Share

Episode 8. Berjanji

Hana sedikit berjalan lebih cepat sambil menarik tangan Green, sementara Green terlihat seperti anak kecil yang dituntun oleh mamanya, dia hanya mengikuti gerak langkah Hana ke mana pun gadis itu berjalan. Tetapi kemudian Hana berhenti. Dia menatap Green.

"Ada apa?" tanya Green penasaran.

Hana menghela nafas. "Sepatuku ketinggalan di bawah tiang itu," ucap Hana sedikit mendengus. Green langsung melihat kaki Hana yang telanjang lalu menoleh ke belakang. Ternyata mereka sudah berjalan sedikit jauh dari tiang itu.

"Aku akan mengambilnya. Tunggulah di sini." Green melepas tangan Hana.

"Tidak." Hana kembali menggenggam tangan Green. "Kita sama-sama saja. Ayo."

Hana menarik kembali tangan Green. Green mengernyitkan kening, sepertinya dia mulai sadar akan interaksi mereka yang cukup aneh. Pikiran Green yang tadinya sempat kacau balau, sepertinya mulai terjalin.

Sesampainya di sana, Hana langsung mengambil sepatunya dan mereka kembali melalui jalan yang sama. Green terus memperhatikan raut wajah Hana yang serius. Hana sadar dan langsung menatapnya. Mata mereka pun saling bertemu, dan Hana langsung tersenyum lembut pada Green. Tetapi perasaan Green tidak menjadi lebih tenang.

Green sudah mulai berpikir sedikit lebih baik tanpa gangguan emosi yang tadinya mengguncang karena ingin bunuh diri. Dia pun berpikir, ini kali pertama mereka bertemu, tetapi kenapa begitu akrab? Rasa canggung mulai menggelayutinya. Bahkan gadis ini tak mau melepas genggamannya. Wajah Green pun sedikit memerah menatap tangan mereka yang terjalin. Tetapi melihat gadis itu bersikap santai, Green hanya bisa mengikutinya saja, sekali lagi layaknya seperti anak kecil.

"Itu mobilku. Ayo masuk ke dalam," ujar Hana. Green menuruti dan masuk ke dalam mobil itu. Begitu mereka masuk, Hana langsung mengambil dua botol air mineral yang berada di bagian belakang dalam mobil.

"Nah, minumlah." Dia memberikan satu botol pada Green. Green yang juga kehausan langsung menerimanya.

"Terima kasih," ucapnya kemudian, setelah meminum beberapa teguk dari air mineral itu.

"Sama-sama," jawab Hana sambil menutup botol minumnya sendiri yang sudah hampir tandas dia minum. Dia kembali menatap Green.

"Kita belum berkenalan. Namaku Hana Winata." Hana mengulurkan tangannya. Green terkejut mendengar nama Winata. Apa kebetulan sama dengan Ghania? Green pun menjabat tangan Hana.

"Salam kenal, Hana Winata. Aku Green Assa," ucap Green. Dia selalu memperkenalkan dirinya sebagai Green Assa, bukan Green Williams, kepada siapa pun.

"Panggil saja Hana. Aku akan memanggilmu Green," ucap Hana. Green menunduk tetapi kemudian menganggukkan kepala.

"Apa kamu kuliah atau bekerja?" tanya gadis itu kemudian. Green tampak berpikir.

"Aku masih SMA," jawab Green. Memang untuk umur Green saat ini, sudah seharusnya dia berada di bangku kuliah atau bekerja. Hanya saja karena sering berpindah sekolah, dia harus mengalami tinggal kelas beberapa kali. Mengulang tahun ajaran yang sama.

"Wah. Aku juga masih SMA. Senangnya punya teman baru," ucap Hana tersenyum riang.

"Teman?" Green menatap gadis itu. Teman adalah kata yang mahal untuk Green. Bisa dikatakan dia sama sekali tidak memiliki teman seumur hidupnya. Tetapi gadis ini mau menjadi temannya. Tentu saja, gadis ini kan belum mengetahui dirinya secara keseluruhan, tentu dia tidak keberatan menjadi teman Green. Tetapi nanti, semuanya pasti akan berubah drastis seperti biasanya.

"Iya. Apa kamu tidak mau berteman denganku?" tanya Hana sambil tetap menatapnya.

"Apa kamu yakin mau berteman denganku?" Bukannya menjawab, Green malah kembali bertanya.

"Tentu saja yakin," jawab Hana penuh antusias.

"Kenapa? Kita baru pertama kali bertemu. Kamu belum tahu tentangku. Kenapa kamu begitu yakin?" tanya Green tak yakin akan jawaban Hana

"Kamu jelas-jelas ingin bunuh diri tadi, tetapi kamu malah masih memikirkan keadaan orang lain, maksudnya keadaanku. Kamu bahkan rela turun untuk menolongku, menolongku turun dari tiang itu. Aku rasa kamu pantas dijadikan teman," jelas Hana.

"Itu karena kamu berada dalam bahaya, karena mencoba menghentikanku. Aku tidak mungkin tega membiarkanmu," jawab Green apa adanya.

"Tidak tega berarti pantas dijadikan teman,' ucap Hana sambil tersenyum. "Kamu mau kan jadi temanku?" bujuk Hana. Ya, pendekatan seperti ini adalah salah satu teori yang diketahui Hana dalam membantu seseorang yang sedang depresi atau ingin bunuh diri.

"Aku mau-mau saja, tapi..."

"Aku senang mendengarnya!" sela Hana. "Karena kita sudah menjadi teman, bisakah kamu bercerita kenapa ingin bunuh diri?" tanyanya kemudian.

Keheningan tiba-tiba membentang di antara keduanya. Bagaimana mungkin Green menjelaskan hal itu pada gadis ini, gadis yang baru saja dia kenal? Sepertinya Hana terlalu buru-buru.

"Aku tidak bisa menjelaskannya padamu. Maaf," jawab Green. Dia menatap Hana seolah meminta agar Hana tidak mengorek hal itu. Tatapan yang menciptakan jarak yang patut antara mereka berdua yang baru saja saling berkenalan.

Tetapi dari awal, Hana berniat ingin menolong lelaki ini sampai tuntas. Dengan berani dia menggenggam sebelah tangan Green dengan kedua tangannya. Mata Green melebar merasakan genggaman lembut gadis itu. Cocoknya Hana mengambil jurusan psikologi saja di masa depan.

"Aku mengerti. Aku hanya ingin kita membahas masalahmu. Aku rasa tiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Dan jalan keluarnya bukan dengan bunuh diri. Aku janji, begitu kamu bercerita, aku akan membantumu sebisaku." Hana mencoba membujuknya kembali.

Mendengar ucapan Hana, raut wajah Green berubah menjadi sendu. Kata-kata Hana sangat menenangkan, tetapi Green tahu benar bahwa janji gadis itu tidak akan terwujud seperti itu begitu dia bercerita tentang semuanya. Hal itu malah membuatnya tidak nyaman saat ini.

"Maaf, Hana. Aku tidak bisa," ucapnya memutuskan sambil mengalihkan pandangannya ke depan.

Hana menghela nafas. "Baiklah tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksamu. Tapi apa kamu masih ingin bunuh diri? Mungkin bukan hari ini tapi di lain hari?"

Sontak Green kembali menatap gadis itu. Dia diam sejenak berpikir. Keinginan bunuh diri tentu masih ada di dalam dirinya. Untuk hari ini memang dia sudah tidak berniat melakukannya. Tetapi untuk waktu yang akan datang, dia yakin keinginannya itu akan terwujud. Karena baginya, mengakhiri hidup berarti mengakhiri penderitaannya, mengakhiri beban paman dan bibi pengasuhnya.

"Aku tidak tahu. Tapi hari ini aku tak akan melakukannya," jawab Green jujur. Hana mengerutkan kening. Jawaban itu..bukankah itu berarti niat bunuh diri masih melekat pada dirinya? Apa yang harus Hana lakukan?

"Apa sih masalahmu sebenarnya? Sampai kamu merasa ragu begitu? Bunuh diri tidak menyelesaikan apapun. Percayalah padaku!" ucap Hana kembali tidak sabar. Walaupun sepertinya dia kaya teori untuk menghadapi orang yang putus asa, tetap saja, biar bagaimana pun, teori tetap lebih mudah daripada praktek.

"Percaya padaku, Green!" desaknya kembali.

Tidak suka mendengar ucapan Hana. Green berucap dengan tegas. "Bunuh diri akan menyelesaikan penderitaanku!" Suara Green terdengar parau menjawab gadis itu. Green berupaya menahan kesedihan yang kembali merongrong dadanya.

Hana terdiam mendengar warna suara yang berisi kesedihan yang kental dari lelaki ini. Apa yang harus dilakukannya? Hana bukanlah psikolog profesional. Dia hanyalah seorang gadis muda yang lagi sial, lalu tanpa sengaja bertemu seseorang yang hendak bunuh diri.

Green kembali melanjutkan kata-katanya, "Tidak ada seorang pun yang bisa menolong..."

Grep! Hana tiba-tiba memeluk Green, membuat ucapannya terhenti. Green benar-benar terkesiap akan perlakuan yang tak disangka-sangka dari gadis ini.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Gondronk Muhtadin
jurhat berdua
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Awal yg baik ya, bisa jadi hana jodoh green
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
cerita cinta yang menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status