Share

Suami Terbaikku
Suami Terbaikku
Penulis: Shifa Asya

1. Sah!

Penulis: Shifa Asya
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-17 14:15:43

Sonya kesal saat mengetahui Shafa akan menikah minggu depan. Sonya marah sebab Shafa tidak memberitahunya dari jauh-jauh hari. Karena ingin membicarakan masalah tersebut, Sonya mengajak Shafa untuk mengobrol di kafe.

Tidak menunggu lama, Shafa datang dan langsung bertemu dengan Sonya yang duduk di tempat paling belakang. Sonya seperti mengabaikan temannya itu.

"Sonya, jangan marah, dong." Shafa memegang tangan Sonya, namun sahabatnya itu menolak. "Kamu belum dengar alasan kenapa aku mendadak kasih kabar itu 'kan?"

"Kalau gitu, jelasin aja sekarang. Aku dengerin, kok," jawab Sonya yang menyibukkan diri dengan ponselnya.

"Aku dijodohin."

"Apa?! Kamu dijodohin?!" Mata Sonya membulat.

"Iya, aku dijodohin sama anak kenalan ibu aku dua hari lalu. Besok, aku mau lamaran yang cuma ngundang keluarga dan kerabat dari pihak aku dan calon aku." Sonya terlihat sangat terkejut dengan apa yang penjelasan Shafa.

"Secepat itu? Kenapa kamu enggak nolak, Shaf? Kamu suka sama dia?"

"Aku enggak bisa nolak. Kamu inget? Aku pernah bilang, kalau aku mau nikah di usia muda. Umur aku sekarang udah 24 tahun, udah pantas untuk nikah, 'kan? Usia calon aku cuma 3 tahun lebih tua dari aku. Dia juga cowo pilihan ibu aku. Jadi, aku percaya sama keputusan ini."

"Oh, gitu?

"Kamu dukung keputusan aku, 'kan?"

"Kalau kamu udah yakin, aku pasti dukung kamu."

"Beneran? Terima kasih, Sonya!" Shafa memeluk Sonya penuh kebahagiaan. Awalnya, dia sangat takut kalau Sonya tidak mau memaafkannya.

"Siapa cowo itu? Aku juga harus kenal sama calon suami sahabat aku, 'kan?"

"Namanya Alby Andris Bachtiar. Dia guru SMA di Malang. Lumayan ganteng, sih," ucap Shafa sembari tertawa kecil.

"Siapa namanya?"

"Alby Andris Bachtiar kalau enggak salah," ulang Shafa.

Sonya kembali terlihat kaget. "Kamu baru kenal sama dia?"

"Iya, aku baru kenal beberapa hari lalu."

"Shaf, tiba-tiba aku punya firasat buruk tentang cowo itu. Aku takut, kamu kenapa-kenapa setelah nikah sama dia. Mending, kamu batalin aja pernikahannya."

"Batalin? Mana bisa, Sonya? Besok dia mau lamar aku dan minggu depan kita nikah. Semua udah direncanain sama keluarga kita. Mana bisa aku tiba-tiba batalin pernikahannya?"

"Jadi, kamu tetap mau nikah sama dia disaat aku enggak setuju?! Aku ini sahabat kamu dari kecil! Aku punya firasat yang kuat tentang kamu, Shafa."

"Bukannya tadi kamu udah dukung aku buat nikah sama dia?"

"Tapi, firasat aku tiba-tiba enggak enak. Mending, kamu batalin aja, ya? Lagi pula, kalian belum lamaran, 'kan?"

"Enggak bisa, Sonya. Aku tetap akan nikah sama dia. Doain aja, semoga firasat kamu salah."

"Ini demi kebaikan kamu, Shaf."

"Maaf, Sonya. Aku tetap enggak bisa. Ini menyangkut nama baik keluarga aku."

"Terserah kamu aja!" Sonya bangun dari duduknya.

***

Shafa tidak bisa menghubungi Sonya sampai tiba acara lamaran. Disatu sisi, Shafa merasa senang karena lamarannya berjalan lancar dan tinggal menunggu hari pernikahan. Disisi lain, dia merasa sedih karena Sonya benar-benar marah padanya. Tapi, Shafa juga tidak bisa membatalkan acara pernikahannya.

"Shafa, ayo makan dulu. Nanti kamu sakit, loh? Banyak hal yang harus kamu selesain untuk pernikahan nanti," ucap Fatma sembari mengelus tangan putri bungsunya.

"Iya, Bu, nanti aku makan, kok."

"Hari ini kamu mau pergi, 'kan, sama Alby?"

"Iya, nanti sore dia jemput."

"Pokoknya, kamu enggak usah mikirin Sonya. Ini hidup kamu dan kamu yang menentukan. Ibu akan berdoa supaya rumah tangga yang kamu bina bersama Alby, langgeng dan bahagia. Sahabat yang baik adalah dia yang ikut bahagia melihat sahabatnya bahagia. Kalau emang dia punya firasat buruk, seharusnya dia berdoa supaya kamu baik-baik aja. Bukannya malah nyuruh kamu buat batalin pernikahan." Fatma sebenarnya kesal dengan sikap Sonya yang membuat anaknya ragu untuk menikah.

Tiba-tiba, Galih datang memanggil adik satu-satunya itu. "Shaf, ada Alby, tuh. Dia nunggu di ruang tamu."

"Loh, kata kamu perginya sore?" tanya Fatma pada Shafa.

Setelah merapikan rambutnya, Shafa langsung turun menyusul ibunya yang sudah lebih dulu menyapa Alby. Wajah calon suaminya itu terlihat cerah dan tampan. Senyumnya manis dan menyejukkan. Sepertinya, akan banyak orang yang bilang 'Shafa, kamu beruntung, deh, bisa jadi istrinya Alby' setelah mereka menikah nanti.

"Mas Alby? Kamu bilang, perginya nanti sore?" Shafa duduk di samping Fatma.

"Siang ini aku ada waktu luang. Jadi, kita pergi sekarang aja, gimana?"

"Yaudah, aku siap-siap dulu, ya?" Dengan cepat, Shafa kembali menuju kamarnya.

"Al, Shafa belum makan dari kemarin. Nanti, kamu suruh dia makan, ya?" Suara Fatma terdengar sangat lembut dan penuh kasih sayang.

"Iya, Bu. Gimana keadaan Ibu?"

"Ibu baik-baik aja. Tolong jaga Shafa, ya, Al? Ibu kasih kepercayaan sama kamu untuk jaga dia."

"Iya, aku akan jaga Shafa demi Ibu."

"Ayo, kita berangkat?" Shafa kembali dengan pakaian sederhana, namun membuatnya terlihat sangat cantik. Karena Alby terus melihatnya, Shafa merasa malu.

"Ada apa?"

"Kamu cantik banget."

***

Shafa dan Alby datang ke sebuah butik tempat mereka memesan baju pengantin. Baru 3 hari, gaun yang akan Shafa pakai hampir selesai. Lagi-lagi, Alby terpanah melihat betapa cantik calon istrinya itu saat mencoba gaun pengantin.

"Cantik, Shaf."

"Gaunnya atau akunya?" tanya Shafa dengan sedikit candaan.

"Kamu, dong. Gaunnya bikin kamu tambah cantik. Bener, 'kan, Mbak?" tanya Alby pada perancangan gaun tersebut yang berdiri di samping Shafa.

Setelah selesai mencobanya, Alby mengajak Shafa untuk jalan-jalan dan mampir ke sebuah restoran pinggir pantai. Lokasinya lumayan jauh dari rumah mereka. Alby sengaja, agar mereka lebih dekat dan tidak canggung lagi.

Tanpa ragu, Alby terus menggandeng Shafa sambil berjalan di atas pasir putih. Rambut Shafa yang terurai, tertiup angin sampai menutupi wajahnya.

"Kamu pernah ke sini?"

"Pernah, pas Kak Galih ulang tahun."

Kaki Alby yang panjang, membuat Shafa sulit menyesuaikan langkahnya. Alhasil, dia terjatuh karena berjalan terburu-buru. Alby malah tertawa sambil menolongnya untuk bangun.

"Jalannya yang bener, dong."

"Kamu jalannya cepet banget!" omel Shafa.

"Aku jalannya biasa, kok. Kamu aja yang langkahnya kecil." Alby tertawa dan Shafa cemberut dengan manisnya. "Udah, jangan cemberut gitu."

Karena gemas melihat tingkah calon istrinya, Alby langsung menggendong Shafa lalu berlari pelan. Walau tubuh Shafa kecil, Alby tetap kesulitan menggendongnya. Hal itu membuat mereka tertawa dan akhirnya terjatuh bersama di atas putihnya pasir pantai.

"Kamu beneran nerima perjodohan ini?" tanya Alby sambil melihat wajah Shafa dari samping.

"Kenapa tiba-tiba kamu kayak ragu gitu?"

"Aku cuma mau memastikan aja. Shaf, aku janji akan berusaha untuk mencintai dan menerima kamu sebagai istri aku nantinya."

"Aku juga janji akan jadi istri yang baik buat kamu, Mas."

***

Beberapa hari sebelum pernikahan, Alby memberitahu Shafa mengenai tempat tinggal mereka nanti. Sejak kuliah sampai bekerja, Alby tinggal di Malang dan jauh dari keluarganya. Jadi, Shafa harus ikut Alby untuk tinggal di sana.

Acara pernikahan dimulai. Jas abu-abu yang melekat ditubuh kekarnya, membuat Alby terlihat lebih keren. Peci yang menutupi rambutnya, membuatnya terlihat jauh lebih tampan.

Alby dan kedua orang tuanya berjalan menuju meja yang dimana sudah duduk beberapa saksi, penghulu, dan ayah Shafa sebagai wali nikahnya. Alby menjabat tangan calon mertuanya dengan kuat.

"Ananda Alby Andris Bachtiar bin Fahri Bachtiar. Saya nikahkan dan kawinkan, anak kandung saya Shafa Akdzaa Zahirrah binti Yunus Darmawan pada engkau, dengan maskawin berupa logam mulia 30 gram, uang 50 juta 578 ribu rupiah, dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Yunus dengan penuh keyakinan.

"Saya terima nikah dan kawinnya Shafa Akdzaa Zahirrah binti Yunus Darmawan, dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" balas Alby dengan tegas dan lantang dalam satu tarikan napas.

"Sah! Alhamdulillaah."

Kembali berdoa dengan khidmat. Shafa yang menunggu di ruangan lain bersama keluarganya menangis terharu menyaksikan ijab kabul itu. Alby datang menjemput Shafa dan mereka berjalan menuju bangku pengantin di atas panggung, diiringi penari yang gemulai.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Terbaikku   45. Tamat?

    Shafa merasa kalau dia penyebab semua kekacauan itu. Kekacauan di hidupnya dan di hidup orang-orang terdekatnya. Karena menikah dengannya, Alby jadi banyak menderita. Lalu karena mengenalnya, Rendi jadi harus merasakan jatuh cinta yang tak berbalas.Di halaman belakang rumah, Shafa duduk termenung sampai lupa waktu. Bahkan Mbok Dewi yang menjemput Bizar di sekolah. Sudah 2 hari Shafa banyak melamun dan tidak pergi bekerja."Mbak Shafa?"Lamunannya tersadarkan dan Shafa menengok. "Ada apa, Mbok?""Tadi Bizar di jemput kakeknya. Dia merengek minta ikut kakeknya untuk ketemu Mas Alby. Enggak apa-apa, toh?""Enggak apa-apa, Mbok.""Ada masalah apa, toh, Mbak? Beberapa hari ini melamun terus?""Kalau Mbok di posisi aku, siapa yang bakal Mbok pilih? Mas Alby atau Rendi?""Loh, itu soal perasaan masing-masing, Mbak. Mbok enggak punya alasan untuk kasih jawaban ke Mbak.""Mereka tulus cinta sama aku, Mbok. Tapi aku enggak bisa balas ketulusan itu.""Mbak pernah bersama Mas Alby. Harusnya Mbak

  • Suami Terbaikku   44. Jawaban Shafa Untuk Rendi

    Walau tidak sejauh Indonesia-Australia, Shafa tetap merasakan dirinya jauh dari Alby. Di luar ruangan dengan kaca besar sebagai pembatas, Shafa terus menatap Alby sambil menangis sesenggukan. Satu persatu kenangan kebersamaan mereka saat dulu berputar bergantian. Sampai Bizar datang dan menghentikan putaran memori itu."Bunda!"Bersama Rendi, Bizar datang dengan masih mengenakan seragam sekolah dan ransel berkarakter Superman kesukaannya. Seperti tau apa yang bundanya rasakan, Bizar memeluk Shafa dengan sangat erat."Ayah kenapa, Bunda? Ayah sakit, ya?" tanya Bizar yang juga ikut menangis."Iya, ayah sakit. Tapi Bizar enggak usah khawatir. Pasti sebentar lagi ayah sembuh, kok."Anak lelaki dengan tubuh yang masih sangat kecil itu berusaha memeluk Shafa agar sepenuhnya masuk dalam pelukannya. "Aku sedih banget. Pasti Bunda lebih sedih, 'kan? Selama ini aja Bunda selalu nangis padahal enggak tau keadaan ayah. Apalagi sekarang saat bunda liat ayah sakit?" Bizar memeluknya lagi sambil mene

  • Suami Terbaikku   43. Ungkapan Alby

    Hari yang sangat melelahkan untuk Alby lewati. Tapi juga membahagiakan karena mungkin itu keinginan terakhir yang telah terpenuhi. Dia hanya ingin memiliki anak dari Shafa, walau dengan status yang sudah berbeda.Sepertinya Shafa sadar kalau Alby terlihat jauh lebih kurus dari terakhir bertemu 5 tahun lalu. Bahkan, otot yang dulu selalu menjadi bantalan sudah tidak nampak lagi. Iya, itu semua karena penyakit yang dia alami sejak 3 tahun lalu. Kalau dipikir, itu lebih baik daripada dia meninggal Shafa dan anaknya disaat keluarga mereka utuh dan penuh kebahagiaan. Kepergiannya akan sangat menyakitkan untuk berikan, 'kan?"Iya, Pa. Aku di Yogya dari 2 hari lalu. Maaf aku enggak kasih tau Papa dulu." Sembari tiduran, Alby sengaja menelpon Fahri yang sudah beberapa kali menghubunginya."Kamu sendirian? Ngapain kamu ke sana?""Iya, aku pergi ke sini sendirian. Aku kangen sama Shafa, makannya aku ke Indonesia.""Tapi kamu lagi sakit, Al. Papa takut kamu kenapa-napa di sana. Kamu ngerti perasa

  • Suami Terbaikku   42. Pesan Alby?

    "Albizar, bangun, yuk? Katanya mau jalan-jalan sama ayah?"Sebenarnya bukan hanya kali itu, tapi setiap harinya Bizar selalu mudah jika dibangunkan. Bahkan, dia selalu bangun saat mendengar bundanya menangis di malam hari."Emangnya ayah udah dateng, Bun?""Nanti ayah jemput di kafe. Sekarang, Bizar siap-siap dulu. Mandi, terus sarapan, oke?"Mandi pun, Bizar sudah bisa melakukannya sendiri, tapi masih tetap dipantau sang bunda. Untuk makan, sudah sejak usia 3 tahun Bizar mulai makan tanpa di suapi. Shafa tidak heran kalau Bizar tergolong anak yang cerdas sejak kecil, karena itu pasti turunan dari ayahnya."Ayo, Bunda! Pasti ayah udah dateng."Shafa masih sibuk menguncir rambutnya disaat anaknya sudah menunggu di luar rumah. "Tunggu, Sayang.""Cepet, Bunda.""Iya, sabar."Bizar duduk dengan resah, tidak sabar bertemu ayahnya. Bukan salah liat, Bizar langsung memanggil saat melihat Alby datang. "Ayah?!""Assalamualaikum?""Wa'alaikumsalam, Ayah! Bunda, ayah dateng!"Walau tidak bisa mem

  • Suami Terbaikku   41. Penyakit

    Acara telah selesai. Kafe sudah sepi, hanya menyisakan para karyawan yang merapikan sisa acara. Alby duduk diposisi paling ujung, dekat jendela yang memperlihatkan hujan di malam hari. Ditemani secangkir mocaccino coffee, Alby menunggu dengan sabar."Bunda, itu siapa? Dari tadi om itu liatin aku terus, sih?" tanya Bizar pada sang bunda."Ayo, ikut Bunda."Shafa menggendong Bizar dan mendekati Alby. Rasanya sangat canggung saat kembali bertemu setelah sekian lama. Kalau Alby, dia canggung pada sang anak yang baru kali pertama dia temui.Bizar melihat Alby sebentar, kemudian memeluk bundanya yang masih menggendongnya. "Bizar, dengerin bunda dulu coba." Tangan Shafa mengelus kepala anaknya seakan merapikan rambut. "Bizar mau ketemu ayah, kan?""Iya, mau.""Ini ayah Bizar. Om yang dari tadi liatin Bizar itu ayah. Ayahnya Bizar."Kepalanya yang kecil kembali menengok dan menatap Bizar dengan wajah polosnya. "Ayah?"Setelah mencoba memberanikan diri, Alby akhirnya benar-benar berani untuk me

  • Suami Terbaikku   40. Pertemuan

    5 tahun berlalu. Shafa mengurus anak laki-lakinya tanpa suami. Tapi tidak sendirian, ada Mbok Dewi yang masih setia menemaninya. Mbok Dewi memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai ART karena ingin kembali berjualan, ditemani dengan Shafa. Sudah 2 tahun mereka berjualan keliling menjajakan kue buatan sendiri. Sampai akhirnya, Shafa memiliki sebuah kafe, modal dari sang kakak.Keberadaannya di Yogya diketahui oleh Rendi setelah Shafa melahirkan. Tapi, Alby dan ayahnya–Fahri–sama sekali tidak terdengar kabarnya. Rindu. Iya, itu yang Shafa rasakan walau mereka sudah lama bercerai.Bizar tumbuh menjadi anak tampan dan pintar. Usianya sudah menginjak 5 tahun. Tentu dia banyak bertanya tentang ayahnya. Di mana ayah? Kapan aku ketemu ayah? Dan beberapa pertanyaan lain yang selalu diulang.Hari itu, Shafa sengaja memboking sendiri kafe miliknya untuk ulang tahun Bizar. Dia mengundang teman sekelas Bizar dan guru-gurunya juga."Ayo, silahkan masuk. Di pakai topinya, ya?" Shafa memberikan topi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status