Kening Green sedikit mengerut saat merasakan cengkeraman Hana cukup kuat di pergelangan tangannya. Hana juga menariknya agak kasar. Apa Hana sedang marah?
Begitu masuk ke kamar, Hana langsung melepas cengkeramannya dan mengunci pintu. Dia lalu bersedekap menghadap pada Green.
"Green, menurutmu aku ini siapamu?" Walaupun tidak ada nada tinggi pada suara Hana, tetapi terlihat jika Hana sedang kesal.
Ada apa? Kenapa Hana tiba-tiba bertanya seperti itu?
"Kamu..kamu temanku," jawab Green agak gugup. Dia masih tidak begitu paham kenapa Hana tampaknya marah padanya. Apa karena ia tidak bercerita tentang Ryan yang mendorongnya? Tetapi kenapa Hana harus marah hanya karena itu? Tadi sore pun Hana juga marah karena ia mandi tanpa ada yang mengawasi.
"Oh ya?" tanggap Hana dingin.
Green bingung, Hana sepertinya tidak begitu senang, tetapi ia tetap menjawab dengan mengangg
'Hana ingin aku yang akan melindunginya di masa depan? Bukan pria lain?' Seberkas sinar muncul di matanya. Tetapi seketika itu juga sinar itu meredup ketika ia memikirkan keadaannya. "Jika memang memungkinkan bahkan sekarangpun aku ingin melindungimu. Tapi kesembuhanku tidak pasti." Green merasa kecewa pada dirinya sendiri. Hana tersenyum. "Jangan terlalu dipikirkan. Besok aku akan cepat pulang dari sekolah, lalu aku akan membawamu berobat. Mudah-mudahan dengan teratur minum obat, kamu tidak akan mudah kambuh." "Besok?" Green merasa tidak percaya jika Hana akan sesigap ini untuk membawanya berobat. "Iya, besok. Selama aku pergi ke sekolah, kamu baik-baik di rumah ya. Akan ada yang menjagamu nanti. Dan jangan gunakan tangga, pakailah lift yang tadi kita pakai." Green mengangguk. "Ya sudah, kamu tidurlah sekarang. Aku sebentar lagi ak
"Green, aku akan membantumu." Ghania hendak berjongkok untuk membantu Green yang sedang membersihkan karpet. "Nona, bukankah Nyonya Jihan mengatakan bahwa hanya Tuan Green yang akan membersihkan itu semua?" Pengawal itu mengingatkan. "Bibi Jihan tidak melarang siapapun yang ingin menolong Green!" Ketus Ghania. "Tidak perlu, Ghania. Ini tidak begitu sulit buatku." Green menolak niat baik Ghania. "Aku akan membantumu!" Ghania mengabaikan kata-kata Green. Ia berjongkok dan mulai mengutip pecahan beling. Tetapi baru beberapa detik, Green mendadak oleng. Srakkk...! Dia jatuh dan menyeret pecahan beling dengan tubuh dan wajahnya. "Green!" Ghania terkejut saat Green jatuh telungkup dan mulai kejang-kejang di lantai yang penuh pecahan beling. Matanya terbelalak melihat itu. "Pak, tolong bantu dia!" teriak Ghania saat pengawal itu hanya diam saja menontonn
Kesempatan yang bagus! Hana hendak mengeluarkan ucapannya saat Veronika tiba-tiba datang dari belakang Marcell. "Marcell, tunggu dul..." Veronika terhenti ketika melihat Hana berada di tangga hendak naik ke lantai yang mereka pijak saat ini. Hana terlihat pucat. Ada apa dengannya? Apa dia habis kecelakaan? Kening Veronika mengerut tidak suka. Bisa-bisa Marcell menaruh perhatian pada Hana. Melihat Veronika yang mendadak muncul, Hana sedikit mengepalkan tangan. Dia tidak bisa bertindak untuk memulai pembicaraan dengan Marcell. Kecuali mungkin jika Marcell sendiri yang duluan menghampirinya. Kalau tidak, Veronika pasti akan melapor pada Alex Milan. Tanpa berkata apa-apa Marcell menuruni tangga. Jantung Hana berdebar saat Marcell semakin dekat dengannya. Dia berharap sekali Marcell menanyainya. Dan benar saja Marcell berhenti tepat di dekatnya. Hana melirik pada Veronika yang ternyata terus mengawasinya dengan mata mel
Wajah Green tampak murung. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang single size, di sebuah kamar, dan diawasi oleh pengawal yang ditugaskan Anton untuk menjaganya. Kamar itu bukanlah kamar Hana. Itu adalah kamar barunya. Ukurannya tidak besar. Ada dua buah ranjang di sana, yang satu untuk Green dan di sisi lain untuk pengawal itu.Green cukup terkejut ketika tadi dia hendak masuk ke kamar Hana untuk beristirahat, ia malah dilarang oleh pengawal itu. Lalu pengawal itu mengantarnya ke kamar ini. Jadi, mulai hari ini dia tidak sekamar dengan Hana lagi. Hati Green merasa sedih. Apa Hana tahu tentang kepindahannya ke kamar ini? Green tidak berani bertanya tentang hal ini pada pengawal itu. Dia menyadari bahwa pengawal itu sama sekali tidak menyukainya. Bahkan selalu memperlihatkan tampang jijik padanya. Walaupun dia sudah terbiasa menghadapi orang-orang seperti itu, sebagai manusia tetap saja Green merasa sangat tidak nyaman.Green merasa tubuhnya
Sesampainya di kamar, Hana menyuruh Green berbaring di ranjang. Green hanya menurut saja. Pelayan Ema membawakan air jahe hangat yang diminta Hana ke dalam kamar. "Green, minum dulu ini supaya perutmu enakan." Green menurut dan meminumnya perlahan. Setelah meminumnya sampai habis, Hana menaruh cangkirnya di atas nakas. "Berbaringlah lagi." Green berbaring dan perutnya mulai terasa hangat. "Ah, bajumu? Sepertinya itu bekas muntahan. Kamu harus ganti baju." Hana langsung ke ruang pakaian mengambil baju untuk Green. Green kembali duduk dan melirik ke bawah dan terkejut. Ia mendapati ada bekas muntahan di sana. Sewaktu muntah, Green ternyata tidak sengaja mengenai bajunya. Dengan cepat, Hana kembali dan membawa kaus katun untuk Green. Ia hendak membantunya berganti pakaian. "Biar...biar aku saja." Green merasa tidak enak karena bajunya bekas muntahan. "Lenganmu kan sakit, s
"Kenapa bapak menjitak suamiku?" Hana bertanya dengan gamblang pada pengawal yang saat ini ada di hadapannya. "Saya tidak pernah menjitaknya, Nona!" Pengawal itu dengan cepat menyangkal. Dia berpikir pasti Green yang sudah mengadu pada Hana. "Jawaban apa itu? Aku mendengar sendiri bapak menjitak Green di balik pintu, kenapa bapak malah menyangkalnya?" Hana berbohong. Dia sama sekali tidak mendengar pengawal itu menjitak Green. Tetapi dia percaya pada Green, apalagi Ghania juga mengatakan padanya bahwa pengawal itu tidak becus. "Nona, pasti Tuan Green yang mengada-ada pada Nona. Tuan Green marah karena saya melarangnya masuk ke kamar Nona. Itu sebabnya dia memfitnah saya." "Kau ini bicara apa sih? Melantur ya?" Kali ini Hana tidak memakai kata bapak lagi. "Aku mendengar sendiri kau menjitaknya. Yang kubutuhkan adalah jawaban. Kenapa kau melakukan itu?" Pengawal itu menel
Hari sudah malam. Saat ini, Jihan, Anton, Green, dan Hana sedang duduk di ruang keluarga."Kenapa kau berbohong? Kau bahkan menjitak Green!" Wajah Jihan berubah merah karena marah. Dia mendongak menatap pengawal yang sedang berdiri di hadapan mereka semua. Baru saja pengawal itu menceritakan kebenaran dari kejadian tadi pagi dan juga perlakuan kasarnya pada Green."Maafkan saya, Nyonya. Saya bersalah. Saya tidak akan mengulanginya lagi. Ini yang pertama dan terakhir saya melakukan hal semacam ini." Pengawal itu tampak menyesal. Jihan melirik Green yang hanya diam saja."Jika kau mengulanginya lagi, kami akan memecatmu!" Jihan menoleh pada Anton. "Pa, hukuman apa yang cocok untuknya?""Terserah Mama." Anton mendesah. Pengawal itu bersikap sesuka hati seperti itu pun karena arahan dirinya. Jadi bagi Anton, pengawal itu sebenarnya tidak sepenuhnya salah."Kalau begitu, potong gajiny
Green mendesah. Tadi sore Hana masih memberinya sebuah ciuman manis. Tetapi sekarang, Hana begitu berbunga-bunga untuk menemui lelaki lain. Sebenarnya, apa arti ciuman yang diberikan Hana untuknya?Ia memandangi cincin kawin yang melingkar di jari manisnya. Pernikahan mereka memang nyata, memang sungguhan. Tetapi, pernikahan ini hanya berlangsung untuk sementara saja. Green mengingatkan dirinya di dalam hati. Memangnya apa yang ia harapkan dari Hana? Kenapa ia begitu mudah terbawa perasaan? Dia hanyalah lelaki penyakitan yang bahkan tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Lalu kenapa dia malah berani untuk mencoba berharap? Harusnya dia sadar, rasa kecewalah yang akan ia tuai jika berani berbuat seperti itu.Sementara itu, Hana dan Marcell duduk berdua di ruang tamu. Anton dan Jihan sengaja langsung pamit meninggalkan mereka berdua. Jika ditanya, jelas mereka ingin berlama-lama di situ untuk berbincang-bincang dan mengakrabkan diri dengan calon