Malam ini Green tidur di kamar yang berbeda. Jika harus menjawab secara jujur, walaupun kamar ini bagus, dan ranjangnya lebih nyaman daripada sofa besar di kamar Hana, tetapi Green lebih suka tidur di kamar Hana. Dia ingin selalu bersama Hana. Jika Hana ada di sampingnya, dia selalu merasa lebih baik.
Hana sekarang sedang apa ya? Apa dia sedang belajar? Green tersenyum kecil saat mengingat ekspresi gembira Hana karena kalung yang ia berikan. Sudah bertahun-tahun dia menyimpan kalung itu tetapi dia sama sekali tidak merasa sayang memberikan itu pada Hana. Ia justru senang memberikannya. Hana berkata, ia akan menjaga kalung itu baik-baik.
Beberapa waktu kemudian, Green menoleh ke arah pengawal yang sedang berbaring di ranjang single bed, di seberang ranjang miliknya. Pengawal itu belum tidur. Dia sibuk dengan ponsel miliknya. Green memutuskan memejamkan mata dan perlahan tertidur lelap. Melihat Green benar-benar sudah terlelap, pengawal itu la
Green semakin menunduk mendengar ucapan Hana. Bagi Green, soal yang diberikan Hana padanya benar-benar sulit. Jadi yang bisa ia lakukan adalah menjawabnya dengan asal. Siapa sangka dia hanya benar lima dari lima puluh soal? Hana menatap Green dan memutuskan untuk mengetesnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mudah dan sederhana saja tentang materi yang ia berikan. Green memiliki penyakit syaraf, hal ini membuat Hana mencoba untuk mengerti. Tetapi sepanjang ia bertanya, Green hanya terpelongok. Dia benar-benar tidak paham, seolah-olah baru masuk ke dunia baru yang tidak ia kenal. Saat Hana mencoba menjelaskan ulasannya, Green hanya membisu. Wajahnya seolah mengatakan, 'kamu sedang bicara apa?'. Hana kembali tidak habis pikir. Apa Green memang bodoh? Ia memutuskan kembali bertanya, kali ini pertanyaannya simpel, di luar materi, dan sangat mudah. "Green, jika nilai tertinggi adalah 100, kira-kira kamu yang cuma
"Sudah berapa menit?" tanya Hana pada Pengawal itu ketika ia berjongkok menghadap Green. Di bawah kepala Green sudah ada sebuah bantal kecil. Pengawal itu yang langsung menaruhnya begitu mendapati Green kejang-kejang. "Baru saja, Nona." Hana mengatupkan mulutnya saat matanya memandangi Green sedang menggelepar di hadapannya. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selama Green mengalami kejang beberapa menit ini. Kejang yang dialami Green berangsur berkurang dan berhenti. Seperti biasa Hana langsung memosisikan tubuh Green ke samping, dan perlahan Green kembali sadar. Hana mengusap lembut mulut Green dengan tisu. "Apa kamu sudah bisa bangun?" tanya Hana setelah beberapa waktu. Green hanya menganggukkan kepalanya pelan. Dia merasa linglung. Selalu seperti itu jika mengalami kejang. Hana berpikir, apa epilepsi memengaruhi kecerdasan seseorang? Hana belum tahu jawabannya, tetapi setidaknya saat berbi
"Cepat atau lambat, Marcell juga akan tahu kan?" Hana menatap wajah ayahnya dengan penuh percaya diri. "Menutup rapat akan apa yang sudah terjadi bukanlah tindakan yang tepat. Lebih baik Marcell tahu sedikit demi sedikit dariku, daripada nanti aku memberitahunya sekaligus. Aku sudah merancang semuanya dalam pikiranku, Papa dan Mama tidak usah terlalu cemas," jelas Hana. Kening Anton dan Jihan tetap mengerut. Apa mereka bisa memercayakan hal ini pada putri mereka sepenuhnya? Hana terlalu baik dan dia terkadang bersikap impulsif. Orang tuanya tidak bisa tidak cemas. "Hana, apa kamu yakin?" tanya Anton. "Tahu-tahu tanpa kamu sengaja kamu sudah memberi tahu semua pada Marcell padahal dia sendiri belum jatuh cinta padamu. Yang ada ia akan berkata bahwa apa yang kamu alami bukan urusannya. Karena tidak ada rasa, ia akan mudah memutuskan untuk menjauh darimu karena tahu kau sudah menikah. Kamu tentu sudah paham akan hal itu."
"Oh," ucap Green sebagai tanggapan. Tetapi hatinya masih menampik apa yang ada di dalam pikirannya. Yang bernama Williams ada banyak, yang bernama Marcell juga banyak. Dia terus mengulang dalam hatinya, berupaya menenangkan kegusarannya. Green benar-benar berharap bahwa Marcell yang sering dibicarakan keluarga Winata bukanlah Marcell adiknya.Hana mengawasi Green yang raut wajahnya tampak tak tenang. "Ada apa, Green?""Tidak apa-apa.""Jangan gugup. Dokter Danny adalah dokter yang hebat. Aku yakin dia akan bisa membantumu untuk sembuh!" Hana sengaja berucap dengan nada yang meyakinkan. Rasa antusias, besar pengaruhnya atas kesembuhan seseorang. Itulah yang diketahui Hana. Jika seseorang selalu pesimis, bahkan jika obat yang diberikan padanya tepat pun dia akan tetap mengalami kesulitan untuk sembuh.Green memaksakan senyumnya. "Terima kasih, Hana. Aku benar-benar berharap untuk sembuh."
Wajah Green berbinar-binar sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Dia benar-benar berharap agar pengobatan kali ini berhasil. Hana terus memperhatikannya. Ia juga berharap hal yang sama.Sesampainya di rumah, Hana menjelaskan kembali peraturan minum obat itu."Green, obat-obat ini harus kamu minum secara teratur. Kalau tidak, kesembuhanmu bisa gagal. Dalam menjalani terapi obat, kedisiplinan adalah keharusan. Yang ini diminum tiga kali dalam sehari, sementara yang ini, dua kali. Dan yang satu ini hanya malam sebelum kamu tidur. Apa kamu yakin bisa rutin nantinya meminum obat ini?" Hana memastikan dengan wajah serius."Aku..Aku akan meminumnya teratur." Green tampak gugup. Ia menelan ludahnya. Mendengar kata gagal membuatnya tak percaya diri. Bagaimana jika ia lupa meminumnya?Hana mendesah. Melihat Green sepertinya gugup, Hana jadi ragu. "Sudahlah, biar semua obat ini aku saja yang pegang. Aku yang ak
Green mengumpulkan hasil tugasnya ketika petugas itu mengatakan bahwa waktunya telah habis."Seseorang menunggu untuk menjemputmu di luar," ucap petugas itu."Terima kasih, Pak." Green pamit undur diri dan melangkah ke luar ruangan. Ia mendapati Pak Bian berdiri tegak di sana."Apa Bapak sudah lama menungguku?" tanya Green merasa tidak enak."Lama atau tidak, ini sudah menjadi tugas saya, Tuan Green." Pak Bian menjawab dengan nada tenang.Green mengangguk. Sebenarnya dia masih belum terbiasa dijaga khusus seperti ini. "Pak, saya mau ke toilet terlebih dahulu sebelum pulang.""Baiklah, saya antar." Pak Bian mengantar Green menuju area toilet khusus siswa. Saat ia berjalan dengan pengawal itu menuju toilet, ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya. Green tidak menaruh perhatian pada orang-orang itu. Ia merasa rendah diri sehingga tidak mampu mengangkat wa
Kening Hana mengerut mendengarnya. Bagaimanapun Hana langsung menghubungkan lelaki yang dimaksud dengan Green. Pasti dia itu Green!"Nggak usah lebay, deh. Mana ada di sekolah kita yang paling cakep selain Marcell!" celetuk seorang siswi yang duduk di sudut sambil bertolak pinggang. Kali ini isi kelas jauh lebih ricuh. Marcell hanya menghela napas pelan, merasa bosan akan pujian yang selalu saja ia dengar dengan berbagai macam cara."Ish, siapa bilang dia siswa di sekolah kita? Kemungkinan dia itu guru PPL. Ya Tuhan, buatlah dia mengajar di kelas kami!" Siswi itu melipat tangan dan tampak kesurupan."Ihhh.. Kok guru PPL sih? Mukanya itu masih muda kayak kita. Aku yakin dia itu murid baru," sela siswi yang satu lagi.Sartika melirik Hana. Ia bisa menebak jika lelaki tampan itu adalah Green, suami dari Hana. Hana sudah menceritakan segalanya pada Sartika tentang kejadian yang sebenarnya akan apa yang i
"Sartika, apa maksudmu kamu mengakui Green sebagai sepupumu? Aku kan cuma memintamu untuk membantuku menjaganya saja. Kamu nggak perlu sampai sejauh itu." Hana bertanya dengan suara pelan. Saat ini ia dan Sartika duduk di sebuah bangku panjang, di taman sekolahnya. "Kamu nggak takut teman sekelas kita pada curiga nantinya lihat kita selalu memperhatikannya terus? Dengan menyebutnya sepupuku, tidak akan ada yang curiga kalau kita sangat akrab dengannya. Lagian, bisa saja kan teman-teman sekelas kita lebih berlaku baik padanya karena tahu dia itu sepupuku." Sartika menjelaskan sambil menjilat es krim miliknya. "Iya, aku tahu itu. Tapi apa kamu nggak...merasa malu mengakui dia sebagai keluargamu?" tanya Hana ragu-ragu. "Aku bukan bermaksud menilaimu rendah, tapi aku ingin kamu menjawabnya." "Aku tidak malu. Untuk apa malu? Siapa manusia yang tidak pernah sakit?" jawabnya tenang. Tentu saja Sartika ada rasa malu tapi d