Ibu dan Leah yang masih menguping di balik gorden tampak syok. Dilihatnya sekali lagi Nero yang menatap ayahnya dengan wajah serius, sorot matanya tidak mengatakan kalau dia sedang main-main.
“Leah, kau yakin tidak mengenalnya?” bisik ibu yang juga tampak tercengang dengan apa yang dia dengar. Mereka tidak salah dengar kan. Leah menatap Nero lekat, meski dari kejauhan dia yakin jika dia tidak mengenal Nero. Sekali lagi dia berusaha mengingat tetapi berkali-kali juga dia yakin bahwa tidak ada sosok Nero dalam memori ingatannya.
“Aku berani bersumpah, Bu! Aku tidak mengenalnya.” Leah menjawab pertanyaan ibu tapi sepertinya terlalu keras. Terbukti saat Nero menatap lurus gorden tempat mereka bersembunyi. Pandangan mereka bertemu, terlihat Nero tersenyum ramah. Entah itu hanya akting atau Nero yang sesungguhnya, tidak ada yang tahu.
“Leah, kemarilah, Nak.” Ayah memanggil karena merasa persembunyian Leah telah diketahui Nero.
Leah berjalan menghampiri sang ayah, dikuti ibu yang berjalan di belakang anaknya. Ibu terlihat tersenyum ramah pada Nero, seperti memberi sinyal bahwa dia setuju dengan pria itu.
“Maaf, siapa namamu?” tanya Ayah Leah. Sungguh, dia melupakan poin utama yang harus dia tanyakan. Sebuah nama adalah hal yang sangat penting.
”Nero Aditama,” jawab pria itu mantap.
“Apa yang membuatmu ingin menikahi putriku?” Ayah bertanya seperti seorang yang sedang menginterogasi.
“Tidak ada alasan khusus, saya hanya ingin membahagiakan Leah,” jawab Nero. Tidak mungkin dia memberitahu alasan sesungguhnya pada orangtua Leah kan.
Sederet pertanyaan sampai ke akar-akar ditanyakan oleh ayah dan ibu Leah, dan pertanyaan apapun itu bisa dijawab dengan baik oleh Nero. Sejauh ini tidak ada cela dalam diri Nero bagi mereka. Nero adalah sosok yang sempurna untuk mendampingi putri mereka.
Leah sejak tadi hanya diam dan melongo, apalagi saat ibunya berkata kalau Leah adalah anak semata wayang di rumah dan itu membuatnya tumbuh menjadi gadis manja dan tidak bisa apa-apa. Meskipun Nero berkata tidak masalah akan hal itu tapi tetap saja Leah tidak bisa menerima pernyataan itu yang bisa dibilang fitnah. Karena apa yang ibu katakan berbanding terbalik dengan Leah yang sebenarnya.
Sesekali Leah dan Nero saling pandang, namun keinginannya menolak justru berbeda dengan apa yang gadis itu rasakan. Dia merasa seperti terhipnotis oleh pesona Nero.
“Nero, kau bia datang lagi ke sini dalam dua hari. Kami akan memberikan jawabannya saat itu,” kata ayah.
“Ayah!” Leah setengah berteriak. Bagaimana mungkin dia harus memutuskan hal sebesar itu dalam dua hari.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi,” Nero beranjak dari kursi, bersamaan dengan Alton yang sejak tadi hanya menjadi penonton.
***
“Gila! Kalau aku tahu Leah secantik itu pasti sudah aku nikahi sejak dulu.” Alton yang hanya dia seperti patung tadi diam-diam memperhatikan Leah. Baginya Leah adalah gadis yang cantik, dengan rambut coklat pekat dan dengan warna mata senada.
“Nero, aku akui kepiawaianmu dalam menjawab semua pertanyaan mereka. Sumpah, aku sempat takut kau tidak bisa menjawabnya.” Alton lagi-lagi banyak bicara.
Nero hanya diam, tidak menanggapi sama sekali sahabatnya yang mengoceh tak karuan. Tidak bisa dipungkiri jika Nero saat ini sedang memikirkan Leah. Baginya, Leah berbeda dengan gadis-gadis yang pernah dia temui. Nero penasaran pada Leah yang seolah enggan menatapnya.
“Leah, kau harus menjadi istriku,” batin Nero.
Suara telepon membuyarkan lamunan Nero. Dilihatnya nama penelepon. Leon, adik tirinya.
“Halo, kenapa?”
“Kakak di mana?” Suara Leon terdengar manja, seperti biasanya. Meskipun Nero tidak memiliki hubungan yang baik dengan ibu tirinya tetapi hal itu tidak berlaku untuk adik tirinya. Nero menganggapnya seperti adiknya sendiri.
“Dalam perjalanan pulang, ada apa?” tanya Nero.
“Aku di depan rumah kakak. Tapi aku tidak diperbolehkan masuk oleh penjaga.”
“Tunggulah, sebentar lagi aku sampai ke rumah.”
Alton yang sedang mengemudi hanya bisa menggelengkan kepala.
“Apa yang kau lihat?” tanya Nero ketus. Wajah ramah yang dia tunjukkan di rumah Leah tadi hilang seketika.
“Kau harusnya menelepon penjaga, bukan malah membiarkan dia menunggu di luar.”
“Aku harus memastikan siapa pun yang masuk dalam keadaan bersih,” ucap Nero.
“Memangnya adikmu bocah yang masih suka main kotor?” Alton tidak habis pikir, sepertinya OCD yang diderita Nero semakin parah. Terakhir Nero memerintahkan semua pelayan rumah untuk membersihkan kolam renang dan mengganti airnya setiap hari. Padahal Nero sendiri jarang sekali memakai kolam renang itu.
Tak sampai dua puluh menit mereka tiba di rumah Nero. Sebuah rumah dengan penjagaan yang sangat ketat. Setiap orang yang masuk harus mematuhi protokol kebersihan, seperti mencuci tangan. Kata Nero, tangan adalah sumber kuman dan penyakit. Sebuah alat cuci tangan otomatis berdiri kokoh di dekat pos penjaga dan semua orang harus mematuhi hal itu. Semua pelayan yang bertugas juga wajib menggunakan sarung tangan, tanpa terkecuali.
Seorang pria muda berdiri di depan gerbang sambil bermain ponsel. Leon Aditama, adik tiri Nero. Leon adalah salah satu mahasiswa di salah satu universitas terkenal.
Penjaga terlihat membuka gerbang saat melihat mobil Nero datang. Saking patuhnya mereka pada Nero, mereka sampai hati untuk tidak membuka pintu gerbang untuk Leon padahal mereka tahu jika Leon adalah adik dari tuannya.
“Selamat siang, Tuan Nero.” Seorang pria yang bertugas sebagai kepala pelayan memberi salam.
“Rumah sudah dibersihkan sampai ke sudut ruangan, saya sudah memastikannya sendiri. Kolam sudah dikuras dan diganti airnya.” Kepala pelayan itu melaporkan kegiatan di rumah selama Nero keluar tadi.
Leon yang berdiri di dekat sana tampak melongo, berbeda dengan Alton yang sudah kebal dengan laporan harian kepala pelayan yang selalu menunjukkan wajah tanpa ekspresi.
“Kakak meminta kolam dikuras dan diganti airnya setiap hari?” bisik Leon pada Alton.
Alton menggangguk sambil menatap Nero. “Kau tahu? Rasanya aku ingin menghancurkan kolam renang itu.”
“Kau sudah cuci tangan?” tanya Nero pada adiknya.
Leon mengangguk mantap, dia menunjukkan tangannya yang sudah bersih.
“Mandi dan ganti baju sana,” perintah Nero. Dia tahu persis jika adiknya datang dengan angkutan umum atau naik ojek online dan pasti banyak terkena debu selama di perjalanan.
Sang adik pasrah, seharusnya dia tidak perlu mandi sebelum ke sini tadi. Dia melihat tangannya yang masih sedikit basah. “Untuk apa aku cuci tangan jika pada akhirnya harus mandi,” batinnya kesal tapi tetap diturutinya perintah dari kakaknya.
***
Leah menatap ayah dan ibunya secara bergantian, dia memang tidak mengenal Nero tapi saat dia melihat ketulusan Nero tadi entah kenapa ada gelenyar aneh yang dia rasakan.
“Untuk apa berpacaran lama-lama jika pada akhirnya hanya menjaga jodoh orang. Ayah sejak dulu tidak suka kau pacaran, untuk itu ayah selalu memberi batasan kepada siapa itu kemarin nama mantan tunanganmu.” Ayah berusaha mengingat nama Kevin mantan kekasih Leah.
“Ayah mengakui keberanian Nero. Lebih baik berpacaran setelah menikah,” sambung ayah.
“Dan untuk ibu, berhentilah menatap kagum pria lain. Ayah bisa cemburu.” Ayah menatap tajam ke arah ibu.
“Tapi memang tampan loh, perpaduan antara tampan dan manis menjadi satu. Ibu bisa diabetes hanya dengan menatapnya. Bukan begitu Leah?”
“Tapi ....” Leah masih berusaha menyangkal kalau dia tertarik pada Nero. Pria itu memang tampan dilihat dari sudut mana pun.
“Nak, meskipun kau tidak mengatakan apapun, kami tahu apa yang kau rasakan setahun terakhir ini. Mungkin ini alasan kenapa pernikahanmu batal kemarin.” Ibu tersenyum, sorot matanya yang teduh membuat Leah terbawa suasana.
“Baiklah, aku akan menikah dengannya,” ucap Leah sambil menatap kedua orangtuanya. Meski masih banyak pertanyaan, tetapi gadis itu mencoba percaya dengan keyakinan hatinya.
"Ken.""Ya, Tuan?""Isi ruang kerja dengan buku baru." Nero menatap sekretarisnya."Buku? Buku seperti apa yang anda inginkan, Tuan?" tanya Ken."Isi dengan novel yang pernah kau bawa waktu itu.""Novel? Apa anda yakin?" tanya Ken bingung."Hmm." "Baik, Tuan. Saya akan segera menyiapkannya." Ken berlalu meninggalkan Nero dengan raut wajah penuh tanya.***Vero berjalan melintasi beberapa ruangan, dia menuju ruang private yang sudah disiapkan seseorang yang menghubunginya.Tepat di depan ruangan yang dimaksud, dua orang berbadan besar berdiri."Saya Veronika," ucap wanita itu.Salah satu dari pria itu membukakan pintu. Vero melihat seseorang tengah duduk membelakanginya."Duduklah," ucap pria itu dengan nada serius.Seketika Vero duduk di depan pria itu, dilihatnya pria itu ternyata masih muda. Pria yang terlihat gagah dengan setelan jasnya."Sebelumnya perkenalkan, nama saya Kevin. Ah, tidak perlu dikenalkan, ya. Kau sudah tahu siapa aku," ucap pria itu sambil menyeruput teh hijaunya
Nero terbangun, kaget saat mendapati kaki Leah menjadi bantalan tidurnya. Dilihatnya Leah yang masih tertidur meski dalam posisi duduk."Apa aku sudah gila sehingga aku tertidur dipangkuan seorang gadis," batin Nero."Kamu sudah bangun?" Leah meregangkan seluruh ototnya, lehernya sedekit sakit karena posisi tidur yang tidak benar."Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa tidur di pangkuanmu?" tanya Nero penasaran, raut wajahnya terlihat malu."Kamu tidak ingat? Semalam kamu bermimpi buruk, aku sudah mencoba membangunkanmu namun tidak bisa. Setelah itu kamu tertidur di sini." Leah menepuk kakinya yang dijadikan bantalan oleh Nero.Nero menggeleng, dia tidak ingat apapun."Aku mau mandi," ucap Leah. Namun kaki Leah mati rasa, dia terjatuh saat akan berdiri."Kaki ku kram," ucap Leah.Nero mengampiri Leah, menggendongnya lalu merebahkan tubuh gadis itu di kasur."Hari ini kau tidak usah bekerja. Besok saja.""Kenapa?" tany
Sesuai janji Leon, dia menemani Leah berkeliling rumah. Rumah yang ternyata memiliki satu rumah lagi di bagian belakang, khusus untuk para pelayan. Tampak pelayan yang tanpa sengaja berpapasan dengan mereka terlihat menundukkan kepala hormat. Leah merasa canggung meski dia tahu jika dia adalah nyonya rumah ini. Setelah selesai Leah dan Leon duduk di kursi yang berada dekat kolam setelah berkeliling rumah, hari ini bintang-bintang tidak diselimuti awan membuat pemandangan langit dari sana sungguh sangat indah."Kak, bolehkah aku bertanya?" tanya Leon membuka perbicaraan."Boleh." Leah kini menatap Leon."Apakah kakak mencintai kakakku? Aku tahu kakak terpaksa kan menikah dengan Kak Nero? Aku tidak tahu apa alasan di balik kakak menyetujui pernikahan ini. Tapi, aku tahu kakak orang baik. Kakak tidak akan menyakitinya kan?" ucap Leon."Kenapa kamu bertanya seperti itu? Tentu saja aku tidak akan meninggalkannya, aku akan jadi istri yang baik seperti ibu
Leon menatap kakaknya dengan mata memicing, banyak sekali pertanyaan yang harus dia tanyakan. Dia melihat kakaknya yang sedang duduk di kursi malah sedang santai makan aneka buah-buahan."Katakan, Kak!" Leon bersuara dengan nada yang lumayan tinggi.Nero menatap adiknya sekilas, lalu kembali fokus pada buah kiwi yang segar dan dingin."Kakak." Kali ini suara Leon merengek."Kau ini kenapa?" Nero tampak acuh menjawab adiknya."Kenapa kakak ipar memakai baju yang kakak ambil di rak?""Kenapa? Apa ada yang salah dengan itu?""Tidak, tidak ada," ucap Leon. Kakaknya adalah suami Leah, tentu saja bisa melakukan apapun. Pantas saja Leon dilarang masuk ke kamar, ternyata benar jika kakak iparnya tidak memakai baju. Seketika wajah Leon memerah lalu dia menatap kakaknya lagi yang wajahnya masih terlihat tenang."Bagaimana rasanya, Kak?" tanya Leon yang kini duduk mensejajari kakaknya."Apa?" Yang ditanya malah balik bertanya
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Nero keluar dari dalam kamar. Sebelum keluar, sekali lagi dia menoleh ke belakang, memastikan Leah tidak mengikutinya.Nero menatap Ken seolah memberi isyarat jika keadaan sudah aman dan mereka bisa meletakkan barang-barang itu ke dalam kamar.“Satukan saja dengan pakaianku,” perintah Nero yang ditanggapi dengan tatapan bingung Ken. Namun, pria bertubuh tinggi itu menganggukkan kepalanya, menuruti apapun yang tuannya inginkan.Hanya seorang karyawan laki-laki yang berstatus sebagai menager di galeri tersebut dan Ken beserta kepala pelayan yang masuk untuk menyusun semua barang-barang yang akan menjadi milik nyonya rumah. Leon yang mencoba untuk ikut masuk ditahan oleh Nero di depan pintu.“Mau apa kau masuk?” Nero menatap sinis adiknya.“Aku mau bertemu kakak ipar,” kata Leon, pria itu melirik ke arah kamar yang pintunya terbuka.“Aku akan memanggilnya na
"Kakak ipar?" Nero duduk di sofa, memandang adiknya dengan tatapan menyelidik."Iya, dia kan istrinya kakak tentu saja harus aku panggil kakak ipar. Bukankah begitu?" Leon ikut duduk di sofa mensejajari kakaknya."Aku sudah cuci tangan." Leon seolah mengerti arti tatapan kakaknya."Di mana kakak ipar?" tanya Leon."Di kamar." Nero menjawab singkat."Kenapa di kamar?" Kini tatapan Leon yang menyelidik, dia tersenyum seolah mengerti apa yang telah terjadi dan apa yang membuat kakak iparnya berada di dalam kamar."Jadi bagaimana?" Leon mendekati kakaknya, meminta review atas malam pertama semalam."Apa?" Nero manatap sinis."Itu," jawab Leon."Itu apa? Bicara yang benar." Nero berkata ketus."Malam pertamanya lah, Kak." Leon menyerah, dia baru sadar jika kakaknya adalah manusia paling kaku di dunia."Ya, begitulah." Nero tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi, karena memang tidak ada yang terjadi diantara me