Home / Rumah Tangga / Suami Terhinaku Seorang Miliuner / Pengusaha Viral Mirip Suamiku

Share

Suami Terhinaku Seorang Miliuner
Suami Terhinaku Seorang Miliuner
Author: Syakhsun_muhimm

Pengusaha Viral Mirip Suamiku

last update Last Updated: 2022-12-06 21:57:00

“Nay, Mas mau keliling ya,” ucap lelaki yang menyebut dirinya sebagai suamiku. Dengan pakaian yang sangat lusuh serta handuk kecil yang selalu tergantung di bahunya, bau keringat sepulang keliling berjualan sangat khas di badannya. Sedangkan aku, yang selalu berpakaian rapi serta bersih yang bekerja dalam ruangan ber-AC, pergi wangi dan saat pulang pun masih tetap wangi.

“Kapan sih, Mas. Kamu tuh cari kerja yang jauh lebih layak, yang di atas dari pekerjaanku? Aku capek, Mas. Dicemooh tetangga. Aku capek!” hardikku dengan kencang.

Mas Adji hanya tertunduk tak memberikan tanggapan. Mungkin dia malu, karna setiap hari aku mencelanya sedemikian rupa. Betapa bodohnya aku dulu yang pernah jatuh cinta padanya. Bodoh sekali. Tak bisa dipungkiri, ternyata dia malah seperti ini, menjadi pedagang sayur keliling yang gajinya kadang tak cukup untuk makan sehari-hari. Apalagi memenuhi keperluan skincare serta belanjaannku.

“Sabar, Nay. Mas juga lagi usaha,” tuturnya lembut.

“Cuih, usaha apaan kayak gitu. Jadi tukang sayur kok bangga? Lihat anakku, dia sudah cantik, berpendidikan dan pekerjaannya hebat, gajihnya pun gede. Harusnya kamu malu, malu numpang hidup sama istri.” Mama tidak mau kalah mencela suamiku.

Mas Adji tersenyum menanggapi. “Do’akan Adji, Ma. Semoga apa pun yang Adji kerjakan sekarang, sukses.” Wajah Mama selalu saja terlihat kecut saat Mas Adji mencium punggung tangannya. Begitu pula, denganku yang rasanya mau muntah melihat senyuman Mas Adji yang tidak pernah luntur serta tidak tau malu itu.

Mas Adji berlalu, dia pergi mendorong gerobak sayurnya. Masih pagi-pagi sekali, Mas Adji sudah berangkat mendorong gerobak sayurnya, itu dia lakukan setiap hari.

“Nay, kamu ga kerja?” tanya mama yang sangat cerewet.

“Ga, Ma. Aku kerja di rumah. Kantor sedang kacau saat ini.” Aku mengacak rambutku dengan tangan tanda sedang prustasi.

Haa, pusing banget ini kepala. Harus mikir ekstra, karna kemarin, penanaman saham dari perusahan baru yang sangat sukses itu menggagalkan kerjasamanya dengan perusahaan kami.

***

“Nay, coba lihat di tivi. Cepetan!” Kakaku menarik tanganku dengan keras.

“Apaan sih, Kak? Aku lagi sibuk ini,” tolakku yang sedang sibuk menatap layar laptopku. Saat ini moodku sedang benar-benar anjlok, karna perusahaan mengalami suatu masalah besar. Penanam saham suatu perusahaan besar di Indonesia menggagalkan kerjasamanya dengan perusahaan kami. Yang pastinya mempunyai dampak yang besar bagi perusahaan.

“Cepat. Lihat!” paksanya bersikeras.

Mataku membulat, melihat berita viral yang sedang tayang di televisi. Berulang kali aku mengucek mataku dan menepuk-nepuk pipiku. Apakah aku salah lihat? Atau ini hanyalah mimpi?

“Kak, cubit tanganku!” titahku pada Kak Andin.

“Auu, sakit!” lirihku. Ternyata benar, ini bukan mimpi, bukan pula suatu hayalan. Tapi, mungkinkah Mas Adji suami melaratku yang baru saja kucaci maki tadi pagi itu bisa menjadi milliurner secepat ini? Dari mana dia mendapatkan semuanya?

Kudekatkan mataku pada layar televisi, yang mana siaran tidak bergerak sedikit pun karna dimode pause oleh Kak Andin. Senyumnya sama persis dengan senyum Mas Adji yang biasanya tersenyum tulus kepadaku. Tapi, dalam segi penampilan jauhlah berbeda. Tidak mungkin? Ini tidak mungkin orang yang sama dengan Mas Adji.

Mataku dengan mata Kak Andin saling bersitubruk menatap. Aku mengerti apa yang sedang berada di benak Kak Andin saat ini, sama halnya dengan apa yang sedang aku pikirkan pula. Satu menit berkomunikasi dengan kontak mata tanpa bicara sekata pun, kami berdua mengangguk bersamaan.

Aku langsung mencari benda persegi panjang yang selalu kubawa kemana pun aku pergi. Ponselku, dengan cepat aku menekan beberapa tombol pada layarnya. Mencari nama dalam deretan kontak yang berjejer sesuai urutan abjad pada kontak telepon milikku.

Kontak dengan nama “suami melarat” aku pun mengklik tombol telepon dan panggilan dariku pun berlangsung. Tapi, tidak ada jawaban sama sekali.

“Nay, ini ponsel siapa?” ucap Kak Andin greget sembari mengangkat ponsel yang tergeletak di atas meja.

Aku menepuk jidatku. Aku lupa kalau Mas Adji tidak pernah membawa ponsel bututnya itu saat berdagang sayur. Argh, aku sangat kesal.

“Terus apa?” tanya Kak Andin dengan nada memelas.

“Aku juga bingung, Kak,” ucapku. “Eits, tunggu! Gimana kita susul aja dia ke pangkalannya biasanya?” usulku.

Kaka Andin tersenyum nyengir. “Bagus, bagus! Ayok!”

Dengan bergegas aku menyalakan mesin kendaraan, saat kendaraan ingin berjalan. “Tapi, di mana, Kak? Nay ga tau di mana tempat mangkal Mas Adji.”

Kak Andin memukul bahuku pelan. “Nay,” ucapnya dengan penuh penekanan karna rasa geram.

“Gimana sih kamu ga tau tempat suami sendiri mangkal?”

“Ya iya lah, Kak. Yang jualan kan Mas Adji, bukan aku.”

“Ini pada kenapa ini? Ribut, ribut di depan rumah.” Tiba-tiba saja mama datang menyela perbincangan kami.

“Ma, Mama tau ga tempat mangkal Adji jam segini?” tanya Kak Andin.

Mama terlihat berpikir. “Buat apa kalian nanyain tempat mangkalnya Adji?”

“Penting, Ma. Cepetan!”

“Tunggu, Mama juga ga tau.” Mama pun mengambil ponselnya dari dalam saku baju dasternya, kemudian menekan beberapa tombol. “Hallo, Bu Dirah. Ada liat menantu saya, Si Adji. Di mana ya dia sekarang?” ucap mama lancar dengan ponselnya.

“Oh, iya, makasih Bu Dirah.”

“Katanya, Adji lagi di dekat pos ronda. Pos ronda di RT:3 itu, deket sama rumahnya Dandi.”

“Oke, kalau gitu kita segera ke sana,” ujarku setelah mendengar penjelasan mama.

“Tunggu dulu, kalian belum ngasih tau Mama, loh.”

“Nanti aja, Ma. Ini lagi buru-buru, nih.”

Tanpa menunggu jawaban dari mama, kami berdua pun berlalu menuju pos ronda di RT:3 untuk menemui Mas Adji.

Sesampainya di tempat, nampak Mas Adji sedang sibuk mengobrol sama para ibu-ibu yang sedang memilah-milih sayur. Kami tidak menghampirinya, hanya memerhatikan dari kejauhan untuk memastikan apa yang ada di benak kami barusan.

“Tuh, kan. Bukan Mas Adji, Kak,” ucapku pelan.

“Iya, Nay. Ga mungkin, kan kalau tadi kita baru aja lihat di tivi dan dia langsung ganti baju terus jualan sayur. Liat, mana sayurnya udah mau habis. Berarti memang dari tadi dia jualan,” Kak Andin menuturkan rumus.

“Iya, Kak. Sudah, ah. Mustahil juga kan itu tadi Mas Adji, harusnya kita mikir dari awal. Yuk, ah mending pulang.”

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
John
mana sambungan nya?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   ENDING

    Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Jaga Anakku

    Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Dia adalah Ibu Kandungmu

    Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Selamat hari Ibu

    Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Pembunuh

    Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Sinta Datang

    Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status