“Oke. Aku beri kamu kesempatan. Tetapi, kalau nanti jerawat di wajahku malah bertambah parah gara-gara perbuatanmu, aku akan minta tambahan uang ganti rugi 200 juta untuk biaya aku berobat ke luar negeri. Aku tak peduli uang itu kamu dapat dari mana,” ucap Wandha. Matanya menatap Denzel tajam.
“Oke. Tak masalah,” balas Denzel cepat, menawarkan jabatan tangan kepada Wandha. Sempat terlihat ragu sejenak, Wandha akhirnya menyambut tawaran Denzel. “Habislah kamu kali ini... dasar lelaki bodoh...!” ucap Stefano tiba-tiba pada Denzel. “Diam kamu, Stefano! Kamu enggak ada sangkut pautnya dalam urusan keluargaku!” balas Denzel menanggapi umpatan rivalnya, seketika membuat lelaki itu merengut kesal. Vionka yang merasa shock dengan keputusan yang diambil Denzel, hanya bisa terduduk lemas, tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Hannah dan Stefano terlihat sangat bahagia dengan keputusan Denzel ini. Keduanya saling berpandangan sambil tersenyum lalu bersamaan memandang sinis ke arah Denzel. Wandha bersama Denzel kini menuju ke ruang kesehatan yang berada di kantor MCA Cosmetics, dipandu oleh salah staf atas izin Vionka. Vionka dan keluarganya pun ikut mengantar mereka. “Berbaringlah. Biarkan wajahmu rileks. Jangan ada otot-otot wajahmu yang tegang. Ini langkah awal penyembuhan wajahmu,” ucap Denzel layaknya seorang dokter. Denzel kemudian duduk di atas kursi untuk menulis sebuah resep obat yang dibutuhkannya di secarik kertas. Setelah selesai, dia mendekati Vionka yang sedang duduk di ruang tunggu. “Sayang, kamu jangan sedih begitu dong...” ucap Denzel melihat istrinya tampak murung. Vionka hanya merespons ucapan suaminya dengan anggukan kecil. “Sekarang aku butuh bantuanmu untuk mendapatkan bahan-bahan yang akan aku gunakan untuk membuat ramuan obat ini. Bisa tolong belikan di apotek?” pinta Denzel sambil menyerahkan kertas berisi resep obat di tangannya itu pada Vionka. Vionka mengamati item-item yang Denzel tulis di kertas itu. Hanya ada 4 bahan yang dibutuhkan Denzel untuk menyembuhkan jerawat pada wajah Wandha: alkohol, bedak bayi, lotion kulit, dan sejenis pil antibiotik yang sudah familier di pasaran--biasa digunakan sebagai pengering luka. “Hanya ini?” tanya Vionka sambil mengerutkan kening. “Iya, hanya itu yang aku butuhkan untuk membuat obat racikan penyembuh jerawat klienmu. Tolong segera belikan, ya, supaya masalah ini cepat beres,” jawab Denzel dengan yakin. Vionka justru terlihat semakin murung. “Mungkin Vionka berpikir obat yang aku butuhkan kurang meyakinkan,” batin Denzel sejurus setelah Vionka akhirnya pergi ke apotek ditemani Vania. Sekilas Denzel melihat, Hannah dan Stefano sedang membicarakan sesuatu dengan serius di sudut ruangan. Denzel kembali masuk ke ruang kesehatan. Tampak Wandha sudah berbaring di atas ranjang pasien dengan tubuh dibalut pakaian serbaputih dan plastik penutup kepala berwarna senada. “Aku akan membersihkan wajahmu dulu dengan air hangat,” ucap Denzel. Denzel mendekati Wanda, lalu berdiri tepat di bagian kepala gadis berkulit sawo matang itu. Tanpa sungkan ia mulai membersihkan wajah Wandha dengan kapas dan air hangat yang ditaruhnya pada mangkuk stenlis berukuran sedang, di atas meja di samping tempat tidur. “Apa background pendidikanmu?” tanya Wandha ketika Denzel sedang mengoles setiap bagian wajahnya dengan kapas yang direndam dahulu dalam air hangat. “Aku hanya lulusan sekolah menengah. Itu pun di sekolah SLB...” jawab Denzel jujur. “Lho, memangnya kamu kenapa? Aku lihat kamu sehat-sehat saja. Tidak ada yang salah dengan kamu. Meskipun ya… kamu kelihatan kayak orang biasa saja sih. Nggak istimewa.” “Aku pernah bisu selama 10 tahun. Baru saja hari ini aku bisa bicara,” jawab Denzel sambil tersenyum. “Kok aneh? Aku baru dengar ada orang bisu temporary,” tegas Wandha kembali merasa heran. “Aku tidak bohong. Memang kenyataannya seperti itu. Di dunia ini apa pun bisa terjadi,” tegas Denzel, coba meyakinkan Wandha. “Sudah ya, aku tinggal lagi sebentar. Aku akan mempersiapkan racikan obat yang akan aku gunakan untuk mengobati wajahmu,” ucap Denzel yang telah selesai membersihkan wajah Wandha. Wandha sendiri terlihat berbaring dengan nyaman. Hanya dalam waktu beberapa menit, Vionka sudah datang membawa obat-obat yang dipesan Denzel. Dia langsung memberikannya pada suaminya itu. Vania memandang Denzel sebelah mata. Menurutnya Denzel akan gagal menyembuhkan wajah Wandha hanya dengan obat-obatan ala kadarnya seperti itu. “Siap-siap saja, Vio. Sebentar lagi kamu akan melihat suamimu masuk penjara,” sindir Hannah pada Vionka saat Denzel berada di depannya. Denzel mengamati wajah istrinya yang semakin dikuasai kemurungan. “Sabar, Vio..., sebentar lagi keresahanmumu akan berakhir,” batin Denzel sambil mengerjapkan matanya pada Vionka untuk memberinya ketenangan. Di dalam ruang kesehatan, Denzel mulai meracik semua bahan dan obat yang diperlukannya, menjadi adonan seperti tepung untuk membuat roti. “Apa yang akan kamu lakukan dengan krim itu?” tanya Wandha melihat Denzel mendekatinya. “Aku akan mengoleskan krim mujarab hasil racikanku ini ke wajahmu,” jawab Denzel sambil tersenyum penuh semangat. “Perih, tidak? Awas ya kalau sampai wajahku terbakar!” ancam Wandha ketus. “Tenang saja, Nona. Krim ini sama sekali tidak akan terasa perih di wajahmu. Malah sebaliknya, akan terasa sejuk karena mengandung alkohol dan bedak bayi. Santai saja. Tidak akan terjadi apa-apa...” papar Denzel. Dengan perlahan dan hati-hati, Denzel mulai mengoleskan krim berwarna putih buatannya itu ke wajah Wandha. Dia yakin dia akan berhasil. “Tunggu lima belas menit, ya. Tunggu sampai krimnya mengering,” ucap Denzel setelah selesai melakukan tugasnya. “Kok wajahku mendadak terasa gatal sih? Kenapa ini?” protes Wandha. “Tenang saja. Itu hanya reaksi obat saat terkena bagian wajahmu yang luka. Tidak apa-apa. Tahan saja sebentar. Jangan digaruk tapi,” ucap Denzel santai. Tak sedikit pun dia terlihat cemas akan gagal. Lalu Denzel keluar ruangan untuk menemui istrinya. Tampak ibu mertuanya masih berbicara dengan Stefano, sedangkan Vania sendiri memilih menyendiri sambil bermain ponsel di tangannya. Beberapa staf MCA Cosmetic juga ikut menunggu dengan wajah tampak harap-harap cemas. “Bagaimana hasilnya, Denzel? Apa wanita itu sudah berhasil kamu obati?” tanya Hannah saat menghampiri menantunya yang baru keluar dari ruang kesehatan ini. “Belum, Ma. Masih menunggu krimnya mengering. Setelah lima belas menit baru ketahuan hasilnya,” jelas Denzel, lagi-lagi dengan santai dan tanpa ada sedikit pun rasa cemas yang tergambar di wajahnya. Berbeda dengan istrinya. Perempuan itu terlihat sangat tegang. “Kenapa tanganmu dingin sekali, Sayang?” tanya Denzel saat menggenggam telapak tangan istrinya. “Mengapa kamu masih saja menanyakannya sih? Kamu pikir aku tidak mengkhawatirkan apa yang akan terjadi padamu setelah ini?” tegas Vionka sambil menatap lekat ke wajah suaminya yang kini duduk di sampingnya. Senyum Denzel merekah sambil membalas tatapan Vionka. “Aku pernah belajar pengobatan kulit dari kakek yang pernah mengasuhku. Kamu tidak perlu khawatir. Tidak akan terjadi apa-apa kok dengan klienmu,” ucap Denzel sambil tersenyum. “Ya sudah. Semoga saja hasilnya baik,” balas Vionka akhirnya, pasrah. Senyum Denzel semakin mengembang. Dia tahu hasilnya sudah pasti baik. Kulit wajah klien istrinya itu akan kembali kinclong, bahkan lebih kinclong dari sebelumnya. Dia merasa sudah di ambang kemenangan. Tetapi tiba-tiba, perasaan berada di atas anginnya ini terusik oleh pertanyaan istrinya yang tiba-tiba. “Sekarang coba kamu ceritakan kejadian yang membuatmu hari ini tiba-tiba bisa bicara? Aku masih sulit percaya soal yang satu ini. Apa kamu mengkonsumsi sejenis obat yang tidak aku tahu?” Terkejut, Denzel begitu kikuk, tak tahu harus memulai dari mana. “Sebentar ya, Sayang... aku harus kembali ke dalam, melihat keadaan klienmu. Sepertinya sudah lima belas menit aku meninggalkannya...” ujar Denzel akhirnya, mencoba menghindar. Dia tahu Vionka masih ingin mengejarnya dengan pertanyaan itu, dan dia pun bergegas masuk ke dalam ruang kesehatan. “Sudah lima belas menit ya sepertinya,” ucap Denzel saat mendekati Wandha yang masih terbaring di tempatnya. “Iya. Terus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Wandha terdengar tak sabaran. “Sekarang silakan untuk cuci muka. Setelah itu barulah akan ketahuan hasil pengobatannya,” jawab Denzel dengan tenang. Denzel pun mengajak Wandha menuju ke kamar mandi yang berada di sudut ruangan, lalu membiarkan wanita bertubuh mungil itu masuk ke dalamnya dan menutup pintu rapat-rapat. Sejurus kemudian, setelah Wandha masuk ke dalam kamar mandi, ruang tunggu mendadak menjadi hening. Setiap orang yang berada di sana mulai terlarut dalam pikirannya masing-masing, menunggu dan bertanya-tanya, apakah wajah Wandha akan kembali pulih atau justru bertambah parah. Dan sesuatu mengejutkan mereka. “Ya ampuuun....!” Teriakan Wandha di kamar mandi terdengar seperti petir di siang bolong...Keesokan hari di arena pameran diadakan kompetisi perhiasan, salah satunya lomba judi batu berharga. Denzel mewakili stand toko Precious, bertanding dengan puluhan peserta pameran lainnya.Julio dan Lasim berniat jahat agar Denzel kalah dalam pertandingan, agar tidak ada lagi sanjungan dan pujian Hilmawan padanya.“Denzel, ini titipan uang dari Pak Hilmawan untuk modalmu mengkuti kompetis judi batu,” ucap Julio sambil memberikan selembar amplop putih berisi uang pada Denzel.Kenyataan yang sebenarnya amplop pemberian Hilmawan telah ditukar oleh mereka berdua.Saat kompetisi dimulai, Hilmawan dan keluarganya belum sampai di arena pameran. Demikian pula Vionka dan Tasya masih berkeliling di dalam mall untuk berbelanja.Semua peserta kompetisi sudah berdiri di tempat yang telah disediakan penyelenggara, Denzel berada di antara mereka. Sesi pertama, setiap peserta diberi kesempatan untuk membeli batu-batu polos yang dijual oleh beberapa penjual yang berada di atas panggung dalam waktu ti
Cakrha merebahkan tubuh Vania di atas tempat tidur, kemudian ia mulai melucuti pakaian gadis itu hingga tanpa selembar benang pun yang menempel di tubuhnya. Cakrha yang masih berdiri di tepi tempat tidur, mulai menanggalkan pakaian di tubunya satu per satu. Baru saja ia ingin beranjak akan naik ke atas tempat tidur, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Tapi, hal itu tidak mengurungkan niatnya untuk mendekati Vania yang sudah terbaring menunggu serangan Cakrha. Tanpa membuang waktu, Cakrha mulai menindih dan merenggkuh tubuh gadis itu untuk menyalurkan hasrat yang tak mampu lagi dibendungnya. Detik itu, rupanya ponsel Cakrha pun berdering kembali, membuatnya merasa penasaran ingin mengetahui siapa yang meneleponnya malam-malam begini.“Tunggu ya...” ucap Cakrha dengan lembut pada Vania, lalu ia beranjak dari tempat tidur untuk mengangkat ponselnya yang kembali berdering untuk ketiga kalinya.Setelah membuka ponselnya, Cakrha akhirnya tahu yang meneleponnya adalah Denzel.“Ada apa ya Om Den
Setelah pulang makan malam di Danau Jodoh, Denzel dan Vionka mulai membicarakan kedekatan Tasya dan Stefano. Keduanya merasa serba salah untuk menceritakan kepada Tasya bahwa sebenarnya mereka mengenal Stefano, dan dia adalah seorang playboy.“Mungkin saja Fano sudah berubah, Sayang?” ucap Denzel sambil membuka baju polonya dan juga celana pendeknya, lalu dia duduk bersila di atas karpet dengan posisi seperti orang yang akan melakukan yoga.“Mungkin saja sih..., tapi masak secepat itu dia bisa berubah?” ujar Vionka yang sedang duduk bersadar di atas kursi malas yang ada di samping Denzel.“Kalau kamu memang peduli sama Tasya, jalan satu-satunya kamu harus bisa memastikan bahwa Fano yang sekarang bukan lah Fano yang kita kenal dulu. Setelah kamu mendapat kepastian, barulah kamu cerita pada Tasya. Aku percaya setiap orang punya titik untuk mengubah hidupnya, mungkin itu yang sedang dialami Fano saat ini,” ungkap Denzel memberi pandangannya.“Kalau Fano memang sudah berubah aku ikut sena
Vania tampak shock mendengar ucapan orang tak dikenal itu, lalu ia menanyakan pada Cakrha apakah benar ada wanita yang tadi duduk di meja ini saat ia pergi ke toilet? Cakrha pun mengiyakan ada temannya tadi sempat duduk sebentar, saat ingin menunjukan orang yang dimaksud rupanya dia telah pergi dari restoran itu.“Terus terang saja, siapa wanita itu?” tanya Vania yang mood-nya telah berubah atas insiden yang baru saja terjadi.“Aku hanya mengenalnya sebagai pasien di klinik, selebihnya aku tidak tahu apa-apa tentang dia,” jelas Cakrha.“Tapi, kenapa dia ingin mencelakai aku?” tegas Vania.“Aku juga tidak mengerti, tiba-tiba saja dia datang dan duduk sebentar lalu pergi, tapi aku janji nanti akan cari tahu alasan wanita itu melakukan semua ini,” jelas Cakrha coba menenangkan Vania. Cakrha pun memutuskan untuk mengajak Vania meninggalkan Sky Dining, keduanya merasa tidak nyaman lagi berada di tempat itu.“Kamu mau langsung aku antar pulang sekarang, Vania?” tanya Cakrha saat keduanya s
Sementara di Sky Dining, Laura baru saja sampai di restoran itu. Penyamarannya tampak sangat meyakinkan, dengan mengenakan topi hitam dan pilihan baju bermotif kotak-kotak tampak maskulin, membuat dirinya terlihat seperti seorang lelaki. Ia memilih tempat duduk paling pojok agar dapat melihat sekeliling restoran dengan jelas.Detik berikutnya, Laura melihat Cakrha dan Vania menempati tempat duduk yang sudah mereka reserved di bibir bangunan tertinggi itu, sehingga dari tempat mereka duduk bisa melihat ke bawah sana, tampak jelas kerlap kerlip lampu-lampu di pusat ibu kota yang sedang diselimuti gelap, tidak ubahnya seperti melihat kerlipan bintang-bintang di atas langit malam.“Aku baru tahu ada tempat sebagus ini di ibu kota,” ucap Vania sambil melihat hamparan cahaya lampu di bawah sana. “Coba kamu lihat bangunan yang dihiasi lampu warna kekuning-kuningan itu,” ujar Cakrha sambil menunjukkan tangan pada Vania yang duduk di sampingnya. “Iya, aku bisa melihatnya, memangnya itu gedun
“Kamu sudah dengar sendiri, kan? Sekarang kamu tidak perlu risau lagi, Laura bersedia mengawasi kencan Vania dan Cakrha,” ucap Denzel memberitahu Vionka yang sejak tadi menunggu Denzel menelepon.“Patuh sekali Laura itu padamu ya?” ucap Vionka seperti menyiratkan sebuah keheranan.“Itu hanya hukum alam, Sayang... jika kita berbuat baik pada seseorang dan memberi kehidupan padanya, maka jangan heran jika orang itu akan membalasnya. Sebenarnya sama seperti yang aku lakukan padamu. Dulu saat semua orang menghina dan merendahkan aku, kamu lah yang memberi aku pembelaan dan rasa nyaman, maka saat ini aku yang aku lakukan ingin membalas semuanya dengan selalu baik padamu dan tentu saja selalu setia dengan pernikahan kita,” ungkap Denzel tulus dari hatinya.“Tapi kadang-kadang kamu bikin aku kesal, hayo...?” ujar Vionka coba memojokkan Denzel. “Anggap saja saat itu aku khilaf...” balas Denzel sambil tertawa, Vionka tidak bisa menyembunyikan senyumnya mendengar jawaban Denzel yang terdengar