nggak bisa menahan lebih lama lagi. Apa kau tau penyebab Om meninggal?"

"Saat itu, aku sedang di dapur dan Ganendra yang sedang bersama Papa. Dia bilang Papa kena serangan jantung."

"Apa dokter mengatakan hal yang sama?"

"Iya. Tapi saat dokter datang, Papa sudah nggak ada."

Abdi memejamkan matanya, ia bersandar pada kursi kemudian menatap langit-langit kamar. Penyesalan itu kembali datang. Segala pertanyaan kenapa begini dan kenapa begitu menyerang otaknya seketika.

Abdi menghentakkan kaki ke lantai, berharap sesak di dadanya menghilang. Namun, tetap saja ia tidak mendapatkan perasaan lega.

"Abdi," panggil Sassi dengan suara yang lemah.

"Bisakah kamu membantuku merebut kembali apa yang telah Ganendra ambil dariku?"

________________

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status