Share

BAB 6

KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG

BAB 6

"Lho, memangnya ngapain nelpon Pak Udin?"

"Ibu mau pulang! Nah, itu Pak Udin. Titin, Irna, Linda, kita pulang sekarang!" panggil ibu mertua tegas memanggil ke tiga kakaknya Mas Ilham.

Mobil sedan yang dikendarai Pak Udin berhenti di depan rumah. Entah ke mana Pak Udin pergi? Kalau Pak Udin berada di sini saat ibuku datang, pasti ibuku akan bersikap baik kepada ibu mertuaku.

Seperti ibu mertuanya Bang Usman. Saat datang menggunakan mobil, ibuku langsung menyambutnya dengan senyum hangat. Karena bagi ibuku, yang mempunyai mobil sudah pasti orang kaya dan bertahta.

"Kita pulang?" tanya Kak Irna.

"Iya, lebih baik pulang, tiba-tiba Ibu merasa gerah!" jawab ibu mertua ketus.

"Syukurlah! Tidak jadi menginap, ayo, aku sudah kepanasan berada di rumah ini. Ilham, kamu tidak pulang?" Kak Titin bertanya.

"Duluan, kapan-kapan aku akan menyusul membawa istri dan anakku," jawab Mas Ilham dengan tersenyum manis melihat kakaknya itu.

"Betah amat hidup di sini, ya sudah, kak Titin masuk duluan ke mobil," ucap Kak Titin setelah besalaman denganku dan Mas Ilham.

Tampangnya terlihat judes dan sombong, tapi benar yang dikatakan Kak Irna. Aslinya baik, kayaknya sih.

Ibu mertua keluar lagi dari dalam rumah setelah mengambil tas jinjingnya. Penampilan Ibu mertuaku sederhana, berbeda dengan ibuku yang suka memakai make up tebal dan perhiasan imitasi pemberian dari istrinya Bang Usman. Tapi, Ibu selalu bangga dengan menyebut emas imitasi itu adalah emas asli.

"Ibu pulang dulu. Ingat, jangan pernah mengajari istrimu untuk mencuri di rumah mertuamu, diberi hidup enak kok mau hidup susah!" ucap Ibu mertua ketus. Entah apa maksud dari perkataannya itu?

"Hati-hati, Bu," kataku, aku bersalaman dengan ibu mertua dan membalas memeluk ibu mertuaku sebentar.

"Iya, kamu yang hati-hati, jaga makan dan minum agar cucu Ibu sehat di dalam sini, bulan depan, Ibu akan datang lagi," ucapnya sambil mengelus perutku yang rata. Aku mengangguk tersenyum.

Aku dan suamiku melambaikan tangan saat klakson mobil berbunyi, dan mobil itu melesat cepat membelah jalan.

______

"Kok aku tidak merasakan lagi hamil ya, Mas? Soalnya, tidak pernah mual atau pun ngidam gitu," ucapku sambil melihat Mas Ilham membersihkan ikan.

"Setiap orang hamil itu beda-beda bawaannya, mungkin anak pertama tidak merasakan apa-apa, bisa saja anak kedua kamu mabuk berat seperti Kak Titin dulu," ujar Mas Ilham.

"Kalau rasanya seperti ini, aku mau hamil terus, Mas." Ucapanku membuat Mas Ilham tersenyum.

Tok!

Tok!

Tok!

"Ilham," panggil seseorang setelah mengetuk pintu utama.

Mas Ilham yang sedang membersihkan ikan beranjak untuk membukakan pintu. Tidak ingin ketinggalan dan melihat siapa yang datang, aku meletakkan cabe yang sudah kutumbuk menggunakan lesung batu ke atas meja.

"Kulkas dan mesin cuci dari Bu Belinda," ucap Kang Danu, yang dikenal sebagai pengantar perabotan di daerah sini.

"Mas, Bu Belinda siapa, Mas?" tanyaku.

"Ibu mertuamu, Dek. Ibu pasti membelinya karena tidak melihat adanya kulkas dan mesin cuci di rumah ini," jelas Mas Ilham. Karena aku memang belum tahu siapa nama Ibu mertuaku.

"Ibu kita, Mas. Telpon ibu, Mas. Aku mau mengucapkan terimakasih," ucapku sambil menoleh melihat Mas Ilham yang sedang membuka kotak besar berisi kulkas.

Tin!

Mobil pickup masuk ke dalam halaman rumah. Aku langsung terperangah melihat apa yang ada diatas pickup itu.

"Ibu memang tidak bisa menganggap kalau anaknya ini sudah dewasa. Mas jadi malu sama kamu, karena belum bisa membahagiakanmu dengan hasil keringat sendiri," kata Mas Ilham sambil mengusap kepalaku.

"Aku bahagia hidup bersamamu, Mas. Tapi, kok kamu tidak pernah cerita, tentang keluargamu yang-"

"Nanti Mas ceritakan semuanya," potongnya dan turun dari rumah untuk membantu mengangkat sembako yang ada diatas mobil pickup dan membawanya masuk ke dalam rumah.

'Sembakonya banyak sekali, seperti akan membuka toko sembako saja. Ya Allah, baik sekali Ibu mertuaku.'

"Ini, Mas. Tadi ibunya nitip buah-buahannya juga, pesannya, jaga cucunya dengan baik," ucap Supir pickup itu dan menyerahkan kantong berisi buah-buahan kepada Mas Ilham.

"Terima kasih, Mas. Ini untuk uang ngopi-ngopinya."

"Oh, maaf, Mas. Kami sudah mendapatkan bonusnya dari ibunya, Mas. Kami permisi dulu," ucap Supir itu sopan.

"Mas, telpon Ibu, bilang terima kasih," kataku setelah mobil pickup itu pergi.

Aku tidak kuasa menahan air mata agar tidak membasahi pipiku. Dibalik sikap Ibu mertua yang judes, ternyata dia berhati malaikat.

"Lah, kok nangis, Sayang?" Mas Ilham memelukku.

"Sedih, Mas," jawabku.

"Uluuu uluuu, jangan lah menangis, kamu membuatku ikut sedih, nanti malam kita telpon Ibu," ucap Mas Ilham menghibur.

"Ayo, sekarang kita bereskan barang-barangnya, biar terlihat rapi dan enak dilihat." Aku mengangguk menanggapi.

______

Jam delapan malam, setelah kami berdua selesai makan. Mas Ilham menelpon ibunya.

"Tidak diangkat, Sayang. Di jam segini, biasanya mereka semua lagi sibuk makan malam. Kapan-kapan saja kita telpon lagi."

Drrttt...

Ponsel Mas Ilham bergetar. Panggilan video dari ibu mertuaku.

"Hai! Assalamualaikum!" Ibu mertuaku terlihat antusias.

"Wa'alaikumsallam, Ibu-"

"Jangan protes, Ibu memberikan itu untuk menantu dan cucu Ibu, bukan untuk kamu, jadi, Ibu tidak mau mendengar apa pun keluhan darimu," potong ibu mertua.

"Ilham mengucapkan banyak-banyak terima kasih, Bu. Terima kasih untuk semuanya," ucap Mas Ilham sambil tertawa kecil.

"Terima kasih, ya, Bu. Ini sangat banyak sekali, rumah kami sudah seperti toko sembako." Aku tidak mau ketinggalan untuk mengucapkan terima kasih kepada ibu mertuaku.

Rumah ibu mertuaku sangat mewah, seperti sultan yang kulihat di televisi. Ibu mertua mengarahkan ponsel keseluruh keluarga. Semuanya menyapaku dengan ramah. Lagi-lagi aku merasa terharu melihatnya.

Setelah cukup mengobrol hangat melalui panggilan video. Ibu menyudahi obrolan karena ingin beristirahat.

"Mas, kok ayahmu tidak kelihatan?" tanyaku.

"Aku belum pernah bercerita tentang ayahku 'kan?" Aku menggeleng kepala menanggapi.

Mas Ilham pun bercerita, bahwa ayahnya sudah bercerai dari ibunya jauh sebelum kami menikah. Dan ayahnya sudah menemukan keluarga baru.

"Terus, di mana ayahmu sekarang, Mas?" tanyaku.

"Tidak tahu, karena sejak Ayah menikah lagi, Ayah sama sekali tidak pernah datang untuk melihat kami semua," ucap Mas Ilham.

Aku pun tidak menanyakan tentang Ayah mertua lagi, karena Mas Ilham seperti enggan untuk bercerita lebih lanjut.

"Ayo, kita bereskan tempat tidur, Mas sudah sangat mengantuk," ucapnya sambil menguap.

Aku menuruti dan pergi ke ruang tamu untuk mengambil alas tilam, karpet yang kujadikan alas tempat duduk saat menyambut kedatangan ibu mertuaku.

Saat tangan mengangkat karpet itu. Tumpukan uang yang diikat menggunakan karet tergeletak di sana.

"Mas!" teriakku spontan, karena sangat kaget melihat uang sebanyak itu.

Dibawah tumpukan uang itu terdapat selembar kertas.

"Ada apa, Sayang?" Mas Ilham menghampiriku dan bertanya. Aku menyerahkan kertas itu pada Mas Ilham.

[Ilham, anakku. Pergunakan uang ini untuk membangun rumahmu, bahagiakan istrimu, Nak. Jangan sampai istrimu menjadi sengsara karena keras kepalamu. Uang ini hasil dari menjual sawah bagianmu di kampung Nenek. Semuanya sudah Ibu bagi rata. Pergunakan uang ini dengan baik. Ibu sengaja tidak memberi uangnya padamu langsung. Karena kamu pasti akan menolaknya, Ibu sangat mengenalmu, Nak. Ingat, jangan pernah sia-siakan Anggita. Wanita yang mau hidup susah diawal itu sangat langka, Nak. Ibu sayang kalian.]

Isi surat itu membuatku menangis terisak-isak.

"Terima kasih, Bu," ucap Mas Ilham sambil memelukku erat.

BERSAMBUNG...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status