Share

Kedatangan Rony

Naila ambruk. Dia pun pingsan karena sakit yang tertahan.

"Naila!"

Riko yang baru datang, langsung berlari menghampiri istrinya. Menggendong Naila dan segera membawanya ke dalam kamar. Merebahkan tubuh mungil istrinya dengan perlahan, lalu berjalan ke arah ruang tamu. Clara menyambut Riko dengan senyum manisnya. Namun, Riko sama sekali tak menggubris mantan kekasihnya itu. Ditariknya dengan kasar lengan Clara, lalu dipaksa keluar dari rumah.

"Pergi! Jangan ganggu kami! Kita sudah tak ada hubungan apa-apa lagi. Jangan berbuat macam-macam pada istriku."

Sorot mata Riko menandakan kemarahan. Nyali Clara menciut sebelum mendekat. Rencana merayu mantan kekasihnya akhirnya diurungkan. Clara menuju mobilnya dan terpaksa meninggalkan rumah sang mantan.

"Sial. Aku tak menyangka Riko bisa berubah seperti itu. Istrinya pasti diam-diam menghubunginya. Pintar juga dia. Aku pikir dia perempuan desa yang polos dan lugu. Aku harus mencari cara lain untuk menyingkirkannya."

Clara berkata dengan geram di dalam mobilnya. Dilajukan kendaraannya dengan kencang karena marah. Clara merasa dipermalukan oleh Riko. Meskipun tak ada yang melihat kejadian tadi, hati Clara tak terima.

***

Naila masih tak sadarkan diri. Riko membalurkan minyak kayu putih ke seluruh tubuh istrinya. Laki-laki tampan itu bingung dan tak tahu harus bagaimana. Istrinya tidak suka dengan dokter, apalagi rumah sakit.

Selama ini Naila lebih suka pergi ke bidan jika tak enak badan. Berusaha membuat sadar dengan mengoleskan minyak kayu putih di bawah hidung Naila. Sambil terus menciumi wajah istrinya, Riko tak henti-hentinya meminta maaf. Merutuki kebodohannya meninggalkan Naila dalam keadaan demam. Tak berapa lama akhirnya Naila pun sadar dari pingsannya.

"Alhamdulillah ... kamu sudah sadar, Sayang. Sebentar, aku ambilkan minum dulu."

Riko pergi ke dapur mengambilkan segelas air putih. Naila yang sudah duduk dengan badan lemas meminumnya sampai habis. Rasanya tenggorokannya kering dan kepalanya semakin pusing.

"Mas, Clara di mana?" tanya Naila dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Kenapa menanyakan perempuan itu. Aku sudah mengusirnya tadi. Setelah tahu dia di sini, aku langsung ijin pulang dan melajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Alhamdulillah aku sampai tepat waktu. Maafkan aku, ya Sayang. Harusnya aku tak meninggalkanmu," ucap Riko penuh penyesalan.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku bersyukur Mas langsung pulang. Seandainya tadi aku nggak sakit, insyaa Allah aku bisa mengatasinya." Naila berkata dengan lembut pada Riko yang terlihat begitu mencintai dirinya. Naila terharu.

"Makan dulu, ya. Biar aku suapin, setelah itu kita ke dokter. Kita naik taksi online saja biar aman."

" Aku nggak mau, kepalaku rasanya masih berputar. Aku makan sedikit saja, Mas. Perutku rasanya mual. Biar aku minum obat yang di rumah."

"Ayolah, Naila. Kita ke dokter atau ke rumah sakit. Wajahmu sangat pucat. Tolong jangan minum obat sembarangan, siapa tahu kamu sedang hamil."

"Sudah aku test tadi pagi, Mas. Hasilnya negatif. Sudahlah, aku istirahat saja di rumah. Kalau tidurku pulas, insya Allah nanti aku sembuh."

"Baiklah, aku ambilkan dulu, ya."

"Terima kasih, Mas." Naila tersenyum memandang suaminya yang berlalu menuju dapur mengambilkan makanan untuknya.

'Dia begitu perhatian dan sayang padaku. Apa yang aku takutkan? Selama dia di sampingku, tak ada yang perlu aku risaukan,' batin Naila menenangkan hatinya.

"Kok banyak sekali, Mas? Aku nggak bisa makan sebanyak itu." Riko membawa sepiring penuh nasi padang di hadapan Naila.

"Iya, kita makan sepiring berdua. Aku suapin saja, badanmu juga masih lemas." Naila tersenyum dan mengangguk senang.

Mereka makan sambil sesekali bercanda. Kejadian yang baru saja terjadi seolah tak mempengaruhi mereka. Naila paham dengan karakter suaminya. Dia juga tak akan menanyakan siapa Clara ataupun mantan-mantan kekasih yang entah ada berapa jumlahnya. Bagi Naila semua itu masa lalu yang tak harus dia tahu.

Riko memang tampan, bahkan sangat tampan. Tapi dia bukan seorang CEO atau pun manager. Riko seorang karyawan dengan jabatan staff keuangan di perusahaan swasta. Rumah yang mereka tempati pun adalah peninggalan orang tua Riko. Hanya itu yang Naila ketahui tentang suaminya. Riko menikahinya dengan cara yang halal, memperlakukan dirinya dengan lembut dan sopan, dan yang terpenting Riko bukan suami orang. Itu sudah cukup bagi Naila. Selebihnya, Naila tak ingin dan tak mau tahu.

"Naila, ayo kita ke rumah sakit. Banyak kok dokter yang lemah lembut di sana. Nanti aku akan tanya pada temanku. Mau, ya?"

Wajah Naila sangat pucat, tapi Riko tak berani memaksa.

"Besok saja, ya, Mas. Kalau aku belum sembuh, aku janji mau ke dokter. Sekarang biarkan aku minum obat yang biasanya dan istirahat." Naila masih saja berkeras hati tak mau ke dokter.

"Baiklah." Riko pun mengalah.

Riko tahu istrinya trauma. Naila pernah bercerita dia mendengar langsung seorang dokter yang membentak ibunya saat melakukan pemeriksaan. Waktu itu Naila hanya menunggu di luar ruangan karena ibunya tak mengijinkannya ikut masuk.

Sejak kejadian itu, ibunya pun tak lagi mau pergi ke rumah sakit atau pun ke dokter, padahal ibunya menderita kanker rahim stadium tiga. Ibunya Naila juga tak pernah bercerita apa sebabnya dokter itu bisa berlaku seenaknya. Setelah beberapa minggu sejak kejadian itu, ibunya meninggal dunia.

Riko memandangi istrinya. Tubuh mungil, wajah biasa saja, tapi terlihat sangat manis bagi dirinya. Dia pun segera berlalu menuju ruang perpustakaan di samping kamarnya. Membiarkan Naila tidur agar tak terganggu. Waktu luangnya lebih sering dihabiskan di ruangan ini dengan membaca buku atau melanjutkan pekerjaan kantor yang harus dibawa ke rumah.

Bahkan Naila pun tahu, membersihkan ruangannya dengan membiarkan semua tetap di posisinya. Naila bukanlah istri yang kepo apalagi menanyakan hal-hal yang menyangkut masa lalunya. Riko sangat mencintai istrinya karena dia sangat berbeda dengan wanita-wanita yang selama ini mendekatinya.

Ting nong

Ting nong

Suara bel rumah berbunyi berkali-kali. Riko pun beranjak dari duduknya dan segera melihat siapa yang sudah mengganggunya.

"Hai ... broo ... apa kabarmu?"

Seorang laki-laki tampan dengan seorang wanita cantik langsung melenggang masuk saat Riko baru membuka pintu pagarnya. Sedikit terkejut, namun Riko sudah terbiasa dengan tingkah mereka. Riko lalu mengikuti tamunya yang sudah mendahuluinya masuk ke rumah.

"Ada perlu apa kalian kemari? Kita sudah sepakat 'kan? Apa kalian akan melanggar perjanjian kita?" Riko bertanya pada laki-laki yang sudah duduk di sofa dengan kaki di atas meja.

"Tenang dulu adikku, apa kamu nggak rindu pada kakakmu?" tanya laki-laki tampan yang bernama Rony, saudara Riko satu-satunya.

"Iya, apa kamu juga nggak rindu pada kakak iparmu yang cantik ini?" Wanita cantik dengan tubuh seksi yang bernama Vella, istri Rony, berjalan mendekati Riko yang masih berdiri. Riko berjalan menjauh, sebelum Vella menyentuh pipinya.

Riko sangat tak suka dan gelisah dengan kedatangan mereka. Yang sangat dikhawatirkan saat ini adalah istrinya. Tak mungkin dia bisa bekerja dengan tenang jika kedua tamunya akan menginap di rumahnya. Tak mau berdebat, Riko meninggalkan mereka berdua yang tersenyum licik ke arahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status