"Tentu saja saya mau, mba. Ini adalah kesempatan emas buat saya dan istri saya," jawab Azlan dengan antusias.
"Bagus kalau begitu, besok aku tunggu kamu di kantor, katakan saja kepada resepsionis kalau kamu sudah membuat janji denganku.""Terima kasih mba, besok saya pasti akan datang ke sana."Azlan merasa sangat bahagia mendapatkan kesempatan untuk menjadi artis, selama ini tidak ada bayangan sedikit pun untuk memulai karir sebagai artis. Azlan terus tersenyum saat memandangi kepergian Agnes."Nauma pasti bahagia kalau tahu kabar ini, aku jadi tidak sabar untuk mengabarinya," gumam Azlan sambil memandangi kartu nama Agnes.Tanpa menunggu lama lagi, Azlan langsung beranjak dari tempatnya, dia berniat untuk menemui Nauma. Baru juga beberapa langkah, seorang pria bertubuh besar menahan pundak Azlan. Pria bertubuh besar itu meninju perut Azlan tanpa ada rasa kasihan sama sekali.Bugh... bugh... bugh..."Berani-beraninya lo ngambil lahan gue tanpa izin! Mau cari mati lo?!" bentak pria yang memukuli Azlan dengan membabi buta.Azlan tersungkur di aspal sambil memegangi perutnya, darah keluar dari mulutnya, dia terus saja merintih kesakitan akibat pukulan yang diberikan pria bertubuh besar."Ampun Bang, jangan pukul lagi," ucap Azlan sambil menahan tangan pria itu."Lo nggak tau siapa gue? Gue penguasa di pasar ini! Lahan parkir yang lo pakai itu milik gue! Semua orang tahu siapa gue di sini, gue Codet pereman di sini!" Codet berjongkok dan menatap Azlan dengan tatapan mengintimidasi."Ampun Bang, saya tidak tahu, saya hanya mencoba mencari uang untuk makan, saya janji tidak akan memakai lahan Abang lagi," ucap Azlan."Bagus kalau begitu! Kalau lo mau pakai lahan gue, lo harus bayar ke gue seratus ribu sehari, paham nggak lo?!""P-paham Bang," jawab Azlan gugup.Codet pergi dari hadapan Azlan sambil tertawa jahat, Azlan terus saja memegangi perutnya. Dia bangun dengan tubuh yang tidak seimbang. Langkah demi langkah diambilnya, dia melangkah dengan langkah gontai menuju mushola yang sekarang menjadi tempat tinggal sementaranya."Akang... Akang kenapa?" tanya Nauma histeris saat melihat keadaan suaminya."Nggakpapa Neng, cuma sakit perut saja," balas Azlan dengan kobohongan."Akang belum makan siang ya?""Belum Neng, makanya perut aku sakit, kamu kenapa jam segini sudah pulang?"Azlan tidak mau membuat Nauma mengkhawatirkannya, cukup dia saja yang menanggung semua rasa sakit yang di berikan Codet. Azlan juga tidak mau Nauma merasa takut tinggal di kota, tempat yang masih asing bagi mereka berdua."Kedai makannya sudah tutup Kang, semua menu sudah habis, ini aku bawakan nasi bungkus untuk kita, tapi aku hanya bawa satu saja, kita makan bersama ya," ajak Nauma.Azlan memakan nasi bungkus yang dibawa Nauma, dia juga menyuapi Nauma sambil tersenyum. Dia tersenyum sambil menahan rasa sakit di perutnya. Sesekali dia meringis dan itu membuat Nauma menaruh curiga."Jujur, Akang kenapa? Kenapa Akang seperti kesakitan seperti itu? Akang habis berkelahi ya?" tanya Nauma."Nggakpapa sayang, aku hanya sakit perut saja, sebentar lagi juga sakitnya hilang," jawab Azlan masih berbohong.Nauma tidak mempercayai perkataan Azlan, tanpa diduga, Nauma menaikkan kaos yang dikenakan Azlan untuk melihat perutnya. Perut Azlan sudah memar dan berwaran kebiruan, saat melihat perut suaminya, Nauma terkejut."Akang bohong 'kan? Ini perut Akang kenapa bisa memar? Akang habis berkelahi?" tanya Nauma, matanya sudah berkaca-kaca karena tidak tega dengan keadaan sang suami."Tadi ada pencopet Neng, aku yang menangkapnya, oh iya, aku punya kabar gembira Neng," jawab Azlan mengalihkan pembicaraan."Kabar gembira apa Kang?""Tadi aku bertemu wanita, namanya Agnes, dia menawari aku untuk menjadi artis, dia juga memberikan kartu namanya," jawab Azlan dengan antusias, dia melupakan rasa sakit di perutnya dan langsung merogoh saku celana.Azlan panik saat kartu nama Agnes tidak ada di saku celananya, berulangkali dia mencari kartu nama Agnes tetapi tidak bisa ditemukan."Astaga Neng! Kartu namanya hilang, apa jatuh saat tadi berkelahi ya?" ucap Azlan dengan panik."Coba Akang cari lagi di saku, siapa tahu terselip Kang, saku celana Akang kan banyak," balas Nauma. Celana yang dikenakan Azlan memang memiliki banyak kantong, dia mencarinya lagi tetapi masih tidak ketemu."Nggak ada Neng, kayak mana ini? Aku sudah melihat alamatnya, tetapi aku tidak tahu lokasinya, nomor ponsel yang ada di kartu juga aku tidak ingat."Mereka berdua panik karena tidak bisa menemukan kartu nama Agnes, Azlan dan Nauma mengembuskan napasnya karena merasa kesempatan emas itu sirna begitu saja."Maaf nak, apakah kalian sudah membersihkan musholah sore ini?" timpal ustadz yang sekarang sudah berada di hadapan mereka.Mereka boleh berteduh di moshola, dengan catatan meraka harus bersedia membersihkan mushola, dan menyiapkan semua yang dibutuhkan saat waktunya sholat."Belum pak, habis makan akan kami selesaikan semua," balas Azlan."Baiklah kalau begitu, Bapak tinggal dulu ya." ustadz pergi meninggalkan mereka, dia masuk ke dalam mushola."Yasudah habiskan saja dulu makannya Neng, habis ini kita bersihkan mushola, setelahnya baru kita cari kartu nama itu di jalan."Nauma menuruti perkataan Azlan, Mereka makan dengan sangat cepat, bahkan rasa sakit di perutnya tidak dirasa lagi. Setelah mereka selesai makan, mereka langsung membersihkan mushola. Membersihkan mushola memakan waktu sekitar satu jam, begitu selesai, mereka berpamitan kepada ustadz untuk keluar sebentar."Ayo Neng buruan, semoga saja kartu nama itu jatuh tidak jauh dari tempat perkelahian," ajak Azlan dengan tergesa-gesa, tangannya juga sibuk menarik Nauma agar Nauma bisa mengimbangi langkahnya."Dimana Akang berkelahi?" tanya Nauma saat sudah sampai di parkiran minimarket."Di situ Neng." Azlan menunjuk lokasi saat dia dipukuli.Azlan bergegas menuju tempat yang di tunjuknya, dia meninggalkan Nauma, matanya terus mengintai ke semua celah. Nauma juga ikut membatu mencari, bahkan di balik tembok dan di bawah mobil mereka cari. Azlan membungkukkan tubuhnya saat mencari di kolong mobil yang terparkir."Ketemu nggak Kang?" tanya Nauma."Belum Neng," jawab Azlan dengan lemas."Cari lagi Kang, siapa tahu masih di sekitaran sini," suruh Nauma.Mereka mencari lagi, bahkan lebih teliti dari sebelumnya. Nauma juga tidak tinggal diam, dia mencari sampai ke toko sebelah."Apa ini ya kartu namanya?" gumam Nauma saat menemukan kartu kecil seperti kartu nama.Nauma berlari menghapiri Azlan untuk menunjukkan kertas yang baru saja ditemuinya."Kang... Ini bukan kartu namanya?" tanya Nauma dengan berteriak. Dia menunjukkan temuannya kepada Azlan.Azlan terlihat baegitu antusia karena dia pikir Nauma sudah menemukan kartu yang akan mengubah nasib mereka."Yah Neng, bukan," jawab Azlan lemas. Kartu yang ditemukan Nauma bukanlah kartu nama Agnes."Jadi kayak mana Kang? Padahal itu kesempatan emas, malah hilang gitu aja," ucap Nauma sambil mengembuskan napasnya. "Mau bagaimana lagi? Kartunya sudah hilang, sekarang kita pulang dulu, sebentar lagi sudah mau magrib," balas Azlan. Azlan juga merasa sedih karena sudah kehilangan kartu nama Agnes, kartu nama itu adalah harapan terbesarnya untuk bertahan hidup di kota besar ini. Mau tidak mau, Azlan dan Nauma harus ikhlas kehilangan kartu nama Agnes. Mereka berdua pulang ke mushola dengan langkah gontai. "Kenapa kalian lesu seperti itu?" tanya Pak ustadz. "Nggakpapa Pak ustadz, kami hanya kehilangan kartu nama saja," balas Azlan. "Memangnya kartu nama itu penting sekali ya?" "Bagi kami sangat penting Pak karena itu adalah kartu nama agensi, tadi ada yang menawariku untuk menjadi artis," jawab Azlan, wajahnya masih saja muram, dia bersedih karena tidak bisa menemukan kartu nama Agnes. "Jangan disesali, jika memang itu masih rezeki kamu, maka Allah akan mengembalikannya dengan car
"Siapa lo berani ngelarang gue?!" bentak Codet. "Gue Agnes! Gue bisa menjarain lo sekarang juga atas tuduhan pemerasan!" balas Agnes tak kalah membentak. Agnes adalah wanita yang menolong Azlan, dia mencari Azlan di tempat mereka bertemu kemarin. Agnes sangat tertarik pada Azlan dan dia mau Azlan menjadi artis di agensinya. Wajah tampan Azlan merupakan aset berharga baginya dan juga perusahaannya. Menurut Agnes, Azlan bisa mendapatkan ketenaran dengan wajah tampannya. "Pergi nggak lo dari sini!" usir Agnes. Codet merasa dirinya terancam karena Agnes sudah siap menelpon polisi. Penampilan Agnes juga sangat meyakinkan kalau dia mampu memenjarakan Codet. Tampilan layaknya pengusaha kaya raya, stelan jas dan juga kaca mata yang dikenakannya menambah kesan mewah. "Brengsek! Awas lo ya! Lo masih ada urusan sama gue!" bentak Codet, tangannya menunjuk wajah Azlan. Codet dan anak buahnya pergi karena takut dengan ancaman Agnes, Agnes berhasil merebut uang yang di rampas oleh Codet. Dia me
"Tapi Kang-" "Sudah jangan dipikirkan, ingat, ada aku di sini, aku yang akan bertanggung jawab dengan hidup kita, kamu tenang saja ya sayang," ucap Azlan memotong perkataan Nauma. Dia memeluk Nauma dan membelai rambut panjangnya. Nauma masih saja terisak, dia masih belum rela uang yang selama ini dikumpulkan dirampas begitu saja oleh Codet. Azlan juga sebenarnya merasa bingung, disaat kesempatan emas datang lagi, uang hasil tabungan mereka yang dirampas. Mau tidak mau, Azlan berpikir keras bagaimana caranya agar besok bisa menemui Agnes? Malam hari Azlan tidak pergi ke parkiran, dia menemani Nauma di kamar mushola. Dia takut Codet datang lagi dan mencelakai istrinya. Naumatidur dalam kesedihan, Azlan memeluk Nauma dengan sangat erat, bahkan dia sudah menahan pintu kamar mereka dengan lemari yang disediakan Pak ustadz. Azlan tidak bisa tidur, dia terus saja siaga karena ketakutannya. Apapun bisa terjadi kepada mereka disaat mereka lengah. Azlan mengusap-usap kepala Nauma, "Maafkan a
"Tidak! Tidak! Bagaimana mungkin saya menyembunyikan status istri saya sendiri? Mba sudah menjebak saya," ucap Azlan sambil menggelengkan kepalanya. Dia masih tidak percaya dengan kebodohan yang baru saja dilakukannya. "Saya sudah memperingatkan kamu untuk membacanya terlebih dahulu, tetapi kamu sendiri yang menandatangani tanpa membacanya," balas Agnes menyalahkan Azlan. "Sudahlah Kang, aku tidak masalah, sudah terjadi juga, lagi pula kita tidak memiliki uang untuk membayar dendanya," timpal Nauma, dia merangkul lengan Azlan. "Tetapi kami masih diperbolehkan tinggal satu rumah 'kan?" tanya Azlan memastikan. "Tentu saja boleh, tetapi publik tidak boleh mengetahui status kalian yang sebenarnya," jawab Agnes. "Baiklah kalau begitu, kontrak ini berlangsung berapa lama?" "Dua tahun, selama dua tahun kamu harus mengaku single, setelah kontrak ini selesai, kita akan perbaharui lagi kontraknya, itupun jika kamu masih mau menjadi artis." Azlan dan Nauma hanya terdiam, sudah tidak ada ka
"Bukankah begitu, Azlan?" tanya Agnes. Mata coklat Azlan menatap Agnes dengan penuh kemarahan, dia melirik Nauma. Mata Nauma membola saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut Agnes. Azlan tidak menyangka kalau Agnes akan menganggap Nauma sebagai pembantunya. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Azlan melangkahkan kalinya, tetapi Nauma menghentikannya. Nauma menggelengkan kepala untuk mencegah perbuatan yang akan Azlan lakukan. "Baiklah kalau begitu, maafkan perbuatan kami," ucap petugas keamanan dengan wajah penuh sesal. Azlan memalingkan wajahnya, tidak menjawab permohonan maaf penjaga yang ada di dekatnya. Azlan menatap wajah Nauma, dia melihat ada kesdihan di matanya. 'Kenapa jadi aku yang menjadi penyebab kesedihannya?' batin Azlan. Tidak berselang lama, para pengawal pergi meninggalkan luka di hati dan tubuh mereka. "Kenapa mba ngomong gitu? Kenapa mba memposisikan Nauma sebagai pembatu saya?" tanya Azlan, matanya juga menunjukkan kemarahan yang teramat sangat. "Memang
"Neng!... kamu di mana?" Azlan mencari keberadaan Nauma. Dia baru sadar kalau Nauma tidak ada di sampingnya. Mendengar teriakan Azlan, Nauma menghapus jejak air matanya dengan kasar. Azlan mencari Nauma, satu persatu kamar dibuka olehnya. Dia panik karena tidak bisa menemukan Nauma. Saat dia membuka kamar terakhir, dia melihat Nauma yang sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tubuhnya terlihat gemetar dan itu membuat Azlan semakin panik. "Sayang... kamu kenapa?" tanya Azlan. Dia memeluk tubuh Nauma dan merasakan hawa panas dari tubuhnya. "Kamu sakit?" tanya Azlan sambil menyentuh kening Nauma dengan punggung tangannya. Nauma hanya terdiam, tubuhnya bergetar hebat karena deman yang dideritanya. "Kamu tunggu di sini ya, Neng. Aku beli obat dulu," ucap Azlan dengan panik. Dia langsung berlari ke luar apartemen dan mencari apotek untuk membeli obat. Azlan terus saja berlari, "Pasti Nauma sakit gara-gara aku, pasti kejadian hari ini menjadi pukulan berat baginya," racaunya saat sedan
"Maaf, saya belum terbiasa," jawab Azlan. "Kalau belum terbiasa berusaha lebih keras dong! Kalau seperti ini namanya kamu mengerjai kami!" Azlan mengepalkan tangannya dan berusaha tersenyum. Fotografer merasa kesal dengan Azlan yang selalu saja tidak bisa mengikuti instruksinya. "Yasudah kita mulai lagi, kali ini kamu harus lebih santai, jangan kaku seperti tadi," ucap Fotografer. Azlan berusaha santai dan mengikuti semua arahan yang diberikan, tetapi mereka semua masih belum puas dengan usaha Azlan. "Santai!... Santai!... Lo bisa santai gak? Jangan kaku gitu!" bentak fotografer. "Fero, kamu ke sana gantikan Azlan, dan kamu Azlan, lihat cara Fero berpose," timpal Agnes. Fero adalah pria yang tadi menghina Azlan, dia merasa bangga karena bisa menjadi artis yang selalu diutamakan oleh Agnes. Dia menunjukkan kebolehannya di depan kamera, dia ingin menunjukkan kepada Azlan kalau dia lebih baik darinya. Azlan fokus memperhatikan Fero dan pose-pose yang diperagakannya. "Bagus... pose
"Tidak!... lepaskan." Nauma terus saja memberontak. Banyak pejalan kaki yang melintas tetapi mereka tidak ada yang berani menyelamatkannya. Bukan hanya pejalan kaki saja, para pedagang pasar dan juga tukang ojek tidak ada yang berani melawan Codet. Codet terus saja menarik Nauma dengan paksa, bahkan dia merangkul Nauma dengan erat. Nauma merasa sangat ketakutan, dirinya kini sedang dalam bahaya. Saat Nauma ditarik paksa oleh Codet, ada seorang pria yang melihat ketakutan Nauma dari dalam mobilnya. "Mengapa tidak ada yang menolong gadis itu?" gumamnya. Dia langsung menghentikan mobilnya lalu keluar dari dalam mobil. Pria itu terus berjalan dengan langkah lebar, dia juga tidak lupa mengenakan masker jika di depan khalayak umum. "Berhenti! Lepaskan wanita itu!" teriaknya. Codet menghentikan langkahnya saat mendengar teriakan itu,dan Nauma merasa lega karena ada yang berani menyelamatkannya. "Siapa lo berani-beraninya ngelawan gue?" tanya Codet. Matanya juga menatap dengan tatapan memb