“Gimana kabar perusahaan private equity kamu?” Saroh mengenyahkan keheningan.
“Wishlight Capital udah resmi menjalin kemitraan strategis dengan tiga perusahaan investasi dari Amerika Serikat. Wishlight Capital mengelola dana mereka. Ke depannya, Wishlight Capital menanamkan modal di perusahaan rintisan yang prospeknya cerah, perusahaan berkembang, dan perusahaan raksasa. Wishlight Capital fokus di region Asia Tenggara,” Arung menyibakkan perkembangan dan rencana bisnis perusahaannya.
Saroh takjub akan pencapaian perusahaan Arung. Dia melambungkan kehebatan Arung.
“Biasa aja,” Arung merendah. “Alasan yang bikin mereka mau bukan Wishlight Capital, tapi daya saing dan daya tawar Indonesia. Perekonomian Indonesia cukup bagus di tingkat dunia. Indonesia juga mendapat bonus demografi. Banyak industri yang maju pesat di Indonesia. Kondisi positif ini bakal semakin berkembang di masa depan,” jabarnya nyaring.
Saroh menyelami penjabaran Arung. “Bisnis Wishlight Capital bakal tambah besar dong?
“Semoga bisnis Wishlight Capital bertambah besar," harap Arung. "Begitu bisnis Wishlight Capital bertambah besar, aku segera mempersunting kamu,” dia mengalunkan janji sucinya.
Saroh menganga, antara percaya dan tidak percaya. Percaya karena Arung bukan pembohong. Tidak percaya sebab janji suci Arung tiba-tiba teralun.
Kendatipun terdengar syahdu, janji suci Arung belum terbukti. Sementara Saroh memerlukan ketetapan niat Arung. Saroh lantas meminta kebulatan janji suci Arung.
“Kamu berdoa aja, biar bisnis Wishlight Capital bertambah besar,” suruh Arung serius.
Mata sayu Saroh agak bersinar. Letupan kegembiraan menggemuruh di jiwanya. Diucapkannya sebuah kalimat dengan nada bergetar, “Tanpa kamu perintah … pasti aku doa’in ….”
Tatapan Arung melekat pada roman Saroh. “Aku yakin, doa kamu mendayung perahu cinta kita, sekalipun ombak menggoyahkan kaki kita. Aku juga yakin, doa kamu membuang semua bimbang dan gundah.” Ia mengambil kedua tangan Saroh, lalu menggenggamnya. “Kita harus jauhi segala kenaifan. Jangan ciptakan khilaf. Jujur hati yang kita jaga. Demi keutuhan cinta kita.”
Ketegangan menyetrum Saroh. Terpaksa ia mengumpulkan jeda untuk pengaturan napas. Debar jantungnya perlahan menyurut.
“Aku bakal melindungi keutuhan cinta kita. Aku nggak rela cinta kita rapuh. Karena cinta kita adalah karunia terindah dalam hidup aku,” tutur Saroh dalam-dalam.
Genggaman Arung pada telapak tangan Saroh kian erat. “Cinta kita punya tujuan akhir yang sama. Langkah kita harus terayun ke sana.” Ciuman halusnya mendarat pada kening Saroh.
Indera penglihatan Saroh berkaca-kaca. “Tujuan akhir itu—deket dari—tempat kita sekarang,” ujarnya terbata.
Arung mengecup mesra punggung tangan Saroh. “Sangat dekat,” balasnya.
Betapa senangnya Saroh hingga mulutnya kehilangan kata-kata. Ia larut luruh dalam suka cita yang merengkuhnya. Jatuh bersama tetes air mata haru. Merembesi sanubarinya. Menghangatkan aliran darahnya.
Saroh tertumbuk pada angan-angannya. Saroh berkhayal, ia dan Arung merangkai kasih setiap detak. Melagukan kerinduan hari demi hari. Melestarikan keintiman tiada henti. Mereguk kebahagiaan sepanjang waktu. Menghuni nirwana cinta selamanya. Dan berbagai khayalan lain yang mengencangkan arus perasaannya, yang seolah-olah menjebol dadanya.
Kini, Saroh sungguh-sungguh percaya. Arung ialah pangeran yang mencurahi jamahan untuknya pada fase esok. Yang melimpahinya rentetan pelukan pada masa nanti. Yang mendampingi hidupnya kelak.
*****
Glosarium:
- Rooftop adalah area datar yang ada pada bagian paling atas suatu bangunan.
- Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang mengontrol suatu negara atau organisasi.
- Perusahaan private equity adalah perusahaan yang menjalankan model bisnis berupa pembelian saham perusahaan lain yang berharga murah. Perusahaan tersebut kemudian memperbaiki kinerja perusahaan yang dibelinya hingga harga sahamnya meningkat. Setelah itu, saham perusahaan yang dibelinya dijual kepada pihak lain.
- Bonus demografi adalah keadaan yang berupa jumlah penduduk usia produktif lebih banyak daripada jumlah penduduk usia tidak produktif.
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya. “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius. Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.” Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru. “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan. “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan. Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan. “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh. Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.” Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?” Saroh mengiakan sebuah kata tersebut. “Tuntu
Ujung waktu menjemput Rapat Intern Komisi VI DPR. Pinto berpacu ke tempat awal. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjanya. Alat tulis kantor tertata indah di atas meja kerja milik DPR. Tumpukan kertas tersusun rapi di dalam lemari yang dimiliki DPR. Komputer yang disediakan DPR sudah dalam keadaan mati. Agenda Pinto berikutnya adalah pertemuan dengan Wahid dan Bisma. Lokasi pertemuan dekat dari ruang kerja Pinto. "Selamat sore, Mas Pinto,” sapa Wahid kepada Pinto yang baru datang di ruang kerjanya. Dia memandangi baju batik yang menempel pada fisik Pinto. “Tumben, Mas Pinto pakai kemeja batik lengan panjang pada hari Senin. Biasanya, Mas Pinto pakai kemeja biasa lengan panjang.” "Ini bukan sembarang batik. Ini batik spesial. Saya beli ini di Dapil saya waktu menjalani masa reses," Pinto menerangkan. "Hai Mas Pinto! Apa kabar?" panggil Bisma disertai senyuman. Pandangan Pinto membelok ke paras campuran Bisma. "Kabar saya baik." Bisma m
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Malam menggelap pekat. Pinto mempercepat langkah kakinya. Buru-buru keluar dari Gedung DPR RI. Bergegas meluncur ke kediaman pribadi orang tuanya. Ia ingin menemui Woro Supriyanto dan Yeni Supriyanto. Memanfaatkan waktu senggang keduanya. Yang jarang tersedia untuk Pinto. Sesudah bersusah-payah menerobos kemacetan, mobil dinas Pinto akhirnya mencapai halaman kediaman pribadi Woro Supriyanto. Pinto masuk ke dalam rumah. Langsung menghampiri lantai dua. "Udah pulang?" sapa Yeni Supriyanto ketika Pinto baru menginjakkan kaki di ruang keluarga. "Udah," balas Pinto. Pinto berjalan ke arah sofa panjang berwarna merah. Duduk di samping Yeni Supriyanto. Di hadapan mereka, berdiri sofa panjang berwarna putih yang ditempati Woro Supriyanto. Pandangan Pinto bertaut pada Woro Supriyanto. “Serius sekali Bapak bacanya ...," ia mencandai Woro Supriyanto. Bibir Woro Supriyanto melukiskan senyum tipis. “Bapak sedang baca jurnal penelitian. Isinya menarik ,” timpalnya sera
Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner. Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto. Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya. “Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat. Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya. “Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya. “Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya. Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinantya, m