Seluruh tubuh Hana bertumpu sepenuhnya pada Green yang memeluknya erat. Rasa takut yang berlebihan memang bisa membuat seseorang menjadi hilang tenaga apalagi jika rasa takut itu berlangsung agak lama. Bahkan ada orang yang sampai terkena serangan panik dan sampai mengalami pingsan karena rasa takut yang berlebihan.
Masih di posisi yang sama, Hana mencoba perlahan berdiri dengan benar, mengatur keseimbangannya di dalam pelukan Green. Deg, deg... Jantung Green sedikit berdetak lebih kencang. Di usianya yang sudah 21 tahun, inilah pertama kalinya Green memeluk tubuh seorang gadis. Itu pun tidak sengaja. Dan rasanya... rasanya sampai membuat mata Green melebar cukup lama.
•
•
Setelah mampu menyeimbangkan diri, gadis itu mendongak menatap wajah Green dengan kedua tangannya masih memegang kedua bahu Green. Green sedikit melonggarkan pelukannya, dan menunduk menatap wajah gadis itu. Green mengerjapkan kedua matanya beberapa kali sebelum akhirnya memandang dengan seksama wajah gadis itu. Gadis yang saat ini ada di dalam pelukannya itu adalah gadis yang sangat manis di mata Green. Jika Ghania terlihat ayu dengan senyumnya yang menawan, gadis yang satu ini terlihat sangat imut dengan mata bulat besar yang indah.
"Maaf aku tak seimbang tadi. Sekarang aku sudah baik-baik saja," ucap Hana masih tetap mendongak menatap wajah Green yang sangat tampan.
Green tahu benar arti tatapan gadis itu. Dia tahu benar kalau gadis yang berada di pelukannya saat ini sedang terpesona padanya. Tatapan kagum seperti itu tentu sudah sangat biasa dia terima untuk orang-orang yang pertama kali melihatnya. Dan itu juga yang membuat raut wajahnya kembali sedih. Karena orang-orang tersebut dalam sekejap akan berubah 180° setelah melihat sendiri bagaimana keadaan Green sewaktu penyakitnya kumat. Mereka yang awalnya terkagum-kagum dan terpesona akan berubah menjadi takut atau sangat jijik padanya bahkan akan menghina dan membullynya kemudian. Lalu siksaan demi siksaanlah yang akan dia terima selanjutnya.
Mengingat sekejap hal itu, membuat Green menelan ludahnya. Gadis ini tentu tidak akan ada bedanya kan dengan semua orang yang selama ini dia kenal? Sebelumnya dia pernah mencoba berpikir bahwa di antara banyak orang pasti ada yang berbeda sikap untuknya. Misalnya seperti Ghania. Bertahun-tahun Green merasa sengsara tiap pergi ke sekolah, tetapi setelah bertemu Ghania, semua tampak terasa berbeda. Walaupun sebenarnya mereka berdua juga tidak cukup akrab, tetapi sikap Ghania yang berbeda terhadapnya membuatnya sedikit bersemangat ke sekolah walaupun masih tetap menghadapi ejekan dan bullyan. Siapa sangka ternyata Ghania tidak seperti yang dia bayangkan. Ghania sama saja dengan yang lain. Tidak ada bedanya. Bahkan Ghania tega meninggalkannya dalam posisi tak berdaya saat itu di lantai lapangan basket.
Kali ini, Green tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Dia tidak akan berharap sesuatu yang berbeda pada satu makhluk insan mana pun. Dunia tetaplah dunia. Dan akan selalu berlaku kejam padanya selama dia mencoba berjuang untuk hidup detik demi detik di dunia ini.
***
Green perlahan melepas pelukannya pada gadis itu. "Harusnya aku yang meminta maaf padamu. Karena aku, kamu ketakutan sampai lemas begini. Apa kamu memang sudah tidak apa-apa?" tanya Green tulus. Mereka berdiri saling berhadapan.
Walaupun Green melepas pelukannya tetapi kedua tangan gadis itu masih melekat di kedua bahu Green. Hana tersenyum lembut. Kedua tangannya menuruni bahu Green perlahan, lalu ia menggenggam kedua tangan Green dengan erat. Bahkan kemudian sedikit mengayun-ayunkan kedua tangan mereka yang saling bertautan seolah mereka sudah berkenalan untuk waktu yang lama. Green terdiam merasakan sikap hangat Hana terhadapnya. Walaupun terkesan aneh untuk kedua orang yang baru saja bertemu, namun Green menerima saja perlakuan Hana, seolah sedang terhipnotis. Faktanya bukan seperti itu, mental Greenlah yang memang sangat merindukan kelembutan seperti ini. Itu sebabnya, walau cukup membingungkan, tanpa sadar Green menerima saja perlakuan hangat dari gadis itu.
Sebenarnya Hana sendiri juga sadar betul kalau hal ini sedikit aneh dan mungkin akan terkesan canggung. Tetapi dia berupaya bersikap senormal mungkin seolah mereka sudah bersahabat lama, karena dia sadar betul lelaki yang ada di hadapannya saat ini sedang berada dalam posisi patah asa. Dan pasti sangat membutuhkan dukungan moril yang besar. Hana berniat membujuk Green untuk membatalkan niat bunuh diri bukan untuk hari ini saja. Tetapi tentu untuk seterusnya. Bukankah jika menolong seseorang sebaiknya harus menolongnya sampai tuntas? Begitulah pemikiran Hana.
Hana, sejak masa kecil, suka membaca dan menonton berita atau film. Cita-citanya sewaktu kecil adalah menjadi seorang psikolog ternama, itu karena dia terpengaruh sebuah film seru yang mengisahkan tentang seorang psikolog. Cita-cita hanya tinggal cita-cita. Setelah beranjak SMA, dia sadar bahwa jurusan yang harus dia ambil ketika kuliah adalah jurusan Ekonomi Bisnis, agar bisa membantu papanya nanti untuk menjalankan perusahaan.
Tetapi karena cita-cita kecilnya itu, dia jadi penasaran ketika mendengar berita tentang remaja yang bunuh diri. Dia sangat menyayangkan hal itu. Dan benci mendengarnya. Kenapa harus melakukan tindakan semacam itu? Tindakan yang menurut pendapatnya sendiri adalah suatu kebodohan.
Kadang Hana suka membaca pendapat para psikolog tentang kasus bunuh diri, hal itu membuatnya, sedikit banyak, punya teori dan wawasan yang luas sehubungan dengan masalah mental orang yang mencoba bunuh diri. Siapa sangka saat ini dia berhadapan langsung dengan orang yang akan bunuh diri?
Jika dinilai secara umum, sekali lagi, Hana termasuk kategori manusia yang cukup naif dan impulsif di dunia yang jahat ini. Bagaimana seandainya Green adalah lelaki gila, psikopat atau punya gangguan kejiwaan yang parah? Bukankah Hana akan terancam bahaya? Karena Hana masih sangat muda dan tidak berpengalaman, jadi dia hanya bertindak sesuai hati nurani dan pengetahuannya saja. Syukurnya Green bukanlah golongan yang semacam itu, jadi Hana tentu akan baik-baik saja.
"Iya aku sudah tidak apa-apa. Bagaimana denganmu?" tanya Hana dengan mata yang fokus, yang mampu mengunci pandangan Green hanya padanya saja.
"Aku.. aku saat ini baik-baik saja," jawab Green pelan, sedikit ragu.
"Baguslah. Kamu tahu? Aku benar-benar sangat malu. Hahahha. Tadinya aku berlagak seperti Wonder Woman, memanjat tinggi ke atas untuk mencegahmu. Siapa sangka malah kamu yang menolongku," ucap Hana panjang lebar dengan bersemangat.
Sementara pikiran dan hati Green bercampur aduk sehingga sulit mencerna kata-kata Hana. Tetapi dia merasa cukup nyaman mendengar suara Hana yang sangat bersahabat. Green hanya tersenyum kecil sebagai tanggapan karena gadis itu tertawa tadi.
"Aku sangat haus. Aku membawa mobil, tapi agak jauh di sana. Di mobil ada air minum. Kamu mau kan menemaniku ke sana?" tanya Hana membujuk sambil wajahnya menunjuk ke satu arah di mana mobilnya berada.
Semula Green agak ragu, tetapi kemudian dia memutuskan untuk menemani gadis itu. "Aku...aku akan menemanimu," jawabnya kemudian.
"Ya sudah, ayo kalau begitu," ucap Hana penuh semangat. Hana melepas salah satu tangannya dari Green. Tetapi sebelah tangannya yang lain tetap menggenggam erat tangan lelaki itu. Mereka pun melangkah ke sana sambil berpegangan tangan.
Hana sedikit berjalan lebih cepat sambil menarik tangan Green, sementara Green terlihat seperti anak kecil yang dituntun oleh mamanya, dia hanya mengikuti gerak langkah Hana ke mana pun gadis itu berjalan. Tetapi kemudian Hana berhenti. Dia menatap Green."Ada apa?" tanya Green penasaran.Hana menghela nafas. "Sepatuku ketinggalan di bawah tiang itu," ucap Hana sedikit mendengus. Green langsung melihat kaki Hana yang telanjang lalu menoleh ke belakang. Ternyata mereka sudah berjalan sedikit jauh dari tiang itu."Aku akan mengambilnya. Tunggulah di sini." Green melepas tangan Hana."Tidak." Hana kembali menggenggam tangan Green. "Kita sama-sama saja. Ayo."Hana menarik kembali tangan Green. Green mengernyitkan kening, sepertinya dia mulai sadar akan interaksi mereka yang cukup aneh. Pikiran Green yang tadinya sempat kacau balau, sepertinya mulai terjalin.Sesa
"A-Apa yang kau lakukan?" Wajah Green memerah. Green tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Jadi, apa yang dilakukan gadis itu terasa intim baginya. Berbeda dengan pelukan yang tidak disengaja sewaktu di bawah tiang tadi. Saat ini, Hana memeluknya dengan sengaja. Tangan Green bergerak cepat memegang lengan Hana, ingin segera melepas pelukan gadis itu dari lehernya. Tetapi tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar, membuat Green berhenti bergerak. Gadis itu melonggarkan pelukannya tetapi masih melingkarkan tangannya di leher lelaki itu dan kembali mendongak menatap Green. Green membalas tatapannya dan terkejut mendapati gadis itu mengeluarkan air mata. Dia menangis? "Kamu kenapa?" tanya Green bingung, rasa keterkejutan cukup terkesan dari warna suaranya. Hana melepas pelukannya dari Green. Ia kembali duduk secara normal dan menunduk. Hana mulai sedikit terisak, membuat Green semakin bingung. &nbs
Siang itu, di kediaman keluarga Assa."Ayah! Ibu!" Baru saja Rafa keluar rumah, tiba-tiba langsung kembali masuk sambil berteriak memanggil kedua orang tuanya."Ada apa Rafa?" Budi dan Mirna menatap anaknya khawatir."Ini ada surat sama ponsel Kak Green di dekat pintu." Rafa memberikannya pada papanya."Apa ini?" Cepat-cepat Budi membaca isi secarik kertas itu."Paman, Bibi dan Rafa. Mulai detik ini, berhentilah mengkhawatirkanku. Jangan mencariku. Aku pergi dan akan mencoba hidup dengan lebih baik. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku sudah dewasa, dan aku akan hidup mandiri. Terimakasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan untukku."Green Assa.Tangan Budi gemetar membacanya. Mirna yang ikut membacanya, langsung memegang dadanya."Tidak mungkin!" gumam M
Hana menyalakan mobilnya, dan di saat itulah dia ingat bahwa mobilnya mengalami mogok. Dia menatap Green."Mobilku tidak bisa menyala. Aku tidak begitu paham soal mobil.""Aku...juga tidak begitu paham tapi biar aku periksa sebentar," ucap Green agak ragu. Dia lalu memeriksanya. Green sedikit memahami mesin lantaran Paman Budi adalah karyawan bengkel mobil dan motor, dan Green terkadang suka membantu pamannya jika lembur.••Hana menghela nafas berat. Dia kembali teringat pada Marcell. Semua rencana gagal begitu saja. Marcell pasti akan marah padanya. Papanya juga pasti akan marah. Ini semua karena mobil ini mogok. Tidak, tidak. Bukan semata karena mobil saja. Ini karena dia mampir ke rumah Sartika. Hana kemudian melirik makanan dari Sartika yang ia letakkan begitu saja di belakang, di kursi penumpang. Sepertinya makanan itu akan ia makan saja bersama Green. Hana sudah merasa lapar
Mata Hana melebar menunggui papanya yang sedang bertelepon. Melihat mimik emosi dari wajah ayahnya membuat perasaan Hana semakin tidak tenang. Semakin dia mendengar pembicaraan itu, semakin gusarlah dirinya.Pikiran Anton benar-benar rumit saat ini. Yang meneleponnya adalah pemilik Perusahaan Milan, Tuan Alex Milan. Dia menginginkan Hana menikah dengan bocah yang bermalam bersama Hana di apartemen. Jika Anton menolak, Alex tidak akan segan-segan menyebarkan skandal besar bahwa Hana telah membawa seorang lelaki tampan ke apartemennya dan menghabiskan malam bersamanya hingga pagi. Alex memiliki bukti konkrit yang tidak akan bisa disangkal, dan ini akan sulit untuk diklarifikasi. Nama baik keluarga Winata terancam akan hancur. Sungguh picik!Alex Milan dan tentunya pengusaha lainnya tahu betul bahwa keluarga Winata pasti berencana untuk menangkap ikan besar dengan menggunakan Hana, putri mereka yang cantik jelita untuk menggaet Marcell Williams
Green saat ini berada di sebuah ruangan terkunci yang hanya berisi sebuah ranjang dan sebuah meja. Di ruangan itu, juga terdapat toilet. Seluruh memar dan luka di tubuh dan wajahnya sudah diobati, dia juga diberi makan. Pengawal-pengawal itu memperlakukan dia dengan baik. Tetapi Green saat ini sedang gusar. Walaupun gadis itu berkata bahwa dia tidak kekurangan satu hal pun dari tubuhnya, tetap saja Green memiliki keraguan tersendiri. Itu semua karena dia dan gadis itu hanya menyisakan pakaian dalam di tubuh mereka. Green masih berupaya keras mengingat kejadian tadi malam. Tetapi semakin dia mencoba untuk mengingatnya, semakin sakitlah kepalanya.Dengan sebelah tangan, dia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Yang dia ingat cuma adegan ciuman saja, setelah itu dia tidak ingat apa pun. Bagaimana seluruh bajunya terbuka dan hanya menyisakan pakaian dalam, dia juga tidak ingat sama sekali. Apa benar dia telah berbuat tak senonoh dengan gadis itu? Green saat ini
Hana menatap Green dengan wajah sendu membuat Green semakin kaku. Terlihat bahwa Hana terpaksa melakukan pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian, Hana tetap menautkan tangannya ke lengan Green. Dengan iringan musik, Green dan Hana melangkah memasuki tempat ibadah. Hana mengedarkan pandangannya sekejap, tetapi tidak melihat tanda-tanda kehadiran neneknya, Nyonya Besar Erina Winata. Hana mendesah, dia bisa menebak bahwa neneknya itu pasti marah sekali mendengar pernikahan dadakan ini. "Hana, kamu tidak apa-apa?" Terdengar suara setengah berbisik. Hana mendongak menatap Green. "Tidak begitu baik. Kamu sendiri tidak apa-apa?" Hana balik bertanya. "Aku tidak tahu," jawab Green. Dia sendiri merasa takut memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Sebagai suami, apakah dia dituntut harus memiliki tanggung jawab? Jika ia dituntut, apakah ia akan mampu? Tetapi, bukankah ini adalah pernikahan pura-pura
Wajah Anton dan Jihan merah padam melihat Green yang sedang kejang-kejang terkapar di lantai. Mereka syok dan sangat malu, hingga mulut mereja bergetar emosi tetapi tidak tahu harus berkata apa. Hana yang juga sempat terkejut, dengan ragu mencoba mendekat dan berjongkok di dekat Green. Sementara orang-orang mulai sibuk mengeluarkan ponsel untuk merekam videonya. Bagi para kerabat keluarga Winata, ini adalah lelucon yang tak diduga-duga. Menikahnya Hana saja sudah menjadi tanda tanya besar, apalagi melihat pasangan Hana yang ternyata hanyalah sosok yang seperti ini!Di antara para kerabat, keluarga Winatalah yang paling menonjol. Nyonya besar Erina Winata telah berhasil membawa nama baik Winata menjadi lebih terhormat hingga masa kini. Dia juga telah berhasil mendidik keempat anaknya menjadi sukses. Kecerdasan keluarga Winata juga tidak perlu dipertanyakan karena begitu menonjol. PT Andalan Winata adalah bukti konkrit yang tak terbantahkan.T