Aher telah mengantarku kembali ke rumah. Tidak lupa kata terakhirnya saat aku turun dari motornya. 'Jangan lupa besok harus ke kantor!' Terasa menyebalkan sekali didengar. Mendengung masuk kedalam rongga telingaku. Tapi, lumayan rindu juga dengan suasana kantor, ekspresi para pegawai yang puyeng karena banyaknya tumpukan tugas yang harus diselesaikan dalam satu waktu.Aku melangkahkan kakiku masuk ke rumah, pintu masih terbuka tanda Mama masih belum tidur. Aku menatap arlojiku yang melingkar pada pergelangan tangan, jarum pendek telah menunjukkan angka sebelas. Sebentar lagi memasuki dini hari.Tapi, tunggu! Rasanya ada yang kurang dari pemandangan di depan teras rumahku. Aku mendilik pelan. Di mana gerobak Mas Adji? Biasanya terparkir di samping motorku, kok sekarang nggak ada. Aku mengitarkan mataku seluas mata memandang."Mama," teriakku langsung memasuki rumah."Ada apa sih, Nay?" tanya Mama yang tengah menatap ponselnya di kursi. Ternyata saat ini dia tengah santai menonton vide
“Terima kasih, Pak. Sudah datang,” ucapku dengan sangat ramah pada Pak Kusuma yang sedang duduk di seberang mejaku. Bukan hanya berdua saja, ada Aher dan Pritta juga di samping kami.Aku menatap pada Pak Kususma yang dari awal datang sampai saat ini fokus pada layar ponselnya. Aher dan Pritta melayangkan tatapan ke arahku, melihat Pak Kusuma yang belum tersenyum dan menjawab apapun dari kami.Aku mengangkat bahu tanda juga tak tahu. Kami masih saja menunggu sampai Pak Kusuma selesai dengan ponselnya, sebenarnya yang seperti ini tidaklah profesional, sibuk dengan ponsel sedangkan sudah ada janji dengan orang lain.“Pak,” ucap Pritta membuka suara.Pak Kusuma menghentikan gerakan jemarinya, lalu mengangkat dagunya menatap ke arah Pritta. “Pritta, kamu di sini juga?” tanya Pak Kusuma langsung saja.Pritta mengukir senyumannya. “Iya, Pak. Pritta juga ada di sini.”“Wah, lama ya kita sudah ga ketemu. Kamu tambah cantik aja,” puji Pak Kusuma pada Pritta yang membuatku dengan Aher terbelalak
Dering ponsel tak menggetarkanku sama sekali, aku tetap diam duduk di kursi yang ada di teras rumahku, dengan kaki yang menjuntai aku mengayunnya berselisihan. Hanya melirik sekilas ke arah ponsel yang berdering dengan nama kontak Rizki. Berulang kali berdering dan mengusik ketenanganku akhirnya kumatikan ponselku agar panggilan tak lagi menyapa.“Huh, enaknya ngapain ya?” gerutuku malas.Dalam gang yang sempit ini aku hidup dan bernaung, meski di gang yang sempit namun kendaraan masih leluasa untuk berlalu lalang, aku seorang gadis dengan pakaian rapi dan modis setiap ke kantor itu berbanding terbalik dengan dunia nyataku. Aku adalah seorang janda dengan baju daster yang telah ditinggalkan oleh suamiku yang sangat baik.Mas Adji, sudah berminggu-minggu kamu tidak menginjakkan kakimu ke rumah tetap saja bayanganmu lekat di sini. Aku kesal dan bingung pada diriku sendiri, kemarin benci banget sama Mas Adji dan sangat menginginkan perpisahan dengannya. Tapi, sekarang aku malah seperti i
Seorang MC asyik berbicara di depan para tamu undangan. Aku tidak melihat sosok Pak Kusuma di depan. Yang aku herankan adalah mengapa tamu undangan yang ada di sini terbilang sangat sedikit dan dari golongan tingkat bawah? Lihat saja pakaian mereka yang terbilang seperti para pedagang keliling seperti Mas Adji. Hanya kami yang berpakaian layaknya para tamu undangan.“Nay, aku mau ngambil minum dulu ya. Kamu mau sekalian aku ambilin?” tawar Rizki.“Nggak usah, Riz. Kamu aja, aku belum haus,” tolakku.Rizki mengangguk lalu pergi menuju jamuan makanan dan minuman yang tersusun rapi di bagian samping panggung.Aku plenga-plengo mengitarkan pandanganku. Aher pergi entah ke mana? Aku juga bingung dengannya yang terlihat sangat sibuk itu padahal hanya menjadi tamu undangan saja.Seorang pria berjalan ke arahku. Aku berpura-pura tak memerhatikan langkahnya itu. “Mbak,” ucapnya menyapaku.“Iya, ada apa?” tanyaku memberi respon.“Mbak, bisa gantiin MC bentar! MC-nya tadi ada suatu hal yang mend
Sepulang acara, aku langsung saja membenamkan diriku di kasur. Tangisan pecah tanpa reda. Sakit, sangatlah membuat ngilu di dada. 'Nay, yang terjadi di tempat Pak Kusuma barusan sangat memalukan. Kamu tahu itu kan. Saya tidak perduli dengan segala alasan yang kamu berikan, mulai saat ini kamu tidak usah datang lagi ke kantor, kamu dipecat!' Suara atasan terdengar menggeram dari ujung telepon. Aku hanya diam tanpa pembelaan karena percuma saja, atasan sudah marah yang kedua kalinya padaku. Bayangan Mas Adji masih saja menghantui. Apalagi saat Mas Adji berada di atas panggung bersama wanita lain, Pritta. Mama, Rizki dan Aher berulang kali berusaha mengetuk pintu kamar yang sudah kurang lebih tiga jam yang lalu aku kunci. Aher terdengar meringis memintaku membuka pintu."Nay. Ayok buka pintunya. Kami khawatir, takut kamu kenapa-napa di dalam." "Bener, Nay. Sudah, tiada gunanya menangisi lelaki seperti Adji. Aku di sini, Nay. Aku ga bakalan ninggalin kamu, mari kita pergi dari sini dan
Pov Adji~~~~~~~ Aku tidak bisa tidur malam ini. Memikirkan Naya bersama Rizki. “Nay, semoga kamu bahagia bersama Rizki yang jauh lebih baik daripada aku. Maaf, jika saat bersamaku kamu tidak pernah merasakan apa artinya kebahagiaan dalam rumah tangga kita.” Aku, Adji Mahendra. Adik dari Kusuma Adjipto Sahreza, kami adalah saudara kembar yang dulunya sama-sama sempat hidup susah setelah kematian kedua orang tua kami. Kami juga adalah si kembar yang telah puluhan tahun terpisah. Kak Kusuma tinggal bersama kakek di luar negeri. Sedangkan aku, tinggal bersama paman dan tante di kota ini. Pada saat dalam keadaan susah-susahnya, aku terpaksa meninggalkan cita-cita kuliah, aku mencoba mengerjakan semua pekerjaan yang aku paksa harus bisa agar bisa membantu ekonomi paman dan tante. “Harusnya, anak saudaramu itu sudah kerja, bantuin kita. Masa kita sudah sekolahkan dia capek-capek ujung-ujungnya dia nganggur di rumah,” celoteh tente kepada paman yang baru saja pulang dari tempat kerjanya.
Pagi hari ini aku masih mencoba mencari pekerjaan, namun tidaklah mudah. Badanku juga rasanya kurang sehat, perutku mual dan tidak enak badan. Mama beranjak dari kasur pada pukul setengah delapan pagi. Aku masih bergelut dalam selimutku seraya sibuk dengan laptopku untuk mencari info lowongan pekerjaan. Pukul sepuluh pagi, aku bangkit dari kasur karena perutku sudah sangat lapar. Suara Kak Andin masih belum terdengar, mungkin masih tidur. Mama kudapati sedang duduk melamun di teras dapur. Tangannya memangku dagu dengan tatapan kosong ke depan. ''Ma, lagi mikirin apa.'' Aku duduk di sampingnya. Mama terkesiap. ''Eh, kamu sudah bangun, Nay.'' Senyuman tipis mama tergambar secara paksa, matanya berkaca-kaca. Aku meraih tangan mama dan dengan lembut memintanya untuk bercerita.''Ma, cerita sama Naya!''Mama menelan ludahnya dengan berat. ''Mama rindu sama Bapak, Nay.'' Bibir mama bergetar. ''Bapakmu pasti sedih melihat keadaan kita yang sekarang ini, andai Bapakmu masih ada pasti ki
"Apa, Naya mau jualan sayur?" Kak Andin tertawa renyah seraya melipat kedua tangannya ke dada. "Aneh stres emang nih anak."Aku yang awalnya tidak menghiraukannya kini merasa naik pitam. Aku berdiri tepat di depan Kak Andin siap untuk melayangkan pembelaan diri. "Stres kata Kakak? Gimana, stres mana masa Kakak yang dari dulu ga mau nyari kerja. kerjaannya tidur, ngurung diri di kamar, makan. Hah? Yang stres yang mana, aku apa Kakak?" Padahal, itu adalah pantangan nagi mulutku. Aku tahu, Kak Andin bukanlah perempuan yang berpendidikan tidak sepertiku. Tetapi, dia tidak pernah mau menghargai semua perjuanganku untuk keluarga. Membantu mama di dapur saja tidak pernah. Kak Andi menunjuk ke arahku, mulutnya berusaha untuk balik memaki. "Argh." Kak Andin tidak bisa membalas fakta yang aku lontarkan. Bukan salahku, dia yang mulai duluan. Aku tahu Kak Andin marah dengan ucapan ku barusan, namun dia memilih untuk melenggang pergi. "Kamu ini Nay, kamu tahu kan Kakakmu tuh gimana orangnya."