Sebagaimana kebiasaannya, Saroh berangkat untuk pencarian nafkah ketika pagi masih menyatu dengan pukul delapan. Dia mengawalinya dengan gairah maksimum. Taksi online menjadi moda transportasinya. Satu-satunya aktivitas Saroh di kantornya ialah pengarahan singkat mengenai proyek penanggulangan bencana alam. Program yang digarap adalah perwujudan perlindungan sekolah dari bahaya bencana alam di Kota Bogor. Ia terlibat dalam pelaksanaan program tersebut.
Sesudah pengarahan singkat berakhir, Saroh serta kolega-koleganya mengunjungi kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Bogor. BPBD Kota Bogor merupakan mitra kerja dalam proyek tersebut. Saroh, kolega-koleganya, serta para pegawai BPBD Kota Bogor menggelar sebuah rapat. Hal yang dibahas adalah rancangan peraturan-peraturan yang terkait dengan proyek tersebut. Rapat berlangsung hingga jam makan siang.
Sehabis bersantap siang, Saroh serta kolega-koleganya menghadiri seminar pendidikan di Kampus Institut Pertanian Bogor. Penyelenggaranya yaitu Kemendikbudristek. Di penghujung seminar, ada sesi serah terima 15.000 paket bahan dan alat pendukung belajar dari NGO (Non-Governmental Organization) yang menaungi Saroh untuk Kemendikbudristek. Paket itu berguna untuk kegiatan belajar 15.000 siswa. Atasan Saroh adalah orang yang menyerahkan paket itu. Saroh menjadi saksi penyerahan paket itu.
Kesibukan Saroh belum tamat. Saroh mesti membuat laporan tentang kunjungannya ke kantor BPBD Kota Bogor. Pembuatan laporan berlokasi di kantor Saroh. Saroh mengerjakannya secara tekun. Keselesaian penggarapan laporan bertepatan dengan kemunculan semburat warna merah pada permukaan langit. Saroh pulang ke Kecamatan Menteng kala malam menjalarkan kegelapan.
Di kediamannya, HP Saroh bergerak-gerak. Melalui sambungan telepon, Arung berkata bahwa dia ingin membawa Saroh ke tempat kencan yang lazim bagi mereka, tetapi aneh bagi dua sejoli lainnya. Tanpa keraguan Saroh meluluskan keinginan belahan hatinya. Dia dan Arung telah lama tidak menyambangi tempat itu. Padahal, mereka sering menghabiskan momen berdua di situ pada awal masa pacaran. Saroh menduga, Arung berniat mengejutkan dirinya.
Apapun tujuan Arung, Saroh senang. Ia akan kembali pada nostalgia, semasa dirinya dan Arung menjilat manisnya madu kasmaran.
*****
Kenangan indah Saroh dan Arung tatkala mereka mengais ilmu di Universitas Indonesia terulang. Mereka memadu kasih di zona kegemaran Arung di Kota Depok. Suatu ruang yang membuai para kutu buku. Sebuah gedung yang menyedapkan jiwa orang-orang berkepribadian tertutup. Saroh dan Arung terakhir kali bertandang bersama ke Toko Buku Gramedia ini pada lima tahun silam.
“Kenapa situasinya beda, Say?” tanya Saroh bingung. Dia mengamati orang-orang yang ada di sekitarnya.
Arung melirik Saroh. Menanyakan maksud pertanyaan Saroh.
Pengamatan Saroh makin saksama. “Dulu, orang yang dateng ke sini banyak. Sekarang, orang yang dateng ke sini sedikit.”
“Orang-orang era sekarang lebih suka beli e-book. Kalau butuh buku cetak, mereka lebih pilih beli di toko buku online ketimbang toko buku fisik. Toko buku fisik online jadi sepi,” jelas Arung.
“Oh, iya. Orang-orang pada beli buku di toko buku ,” Saroh mulai mengerti. “Kok aku nggak ngeh sama alasan sederhana kek gini sih? Payah banget aku,” keluh Saroh pada diri sendiri. Dia lanjut berkata, “Toko buku fisik nggak cuma jadi sepi. Toko buku fisik juga bangkrut. Bener, kan?”
Arung sepikiran. “Toko buku fisik yang bangkrut nggak menyesuaikan era sekarang. Era sekarang serba online dan mengutamakan gaya hidup. Sementara toko buku fisik yang masih eksis menggabungkan penjualan buku secara offline dan online. Mereka juga mengusung konsep arena perbelanjaan sekaligus rekreasi. Selain itu, mereka jual produk selain buku. Salah satu dari mereka adalah toko buku fisik ini,” dia menghamparkan penjelasannya.
Saroh manggut-manggut. Ia telah mengenal penyebab penurunan jumlah pengunjung toko buku yang sedang didatanginya. Kebingungannya pun sirna.
“Aku ke sana dulu, ya.” Acungan jari telunjuk Arung menuding deretan buku yang berada di bagian tengah.
“Aku di bagian buku-buku sosial,” balas Saroh.
Balasan Saroh diiakan oleh Arung.
Saroh dan Arung saling menjauh. Berjalan menuju rak yang berbeda. Mereka mencermati kumpulan buku pada rak. Saroh menyambar buku sosiologi. Arung mengambil buku psikologi. Mereka menyibak lembaran-lembaran kertas pada buku yang ada di genggaman. Mata mereka menjelajahi setiap kata dengan penuh selera. Melaju di atas permukaan kalimat tanpa jeda. Gerakan itu terus berlangsung hingga mata mereka takluk oleh kelelahan.
terus berlangsung hingga mata mereka takluk oleh kelelahan.
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya. “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius. Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.” Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru. “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan. “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan. Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan. “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh. Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.” Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?” Saroh mengiakan sebuah kata tersebut. “Tuntu
Ujung waktu menjemput Rapat Intern Komisi VI DPR. Pinto berpacu ke tempat awal. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjanya. Alat tulis kantor tertata indah di atas meja kerja milik DPR. Tumpukan kertas tersusun rapi di dalam lemari yang dimiliki DPR. Komputer yang disediakan DPR sudah dalam keadaan mati. Agenda Pinto berikutnya adalah pertemuan dengan Wahid dan Bisma. Lokasi pertemuan dekat dari ruang kerja Pinto. "Selamat sore, Mas Pinto,” sapa Wahid kepada Pinto yang baru datang di ruang kerjanya. Dia memandangi baju batik yang menempel pada fisik Pinto. “Tumben, Mas Pinto pakai kemeja batik lengan panjang pada hari Senin. Biasanya, Mas Pinto pakai kemeja biasa lengan panjang.” "Ini bukan sembarang batik. Ini batik spesial. Saya beli ini di Dapil saya waktu menjalani masa reses," Pinto menerangkan. "Hai Mas Pinto! Apa kabar?" panggil Bisma disertai senyuman. Pandangan Pinto membelok ke paras campuran Bisma. "Kabar saya baik." Bisma m
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Malam menggelap pekat. Pinto mempercepat langkah kakinya. Buru-buru keluar dari Gedung DPR RI. Bergegas meluncur ke kediaman pribadi orang tuanya. Ia ingin menemui Woro Supriyanto dan Yeni Supriyanto. Memanfaatkan waktu senggang keduanya. Yang jarang tersedia untuk Pinto. Sesudah bersusah-payah menerobos kemacetan, mobil dinas Pinto akhirnya mencapai halaman kediaman pribadi Woro Supriyanto. Pinto masuk ke dalam rumah. Langsung menghampiri lantai dua. "Udah pulang?" sapa Yeni Supriyanto ketika Pinto baru menginjakkan kaki di ruang keluarga. "Udah," balas Pinto. Pinto berjalan ke arah sofa panjang berwarna merah. Duduk di samping Yeni Supriyanto. Di hadapan mereka, berdiri sofa panjang berwarna putih yang ditempati Woro Supriyanto. Pandangan Pinto bertaut pada Woro Supriyanto. “Serius sekali Bapak bacanya ...," ia mencandai Woro Supriyanto. Bibir Woro Supriyanto melukiskan senyum tipis. “Bapak sedang baca jurnal penelitian. Isinya menarik ,” timpalnya sera
Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner. Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto. Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya. “Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat. Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya. “Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya. “Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya. Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinantya, m