Share

BAB 7

KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG

BAB 7

PoV Author.

"Gina, ini sudah tanggal tujuh, kenapa adikmu belum mengantarkan uang kiriman dari Arini dan Usman?" Bu Dira menghampiri Gina di teras.

Gina yang sedang menggunting kukunya pun menyahut. "Wah, benar juga ya, jangan-jangan Anggita sudah membelanjakan uang kiriman itu, ini 'kan musim hujan, Bu. Si Ilham pasti tidak bisa bekerja. Kita ke rumah mereka saja, Bu."

"Tapi, tunggu dulu, Ibu mau telpon Usman dan Arini, mereka berdua sudah mengirimnya atau belum." Bu Dira ingin melangkah masuk untuk mengambil ponselnya.

"Kelamaan, Bu. Uangnya pasti sudah dikirim dari kemarin, ayo, kita pergi sekarang ke rumah Anggita," ucap Gina, dan beranjak dari kursi untuk mengambil kunci motornya yang ada di dalam kamar.

"Bu Dira," panggil Bu Tijah.

"Bu Tijah, aduh, kok sudah datang sepagi ini? Ada apa?" Bu Dira mendadak terlihat panik, saat melihat Bu Tijah, Bu Tijah adalah orang yang ingin menagih hutangnya, Bu Dira memasang sendal menuju ke arah Bu Tijah yang berdiri di depan pagar.

"Mau menagih janji lah, ini 'kan sudah lewat tanggal lima, mana uang yang Bu Dira pinjam? Arini sudah mengirimnya 'kan?"

"Aduh, Bu Tijah, Arini sudah mengirimnya sih, tapi ...,"

"Tapi, apa, Bu Dira?"

"Uangnya dipakai Anggita, Bu Tijah tahu sendiri 'kan? Ilham itu tidak punya kerjaan selain menyadap karet, musim hujan begini, mana mungkin si Ilham tetap menyadap karet, jadi uangnya dipakai Anggita dulu untuk belanja kebutuhan mereka, saya sudah melarangnya tapi uangnya sudah keduluan dipakainya, anak itu memang selalu menyusahkanku!" Bu Dira mulai membuat fitnah terhadap anak dan menantunya, karena tidak ingin terlihat buruk di mata Bu Tijah, karena dia sudah mengingkari janjinya yang membayar hutang tidak tepat pada tanggal yang dijanjikan.

"Tidak tahu diri sekali suaminya Anggita, kenapa Bu Dira tidak menyuruh Anggita untuk cerai saja dari Ilham itu? Kalau dari dulu menikah dengan anak saya, hidup Anggita pasti akan terjamin, tapi malah memilih si Ilham yang kerjanya begitu, minta Anggita untuk bercerai dengan Ilham, terus menikah dengan anak saya. Imron masih menunggu Anggita sampai saat ini, saya juga heran dengan Imron, banyak wanita di dunia ini, tapi selalu saja menyebut nama Anggita," ucap Bu Tijah sambil bersedekap dada melihat ekspresi wajah Bu Dira, yang tampak kesenangan mendengar ucapannya.

"Memangnya, Imron masih mau kalau Anggita sudah janda?" tanya Bu Dira dengan mata berbinar bahagia.

"Pasti mau lah, yang penting tanpa anak, kesempatan bagus itu, Anggita juga belum punya anak, Bu Dira bujuk saja si Anggita, kesempatan bagus ini, tidak akan datang dua kali." tambah Bu Tijah, membuat hati Bu Dira semakin bahagia mendengarnya.

"Bener tuh kata Bu Tijah, kesempatan tidak datang dua kali. Kita minta Anggita untuk bercerai dari suaminya, Bu. Selama ini, Anggita juga hidup sengsara sama Ilham," timpal Gina dan mengeluarkan motornya dari dalam rumah.

"Baiklah, sekarang saya mau ke rumah Anggita, saya akan membujuk Anggita, semoga kita berbesanan ya, Bu Tijah?" ucap Bu Dira.

"Harus dong, Bu Dira. Kalau kita besanan, tiap bulan Bu Dira tinggal minta uang bulanan kepada Imron," sahut Bu Tijah.

"Tidak salah lagi, Imron lah menantu idaman saya. Ayo, Gina, berangkat sekarang!" ucap Bu Dira semangat. Karena membayangkan uang bulanan dari Imron yang bekerja di Bank. 'Kalau Anggita menikah dengan Imron, pasti uang bulanan untukku akan bertambah menjadi tiga kali lipat!' batin Bu Dira kesenangan. Motor yang dikendarai Gina pun melaju.

"Enak saja, palingan Anggita akan saya jadikan babu gratisan di rumah saya! Sebagai balasan atas penolakannya terhadap anak saya dulu!" Bu Tijah berkata, sambil melihat motor yang membawa Bu Dira menghilang dari pandangannya setelah motor itu berbelok ke kanan.

Bu Tijah masih menyimpan rasa sakit hati terhadap Anggita. Sebab, Anggita pernah menolak lamaran anaknya, dan membuat Imron belum menikah hingga sekarang.

____

Di toko bangunan, Anggita sangat bersemangat memilih warna lantai keramik. Pilihannya jatuh ke warna biru, warna kesukaannya dari kecil hingga sekarang.

Pembangunan rumahnya akan segera dibangun secepat mungkin.

"Bahan bangunannya akan diantar hari Senin, ya, Pak Ilham? Sebab, besok hari Minggu, karyawan saya libur," ucap pemilik toko bangunan sambil menghitung uang pembayaran bahan bangunan, yang diserahkan oleh Ilham.

"Baiklah, saya akan menunggunya, apa uangnya sudah pas?" tanya Ilham setelah pemilik toko itu selesai menghitung uangnya.

"Sudah pas, Pak. Apa Pak Ilham sudah mendapatkan tukang bangunan yang bagus? Kalau belum, saya punya saudara yang sudah ahli, saudara saya ini sudah banyak membangun rumah, termasuk toko saya ini, dia juga yang menjadi tukangnya,"

"Saya sudah mendapatkan tukangnya, Pak. Pak Arif namanya," ucap Ilham.

"Itu lah dia, Arif itu saudara saya, pilihan yang tepat!" Sambil mengacungkan jempol, pemilik toko itu berseru.

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, saya pamit dulu," pamit Ilham undur diri.

"Silakan, Pak Ilham. Terima kasih sudah memilih toko saya, untuk membeli bahan bangunan rumahnya, semoga berkah, aamiin." ucap pemilik toko sambil berjabatan tangan dengan Ilham.

Ilham menghampiri Anggita yang sudah menunggu diatas motor. Ilham tidak bisa berhenti untuk tersenyum saat melihat istrinya bahagia.

"Mas, kita beli mie ayam ya? Dibungkus saja bawa pulang,"

"Dengan senang hati, Sayang."

Mereka menuju ke arah pasar yang menjual mie ayam kesukaan mereka berdua. Sesampainya di gerobak mie ayam, Ilham memesan lima bungkus mie ayam lengkap dengan baksonya.

"Kok banyak, Mas?" tanya Anggita.

"Ibu suka mie ayam juga 'kan? Nanti kita pulang ke rumah dulu, kita bawa sedikit sembako juga untuk Ibu," sahut Ilham membuat Anggita tersenyum penuh kebahagiaan. Anggita sangat merasa beruntung memiliki suami seperti Ilham.

"Ibu pasti senang, Mas. Alhamdulillah, terima kasih, ya, Mas? Karena kamu tidak pernah tersinggung atas sikap ibuku," ucap Anggita.

"Alhamdulillah, sama-sama, Sayang. Ibumu adalah ibuku juga," kata Ilham.

Setelah mie ayamnya siap dibungkus, mereka berdua pun menuju arah pulang. Anggita semakin mengeratkan pelukannya dipinggang Ilham. Ilham pun tersenyum sambil melihat wajah cantik istrinya dari pantulan cermin spion motor.

"Itu, Ibu dan Mbak Gina, Mas." Anggita melihat bayang-bayang Bu Dira dan Gina dari kejauhan.

"Bagus lah, jadi kita bisa langsung makan mie ayamnya sama-sama," ucap Ilham.

Anggita dan Ilham melemparkan senyum kepada Bu Dira dan Gina saat motor yang dikendarai Ilham berbelok masuk ke halaman rumah.

Anggita turun, dan Ilham memarkirkan motornya di samping rumah.

"Ibu, Mbak Gina, sudah lama menunggu?" tanya Anggita, diraihnya tangan ibunya dan menciumnya takzim.

"Dari mana saja sih? Ibu sampai jamuran menunggu kamu di sini!" ketus Bu Dira, dan menepis tangan Ilham yang ingin menyalaminya.

"Anggita! Mana uang kiriman dari Kak Arini dan Bang Usman? Sini uangnya, Mbak Gina dan Ibu mau pergi ke pasar membeli kebutuhan dapur!" Gina berkata sambil menadahkan tangannya ke arah Anggita.

Anggita menatap telapak tangan Gina yang berada di hadapannya.

"Cepat!" desak Gina tidak sabar.

"Kak Arini dan Bang Usman belum mengirim uang apa pun," ucap Anggita jujur.

"Maksud kamu?" Gina melihat ke arah tentengan kertas yang ada ditangan kiri Anggita. "Oh, maksud kamu, uangnya sudah habis kamu belanjakan, iya? Jawab!" tanya Gina dengan membentak.

BERSAMBUNG...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status