"A-Apa yang kau lakukan?" Wajah Green memerah. Green tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Jadi, apa yang dilakukan gadis itu terasa intim baginya. Berbeda dengan pelukan yang tidak disengaja sewaktu di bawah tiang tadi. Saat ini, Hana memeluknya dengan sengaja. Tangan Green bergerak cepat memegang lengan Hana, ingin segera melepas pelukan gadis itu dari lehernya. Tetapi tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar, membuat Green berhenti bergerak.
Gadis itu melonggarkan pelukannya tetapi masih melingkarkan tangannya di leher lelaki itu dan kembali mendongak menatap Green. Green membalas tatapannya dan terkejut mendapati gadis itu mengeluarkan air mata.
Dia menangis?
"Kamu kenapa?" tanya Green bingung, rasa keterkejutan cukup terkesan dari warna suaranya. Hana melepas pelukannya dari Green. Ia kembali duduk secara normal dan menunduk. Hana mulai sedikit terisak, membuat Green semakin bingung.
"Lelaki yang baik tidak akan tahan melihat gadis yang menangis, bukan? Apalagi jika gadis itu cantik, lelaki kejam sekalipun asalkan masih punya sedikit hati nurani, pasti akan tergerak untuk menghibur!" pikir Hana di dalam hatinya.
"Aku tahu...hanya kematian yang bisa menyelesaikan segala penderitaan. Aku juga sudah sering terpikir akan hal itu," ucap Hana dengan isakan. Sepertinya Hana sedang menggunakan jurus yang kedua.
"Apa maksudmu? Kenapa kamu tiba-tiba..?" Green ingin menyentuh bahu gadis itu, tangannya sudah sempat terulur tetapi ditahannya kembali. Hana menatap Green dengan wajah sendu.
"Apa kamu tidak terpikir, bagaimana bisa aku tiba-tiba muncul di jembatan layang ini?" tanya Hana menahan isaknya.
Green sejenak diam, tetapi kemudian matanya melebar. Benar juga. Jembatan layang Meranti hanya diperuntukkan untuk kontainer-kontainer minyak yang akan mulai beroperasi menjelang malam hingga dini hari. Dan saat ini jalanan begitu sepi. Jelas tidak ada satu orang pun yang lewat. Tetapi kenapa gadis ini berada di sini sekarang?
"Benar. Apa yang kamu lakukan di sini? Jalan ini tidak dikhususkan untuk mobil seperti ini," ucap Green yang menjadi penasaran. Hana mengambil tisu yang berada di atas dashboard mobil lalu menghapus air mata buaya-nya.
"Tujuanku sama sepertimu," ucap Hana sambil menunduk. Sebenarnya dia merasa malu mengatakan hal bodoh seperti itu. Seorang Hana mana mungkin ingin bunuh diri.
"Apa? Jadi kamu tadinya juga ingin bunuh diri?" tanya Green hampir-hampir tak percaya. Jelas-jelas gadis ini tadi sangat menentang masalah bunuh diri, juga sempat tertawa riang. Dan...bukankah tadi sewaktu masih berada di tengah tiang pembatas dia juga menangis dan mengatakan bahwa dia masih muda, dan tidak mau mati? Itu berarti gadis ini berbohong. Tetapi kalau bukan karena ingin bunuh diri, lalu kenapa dia berada di sini sekarang? Green menjadi bingung dibuatnya.
Hana mengangguk pelan. Green sedikit ragu tetapi wajah nanar yang diperlihatkan Hana, beserta air matanya yang kembali menetes membuat Green menjadi iba. Tetapi walaupun begitu, Green tetap mengutarakan keganjilan dalam pemikirannya itu.
"Bukankah tadi kamu sangat menentang niatku untuk bunuh diri? Kamu bahkan menangis sewaktu menuruni tiang, lantaran takut mati muda. Kamu juga..kamu juga sempat tertawa, bukankah..."
Tiba-tiba tangis Hana meledak, membuat ucapan Green tadi terhenti begitu saja.
Wakakkaka... Walaupun tangisnya menguat sesungguhnya saat ini Hana tertawa di dalam hatinya. Betapa bodohnya dia membuat jurus kedua yang jelas-jelas bertentangan dengan jurusnya yang pertama. Tentu saja hal itu membuat lelaki ini bingung, bahkan mungkin akan curiga.
"Maafkan aku.. Aku sungguh tidak paham akan pemikiranmu," ucap Green karena tidak enak hati melihat Hana kembali menangis. Dengan ragu-ragu, Green mengulurkan sebelah tangannya dan memegang bahu Hana, lalu sedikit mengusap-usapnya, berupaya menenangkan gadis ini.
Karena kehidupannya sangat menderita, Green lebih mudah bersimpati jika melihat orang lain sedang bersedih. Apalagi yang sedang bersedih adalah seorang perempuan. Hatinya benar-benar merasa kasihan pada gadis ini.
Sambil menangis, Hana memutar otaknya, memikirkan kata-kata apa lagi yang harus dia ucapkan supaya laki-laki ini tak berniat lagi untuk bunuh diri. Setelah mendapat ide kembali, tangis Hana pun mulai mereda. Dia kembali mendongak menatap Green, yang sedari tadi duduk di sampingnya di dalam mobil itu. Green otomatis menarik tangannya kembali dari bahu Hana. Hana pun mulai membuka suara, dan Green langsung menyimak dengan serius.
"Aku manusia yang tidak berguna, tidak ada artinya melanjutkan hidup jika tidak berguna. Sudah lama aku berniat kemari untuk mengakhiri hidupku. Hingga tiba hari ini, tekadku sudah bulat. Tadinya aku akan melompat langsung dari jembatan tanpa harus memanjat. Tetapi tiba-tiba aku melihatmu memanjat tiang. Saat itu, aku tahu benar pasti niatmu juga ingin bunuh diri. Aku pun bertaruh di dalam hatiku, seandainya aku bisa menolongmu, membuatmu mengurungkan niat untuk bunuh diri, maka aku juga akan bertekad untuk melanjutkan hidupku. Jika aku berhasil menolongmu dan kamu akhirnya mau berjuang untuk melanjutkan hidupmu, bukankah aku telah menjadi orang yang berguna karena telah menolong seseorang?" ucap Hana panjang lebar. Air mata buaya Hana kembali menetes, dia sangat mendalami perannya. Saat ini juga, Hana sadar kalau dirinya punya bakat hebat untuk berakting. Sementara itu, Green tertegun menatap Hana yang berucap demikian.
"Kalau pun aku menangis saat mengatakan tidak ingin mati muda, lalu tertawa riang kemudian, hingga dengan keras menentangmu untuk bunuh diri, itu semua hanya upayaku untuk mengubah pemikiranmu." Hana menghela nafas berat, seolah merasa kecewa pada dirinya sendiri. "Tapi sepertinya aku telah gagal. Kamu tetap bertekad untuk mati nantinya. Aku memang manusia yang tidak berguna. Di mana-mana, aku hanyalah sampah tak berguna!" Begitu berucap, Hana langsung keluar dari mobil, beranjak dengan cepat.
"Hana!" Satu kata meluncur dari bibir Green. Setelah menyimak kata-kata gadis ini yang penuh air mata, Green yakin sepenuhnya bahwa gadis ini datang kemari memang bertujuan untuk bunuh diri di jembatan layang. Ternyata sedari tadi, gadis ini hanya berpura-pura kuat dan ceria, nyatanya gadis ini juga sedang menderita, sedang berputus asa sama sepertinya.
Green pun bergegas ikut keluar mengejar gadis itu. Dengan cepat ia menangkap tangan Hana. "Kamu mau ke mana? Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Green cepat.
"Melanjutkan rencanaku yang semula. Lepaskan aku." Hana menepis tangan Green dan kembali berjalan cepat. Green merasa gusar bukan main mendengar kata-kata gadis ini, dengan cepat dia kembali meraih tangan Hana.
"Jangan lakukan itu!" ucap Green cepat.
"Jangan pedulikan aku! Biarkan aku lompat!" bentak Hana. Dan dengan sekuat tenaga dia melepaskan pegangan erat Green, membuat Green membelalakkan mata, meyakini bahwa gadis ini benar-benar sudah ingin mengakhiri hidupnya saat ini juga. Hana berpura-pura berlari menuju pagar pembatas jembatan.
"Aku mohon jangan!" teriak Green sambil mengejar gadis itu. Lalu dia merengkuh gadis itu dari belakang, melingkarkan tangannya, menahannya agar tidak jadi melompat.
"Lepaskan aku! Biarkan aku mati!" Hana menangis meronta-ronta. Memukul-mukul lengan lelaki itu yang semakin erat melingkar di tubuhnya. Sungguh dramatis! Sepertinya Hana terlalu menikmati perannya, apalagi lelaki yang memeluknya adalah lelaki yang sangat tampan.
Bersambung...
Siang itu, di kediaman keluarga Assa."Ayah! Ibu!" Baru saja Rafa keluar rumah, tiba-tiba langsung kembali masuk sambil berteriak memanggil kedua orang tuanya."Ada apa Rafa?" Budi dan Mirna menatap anaknya khawatir."Ini ada surat sama ponsel Kak Green di dekat pintu." Rafa memberikannya pada papanya."Apa ini?" Cepat-cepat Budi membaca isi secarik kertas itu."Paman, Bibi dan Rafa. Mulai detik ini, berhentilah mengkhawatirkanku. Jangan mencariku. Aku pergi dan akan mencoba hidup dengan lebih baik. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku sudah dewasa, dan aku akan hidup mandiri. Terimakasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan untukku."Green Assa.Tangan Budi gemetar membacanya. Mirna yang ikut membacanya, langsung memegang dadanya."Tidak mungkin!" gumam M
Hana menyalakan mobilnya, dan di saat itulah dia ingat bahwa mobilnya mengalami mogok. Dia menatap Green."Mobilku tidak bisa menyala. Aku tidak begitu paham soal mobil.""Aku...juga tidak begitu paham tapi biar aku periksa sebentar," ucap Green agak ragu. Dia lalu memeriksanya. Green sedikit memahami mesin lantaran Paman Budi adalah karyawan bengkel mobil dan motor, dan Green terkadang suka membantu pamannya jika lembur.••Hana menghela nafas berat. Dia kembali teringat pada Marcell. Semua rencana gagal begitu saja. Marcell pasti akan marah padanya. Papanya juga pasti akan marah. Ini semua karena mobil ini mogok. Tidak, tidak. Bukan semata karena mobil saja. Ini karena dia mampir ke rumah Sartika. Hana kemudian melirik makanan dari Sartika yang ia letakkan begitu saja di belakang, di kursi penumpang. Sepertinya makanan itu akan ia makan saja bersama Green. Hana sudah merasa lapar
Mata Hana melebar menunggui papanya yang sedang bertelepon. Melihat mimik emosi dari wajah ayahnya membuat perasaan Hana semakin tidak tenang. Semakin dia mendengar pembicaraan itu, semakin gusarlah dirinya.Pikiran Anton benar-benar rumit saat ini. Yang meneleponnya adalah pemilik Perusahaan Milan, Tuan Alex Milan. Dia menginginkan Hana menikah dengan bocah yang bermalam bersama Hana di apartemen. Jika Anton menolak, Alex tidak akan segan-segan menyebarkan skandal besar bahwa Hana telah membawa seorang lelaki tampan ke apartemennya dan menghabiskan malam bersamanya hingga pagi. Alex memiliki bukti konkrit yang tidak akan bisa disangkal, dan ini akan sulit untuk diklarifikasi. Nama baik keluarga Winata terancam akan hancur. Sungguh picik!Alex Milan dan tentunya pengusaha lainnya tahu betul bahwa keluarga Winata pasti berencana untuk menangkap ikan besar dengan menggunakan Hana, putri mereka yang cantik jelita untuk menggaet Marcell Williams
Green saat ini berada di sebuah ruangan terkunci yang hanya berisi sebuah ranjang dan sebuah meja. Di ruangan itu, juga terdapat toilet. Seluruh memar dan luka di tubuh dan wajahnya sudah diobati, dia juga diberi makan. Pengawal-pengawal itu memperlakukan dia dengan baik. Tetapi Green saat ini sedang gusar. Walaupun gadis itu berkata bahwa dia tidak kekurangan satu hal pun dari tubuhnya, tetap saja Green memiliki keraguan tersendiri. Itu semua karena dia dan gadis itu hanya menyisakan pakaian dalam di tubuh mereka. Green masih berupaya keras mengingat kejadian tadi malam. Tetapi semakin dia mencoba untuk mengingatnya, semakin sakitlah kepalanya.Dengan sebelah tangan, dia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Yang dia ingat cuma adegan ciuman saja, setelah itu dia tidak ingat apa pun. Bagaimana seluruh bajunya terbuka dan hanya menyisakan pakaian dalam, dia juga tidak ingat sama sekali. Apa benar dia telah berbuat tak senonoh dengan gadis itu? Green saat ini
Hana menatap Green dengan wajah sendu membuat Green semakin kaku. Terlihat bahwa Hana terpaksa melakukan pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian, Hana tetap menautkan tangannya ke lengan Green. Dengan iringan musik, Green dan Hana melangkah memasuki tempat ibadah. Hana mengedarkan pandangannya sekejap, tetapi tidak melihat tanda-tanda kehadiran neneknya, Nyonya Besar Erina Winata. Hana mendesah, dia bisa menebak bahwa neneknya itu pasti marah sekali mendengar pernikahan dadakan ini. "Hana, kamu tidak apa-apa?" Terdengar suara setengah berbisik. Hana mendongak menatap Green. "Tidak begitu baik. Kamu sendiri tidak apa-apa?" Hana balik bertanya. "Aku tidak tahu," jawab Green. Dia sendiri merasa takut memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Sebagai suami, apakah dia dituntut harus memiliki tanggung jawab? Jika ia dituntut, apakah ia akan mampu? Tetapi, bukankah ini adalah pernikahan pura-pura
Wajah Anton dan Jihan merah padam melihat Green yang sedang kejang-kejang terkapar di lantai. Mereka syok dan sangat malu, hingga mulut mereja bergetar emosi tetapi tidak tahu harus berkata apa. Hana yang juga sempat terkejut, dengan ragu mencoba mendekat dan berjongkok di dekat Green. Sementara orang-orang mulai sibuk mengeluarkan ponsel untuk merekam videonya. Bagi para kerabat keluarga Winata, ini adalah lelucon yang tak diduga-duga. Menikahnya Hana saja sudah menjadi tanda tanya besar, apalagi melihat pasangan Hana yang ternyata hanyalah sosok yang seperti ini!Di antara para kerabat, keluarga Winatalah yang paling menonjol. Nyonya besar Erina Winata telah berhasil membawa nama baik Winata menjadi lebih terhormat hingga masa kini. Dia juga telah berhasil mendidik keempat anaknya menjadi sukses. Kecerdasan keluarga Winata juga tidak perlu dipertanyakan karena begitu menonjol. PT Andalan Winata adalah bukti konkrit yang tak terbantahkan.T
Green Williams terkena epilepsi ketika ia masih bayi. Waktu itu, ibu tirinya, Nyonya Sally Williams, tidak sengaja menjatuhkannya ke lantai dan jatuhnya cukup keras. Sejak itu, Green sering mengalami kejang. Albert, ayah dari Green, sudah membawa Green untuk melakukan pengobatan hingga ke luar negeri, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti akan penyakit Green. Green tetap saja mengalami kejang di waktu yang tak menentu. Tiga tahun kemudian, Green memiliki adik laki-laki yang bernama Marcell Williams. Sejak itu, Green diperlakukan dengan cara yang berbeda. Green tidak dianggap anak lagi. Mereka malu memiliki anak seperti Green. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menitipkan Green pada pengasuhnya. Tetapi di keluarga Williams sendiri, Albert mengumumkan bahwa putranya, Green Williams, telah meninggal pada saat melakukan pengobatan di luar negeri. Kabar ini tentu sangat mengejutkan bagi Tuan besar Reyhans. Berita itu ia dengar tepat saat ia sedang
"Aku belum siap ketemu nenek, Pa. Lebih baik Papa dan Mama saja yang menemui nenek malam ini." Hana menolak dengan wajah sendu. Dia masih belum siap melihat wajah kecewa neneknya. Wajah sendu Hana, membuat Anton tampak berpikir kembali."Tapi Mama juga tidak setuju kamu dan dia menginap di apartemen berdua. Ingat, Hana, pernikahanmu ini bukan pernikahan sungguhan. Ini hanya sementara." Jihan menyela sambil melotot pada Green. Rasanya Jihan masih tidak percaya bahwa sekarang dia mempunyai menantu dengan penyakit yang menjijikkan seperti Green. Untuk sekali lagi menghadapi keluarga dan para kerabat Winata, rasanya benar-benar sudah tidak ada muka.Hana menatap ibunya dengan tatapan datar. "Apanya yang bukan sungguhan? Bahkan kami menikah di hadapan Tuhan," jawab Hana dengan suara lemah. Mendengar kalimat itu, Green menoleh pelan padanya."Hana, kita sudah membicarakan hal ini dengan jelas sebelumnya. Harusnya kamu pa