"Jadi kayak mana Kang? Padahal itu kesempatan emas, malah hilang gitu aja," ucap Nauma sambil mengembuskan napasnya.
"Mau bagaimana lagi? Kartunya sudah hilang, sekarang kita pulang dulu, sebentar lagi sudah mau magrib," balas Azlan.Azlan juga merasa sedih karena sudah kehilangan kartu nama Agnes, kartu nama itu adalah harapan terbesarnya untuk bertahan hidup di kota besar ini. Mau tidak mau, Azlan dan Nauma harus ikhlas kehilangan kartu nama Agnes. Mereka berdua pulang ke mushola dengan langkah gontai."Kenapa kalian lesu seperti itu?" tanya Pak ustadz."Nggakpapa Pak ustadz, kami hanya kehilangan kartu nama saja," balas Azlan."Memangnya kartu nama itu penting sekali ya?""Bagi kami sangat penting Pak karena itu adalah kartu nama agensi, tadi ada yang menawariku untuk menjadi artis," jawab Azlan, wajahnya masih saja muram, dia bersedih karena tidak bisa menemukan kartu nama Agnes."Jangan disesali, jika memang itu masih rezeki kamu, maka Allah akan mengembalikannya dengan cara lain," ucap ustadz menenangkan mereka."Benar apa yang Bapak bilang, insyallah kami ikhlas, semoga Allah memberikan rezeki lebih buat kami.""Yasudah, kalian bersiap saja, sebentar lagi adzan maghrib, saya tinggal ke dalam dulu ya." Pak ustadz masuk ke dalam mushola dan mengumandangkan adzan.Mereka berdua langsung membersihkan diri dan berwudhu, lalu sholat bersama dengan jamaah yang lain. Setelah selesai shalat, mereka kembali ke kamar mereka. Pengurus mushola memberikan mereka kamar dengan kamar berukuran 2x2 meter. Ruangan yang hanya cukup untuk mereka berdua saja, meskipun begitu, mereka sangat bersyukur karena tidak terlunta-lunta di jalan."Akang mau ke mana?" tanya Nauma."Aku mau kembali ke parkiran, lumayan uangnya, untuk kita makan besok, kalau ada lebih akan aku sisihkan untuk tabungan kita, siapa tahu nanti kita mampu menyewa rumah," terang Azlan."Baiklah kalau begitu Kang, tapi aku boleh ikut nggak?" tanya Nauma.Azlan bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Nauma. Jika saja Codet tidak menegurnya, maka dia dengan senang hati mengajak Nauma. Sekarang Azlan takut membawa Nauma, takut Codet berbuat hal yang lebih jahat lagi kepada mereka."Kamu di sini aja ya, kamu istrahat saja, aku janji hanya sebentar kok," balas Azlan.Nauma menyetujui ucapan Azlan dan dia mengambil tangan Azlan untuk dicium. Azlan tersenyum saat melihat Nauma tidak memaksakan keinginannya. Setelah berpamitan dengan Nauma, Azlan langsung pergi ke parkiran minimarket.Tidak semua orang memberikan tips kepadanya, bahkan tidak sedikit juga pengendara yang menghinanya. Azlan tidak memperdulikan itu, sambil menjaga parkiran, matanya terus mencari keberadaan kartu nama Agnes. Dia masih sangat penasaran di mana kartu nama itu terjatuh?"Masa iya sih hilang? Apa tertiup angin ya kartu namanya?" gumamnya sambil menggaruk kepala.Azlan tidak putus asa, dia terus mencari kartu nama Agnes, malam ini tidak banyak pengunjung yang datang ke minimarket. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, minimarket juga sudah tutup. Azlan memutuskan untuk pulang ke rumah, hari ini dia mendapatkan uang 170.000 ribu. Digenggamnya uang hasil kerja keras hari ini, berharap Codet tidak menghampirinya dan merampas uangnya."Untung Bang Codet tidak datang, mungkin dia mulai meminta uang setorannya besok," gumam Azlan.Saat sudah sampai di kamarnya, ternyata Nauma sudah terlelap. Azlan tidak berani membangunkan istrinya, dia membaringkan tubuhnya di samping Nauma dan ikut terlelap.***Pagi hari.Mereka berdua bersiap untuk bekerja, saat ini mereka harus mengumpulkan uang demi kehidupan mereka nanti. Mereka tidak mau selamanya menumpang di mushola dan merepotkan Pak ustadz."Neng ke kedai dulu ya, Kang," pamit Nauma.Setelah berpamitan Nauma pergi dengan tas selempangnya, begitu juga dengan Azlan. Dia sudah siap untuk bekerja menjadi tukang parkir lagi, meskipun Codet meminta setoran. Dikalungkan handuk kecil ke lehernya, tidak lupa juga menggunakan topi untuk menghalangi cahaya matahari."Semoga hari ini ramai biar bisa setoran ke Bang Codet," ucap Azlan sambil berjalan ke minimarket."Widih... seger bener Akang tampan kita," sapa tukang ojek yang sedang mangkal."Selalu dong," balas Azlan sambil terkekeh."Kenapa lo nggak jadi tukang ojek aja? Gue liat lo punya motor?""Kagak Bang, motor gue butut, takut mati di tengah jalan, lagian gue nggak tahu jalan di sini.""Iya juga sih, yaudahlah, kerja apa aja yang penting halal, iya nggak?""Beh... Cakep... bener banget Bang, yasudah, aku markirin dulu ya Bang," pamit Azlan.Azlan memulai pekerjaannya dengan bersemangat, semua ini dilakukan demi istri tercinta. Meskipun terkena terik matahari, dia rela. Pekerjaannya tidak ada hambatan sedikitpun sampai menjelang sore. Sedangkan di tempat lain, ada yang gelisah karena menanti kehadiran Azlan."Apakah tidak ada pemuda yang datang ke sini untuk bertemu saya?" tanya Agnes kepada bawahannya."Tidak ada Nona.""Kenapa dia tidak datang? Apakah dia tidak mau menjadi artis?" gumam Agnes.Agnes tidak tahu kalau Azlan sudah menghilangkan kartu namanya. Meski begitu, Azlan masih terus berusaha mencari kartu nama Agnes, dia yakin kalau kartu nama itu masih berada di dekat minimarket. Saat Azlan sedang mencari kartu nama, Codet datang dengan anak buahnya."Nyari apa lo?" tanya Codet, dia menegapkan tubuh Azlan yang sedang menunduk."Eh Abang, nggak cari apa-apa Bang, tadi ada koin yang jatuh," jawab Azlan berbohong."Mana setoran hari ini?" pinta Codet, dia menengadahkan tangannya di hadapan Azlan."I-ini Bang." Azlan memberikan uang pecahan berjumlah seratus ribu."Apaan cuma segini! Setorannya sama yang kemarin dong, enak aja kemarin nggak setor!" bentak Codet.Codet tidak terima Azlan hanya memberikan uang seratus ribu, Dia memaksa Azlan untuk memberikan uang sebesar dua ratus ribu. Azlan merasa dirinya terancam, uang hasil parkir kemarin tidak dibawa dan sudah diberikan kepada Nauma."Maaf Bang, hari ini baru dapat sedikit, bagaimana kalau yang kemarin saya cicil," ucap Azlan bernegosiasi."Lo pikir gue rentenir pakai dicicil segala?! Gue nggak mau tahu, sekarang juga lo kasih uangnya ke gue, jangan dikira gue bodoh ya? Lo markirin di sini dari pagi, pasti udah dapat banyak, mana uangnya?""Memang banyak pengunjung Bang, tapi yang ngasih dikit, nggak semua ngasih.""Gue nggak mau tahu!" ucap Codet. Dia merogoh paksa saku celana Azlan, Azlan memberontak karena takut uang yang sudah susah payah dikumpulkan direbut oleh Codet."Jangan Bang, saya janji, malam akan saya berikan setoran yang kemarin," ucap Azlan.Codet sudah berhasil meraih sisa uang yang ada di saku Azlan. Dihitungnya uang pecahan itu oleh Codet, ternyata hanya sekitar tiga puluh ribu lebih."Uang ini gue ambil! Sisanya malam! Awas kalau malam nggak setoran!" ucap Codet sambil menunjukkan uang di hadapan Azlan."KEMBALIKAN UANGNYA! Kalau mau uang, kerja! Bukannya merampas seperti ini!""Kenapa saat hatiku sudah memilihmu jusrtu kau yang menghilang?" gumam Nauma sambil berjalan mencari taksi.Rumah Azlan yang ia datangi ternyata sudah dijual, tapi ia tak putus asa. Nauma mengunjungi Strar Entertaint, agensi tempat Azlan bekerja. Nauma pikir Azlan masih menjadi artis dan bekerja dengan Agnes."K-kamu Nauma?" tanya Fero yang tak sengaja melihat Nauma memasuki lobi kantornya."Ya, ini aku. Sudah lama kita tak bertemu," balas Nauma."Kau sudah berubah sekali, semakin cantik dan mempesona. Oh ya, untuk apa kau ke sini?" tanya Fero."Apakah Azlan ada di sini? Aku mencari ke rumahnya tapi ia tak tinggal di sana lagi, nomor ponselnya pun sudah tak aktif lagi," tanya Nauma.Fero mengembuskan napas saat mendengar pertanyaan Nauma. "Dia sudah tak bekerja di sini lagi, sekarang dia tak memiliki pekerjaan, semua harta yang diberikan Mr. Jhon pun sudah diambil dan dia sudah tak memiliki apapun. Tapi untuk apa kau mencarinya, bukankah kau sudah menikah dengan Mr. Jhon?" tanya Fero
"Kenapa Azlan, Nak?" tanya Ibu Tomi sambil berlari karena mendengar teriakan anaknya."Kak Azlan tak sadarkan diri, Bu. Lebih baik kita bawa ke rumah sakit sekarang," balas Tomi cemas.Tomi dan ibunya membawa Azlan ke rumah sakit terdekat, sepanjang perjalanan ia merasa cemas karena keadaan Azlan. Wajahnya sudah terlalu pucat, mata menghitam dan terlihat lebih kurus dari biasanya.Ia melajukan mobil dengan kecepatan penuh tanpa memperdulikan makian pengguna jalan lainnya. Ibu Tomi pun merasa cemas karena tak biasa berada di jalan raya dengan kecepatan seperti ini."Hati-hati, Nak," ucap Ibu Tomi memperingati anaknya.Begitu sampai di rumah sakit mereka langsung melarikan Azlan ke ruang UGD. Dalam perjalanan menuju UGD mereka bertemu dengan Fero yang kebetulan sedang syuting di rumah sakit untuk film terbarunya. Fero pun membantu Tomi mendorong brangkar pasien."Apa yang terjadi? Mengapa ia jadi seperti ini?" tanya Fero."Nanti aku ceritakan, yang penting kondisi Kak Azlan membaik dulu
"Maaf Nyonya. Semua biaya atas nama Axcel sudah dilunasi," ucap petugas administrasi saat Nauma ingin membayar tagihan rumah sakit."Siapa yang telah membayarnya?" tanya Nauma penasaran."Pria yang mendonorkan mata untuk anak anda."Nauma terkejut dengan apa yang ia dengar. Azlan menjalankan peran sebagai Orangtua yang sesungguhnya dengan menjaga Axcel tanpa sepengetahuannya. Bahkan biaya operasi yang terbilang mahal pun Azlan lakukan. "Baiklah kalau begitu, terima kasih."Nauma pergi dengan tatapan kosong, ia masih memikirkan Azlan di hatinya. Nauma pun merogoh tas kecil yang ia bawa dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor Azlan hendak menelpon dan mengucapkan rasa terima kasihnya."Kenapa nomornya tidak aktif?" gumam Nauma.Nauma kembali menelpon Azlan dengan nomor yang dulu Azlan gunakan sebagai Mr. A, tapi tetap saja nomor itu tak aktif sama sepeti nomor sebleumnya. "Kenapa nomor ini juga tak aktif? Apakah ia mengganti nomornya?" gumam Nauma."Ada apa?" tanya Mr. Jhon menghamp
"Mengapa kau ada di sini?" tanya Nauma begitu seorang pria keluar dari kamar mandi.Azlan terkejut saat melihat kehadiran Nauma di ruang rawatnya, ia tak bisa menjawab pertanyaan Nauma. Nauma pun terlihat menahan kesedihannya sambil memandang wajah Azlan yang terdapat perban di bagian mata. "Apakah kau yang mendonorkan mata untuk Axcel?" tanya Nauma lagi.Azlan masih terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa, rasanya percuma ia menyembunyikan identitasnya saat Nauma mengetahui apa yang ia lakukan.Azlan mengambil ponsel Nauma di lantai dan memberikannya. Ia pun tersenyum dan berkata. "Tenang saja, aku akan pulang begitu pengobatan ini selesai, aku pun janji akan menghilang dari hidup kalian," ucap Azlan menahan sesak di hati.Nauma tak menerima ponsel yang Azlan berikan, ia masih terpaku pada wajah Azlan yang berbalut perban. Tanpa ia sadari air mata sudah jatuh begitu saja membasahi pipi. Azlan pun panik dengan kesedihan yang Nauma tampakkan. Ingin sekali rasanya memeluk wanita yang
"Tentu saja bisa, tapi kau harus melewati serangkaian tes terlebih dulu untuk melihat kecocokan mata kalian," ucap sang dokter."Baiklah, aku akan melakukan tes itu sekarang juga," balas Azlan.Azlan menjalani pemerikasaan dan ia bersyukur karena matanya cook untuk didonorkan. Tomi merasa cemas dengan keputusan yang diambil Azlan. Sedangkan Azlan memantapkan hati untuk kesempurnaan anaknya. Ia tak akan tega melihat Axcel hidup dengan kekurangan."Apakah kau serius dengan keputusanmu, Kak?" tanya Tomi."Tentu saja, kau tenanglah, bukan hal buruk hidup dengan satu mata," balas Azlan.Dokter memberikan jadwal operasi pada Azlan, serangkaian tindakan pun telah Azlan lakukan. Hari demi hari ia tinggal di rumah sakit, dan mendapati kabar bahwa operasinya telah berhasil. Rasa syukur selalu ia ucapkan.Azlan pun melihat keadaan Axcel saat malam tiba, tentunya hanya dari luar jendela. Ia tak ingin Nauma mengetahui apa yang ia lakukan untuk anaknya."Syukurlah kalau kau sudah bisa melihat denga
"Tapi mobil itu adalah mobil kesayangamu, Kak," balas Tomi."Tak ada yang lebih penting dari keselamatan anakku, aku harus segera menemuinya. Hati ini tak akan tenang jika belum melihat keadaannya dengan mata kepalaku sendiri. Sekarang juga kau temani aku ke dealer mobil," ucap Azlan.Azlan berlari menuju kamarnya mengambil kunci mobil serta berkas yang dibutuhkan, kemudian ia dan Tomi langsung menuju dealer mobil tempatnya membeli dulu. Pekatnya malam membuat jalanan semakin lengang, hingga Tomi berpikir dealer yang mereka tuju pasti sudah tidak beroperasi."Sepertinya Dealer mobil sudah tutup di jam segini, Kak. Lebih baik besok saja kita ke sana," ucap Tomi."Semoga saja belum." Azlan mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh, hingga Tomi berpegangan pada tali pengaman yang ada di tubuhnya.Harapan Azlan tak menjadi kenyataan, dealer mobil yang mereka tuju sudah tutup, tapi Azlan tak patah semangat. Ia mencari dealer mobil lainnya yang masih buka. Keberuntungan tak berpihak padanya