Share

Mirip Seratus Persen

Penulis: Syakhsun_muhimm
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-07 05:27:29

“Iya, Pak. Saya akan usahakan secepatnya!” ujarku dari sudut ponsel.

Setelah selesai berbincang dengan atasan perusahaan. Aku mendesah pelan lalu duduk di kursi dengan lemas. Apa yang harus aku lakukan? Argh, ini suatu kesialan yang sangat berarti.

“Assalamu’alaikum,” ucapan dari pintu.

Suara Mas Adji yang baru saja pulang berjualan. Males banget deh liat dia pulang kerja, apalagi bau badannya yang semerbak memenuhi ruangan, rasanya ingin muntah.

Jegleg..

Pintu kamar dibuka oleh Mas Adji. Seperti biasanya, aku menutup hidungku dengan tangan. Tak ingin aku menghirup sedikit pun bau badannya yang kecut dan pastinya sangat menyiksa pernapasan. Apalagi peluhnya yang terkucur membasahi pelipis sampai pakaiannya dan tidak lupa daki yang terlihat mengggumpal di sekitaran lehernya. Iyuu, nggak banget untukku yang selalu cantik memesona dan harum ini.

“Sayang, alhamdulillah hari ini dagangan sayur Mas laku semua.” Mas Adji memegangi pundakku.

Ku tatap penampilannya pada pantulan cermin yang berada di hadapanku. Mataku mengerjap pada tangan Mas Adji yang mana tangannya memegang kedua bahuku. Ish, kukunya hitam-hitam, kotor.

“Mas, kamu apa-apaan sih, kamu mau aku sakit?” Langsung saja aku bangkit dari dudukku, melepaskan pegangan tangan. Mas Adji yang kotor itu.

“Enggak, Nay,” ucapnya lembut.

“Enggak gimana? Itu liat aja kuku kamu, tangan, baju, muka kamu kotor semua. Belum bersih-bersih pegang aku. Gimana kalau aku terkena bakteri, jadi sakit?” hardikku dengan wajah tangan memerah seperti udang rebus.

“Iya, maafkan, Mas,” tuturnya. “Kalau gitu, Mas mau mandi dulu. “Mas Adji berlalu dari hadapanku, mengambil sebuah handuk yang tersusun rapi di atas kasur. Siapa yang merapikan semuanya? Ya, Mas Adji, aku mah mana sempat dan tidak akan mau. Mas Adji tidak pernah mempermasalahkan tentang aku yang tidak bisa masak, tidak bisa bersih-bersih rumah dan lainnya, karna dia tahu wanita karir tidak pantas melakukan itu semua.

Tas kecil selempang wadah Mas Adji menaruh uang hasil jualannya tergeletak di atas meja. Aku mengerjap pada ucapannya barusan, kalau dagangannya hari ini laris manis. Berarti, saat ini uangnya banyak, dong. Aku tersenyum licik, perlahan kubuka resleting tas selempang milik Mas Adji itu dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi.

“Wah, banyak juga ya.” Mataku berbinar indah menatap sejumlah uang yang berada dalam tas selempang Mas Adji. Warnanya beragam; merah, biru, hijau, kuning serta uang pecahan lainnya.

“Bisa, nih. Buat shopping. Hilangin stress,” aku terkekeh pelan menutup mulutku dengan beberapa jumlah uang yang ku pegang seperti bentuk kipas. Shooping Im coming!

Tapi, tunggu. Benda apa ini? Ku ambil benda keras yang hampir berbentuk persegi. “Wah, ini kan kartu debit. Punya siapa? Mas Adji kan ga punya debit. Apalagi, ini bukan kartu debit sembarangan, kayaknya punya orang kaya,” celeotehku dalam hati. Baru saja aku ingin memerhatikan sisi lainnya, tiba-tiba juga Mas Adji mengambil kartu debit itu dari tanganku.

“Anu, Nay. Ini tadi Mas dapat di jalan. Kayaknya punya orang tercecer, Mas mau ke tempat Pak RT dulu buat ngasih tahu ini,” jelas Mas Adji yang sama sekali tidak aku perduli kan. Mood yang tadinya indah, kini hancur kembali saat melihat wajah Mas Adji yang polos itu.

“Terserah lah, Mas. Aku mau shopping,” tuturku sembari menghitung uang milik Mas Adji.

“Jangan dihabiskan, ya, Nay. Mas mau buat modal jualan besok!” pinta Mas Adji menatap ke arahku yang asyik menghitung uang.

“Nih, ambil! Sama istri sendiri kok pelit.” Aku menyerahkan uang pecahan pada Mas Adji, sedangkan uang seratus ribuan serta lima puluh ribu ku ambil. Tanpa mendengar celetukannya, aku beranjak dari kamar tak lupa kuambil dahulu tas mahal milikku yang berada di atas meja kerja.

“Nay, mau kemana?” tanya Mama yang baru saja selesai memasak di dapur.

“Shopping, Ma,” jawabku santai sembari menatap wajahku pada layar ponsel untuk mengoles lipstik pada bibir mungilku.

“Shopping? Ikut, dong!”

Argh, Mama paling nggak bisa denger kata shopping, pasti mau ikut aja kerjaannya. Satu lagi, Kak Andin, untung dia tidak terlihat berkeliaran di rumah, mungkin sedang tiduran di kamar. Kalau tidak, pasti wajah memelasnya akan sama seperti Mama. “Ga bisa, Ma. Naya mau shopping terus ketemu sama atasan kantor. Mama tau kan, saat ini perusahaan dalam bahaya.”

Mama memonyongkan bibirnya, “Ya sudah, pergi sana!”

“Makasih, Ma. Naya sayang Mama. Naya berangkat dulu!” ucapkan girang.

Dengan cepat aku menuju kendaraanku yang selalu terparkir di depan rumah. Kendaraan jenis matic keluaran terbaru yang dibelikan Mas Adji, secara kredit. Setiap bulan, Mas Adji harus menyiapkan uang pembayaran untuk kredit kendaraan ku ini. Aku tidak perduli, yang terpenting aku tidak terlihat seperti orang susah yang harus ke tempat kerja naik angkot. Tidak terbayang, gimana baunya dalam angkot itu, bisa-bisa aku muntah.

Dengan pakaian yang rapi serta berkelas pastinya, dengan rambut yang sedikit bergelombang dengan perpaduan warna ungu yang akan nampak jika bagian luar rambut yang berwarna hitam di kasih jepitan rambut, maka tampaklah rambutku yang berwarna ungu itu. Ala look artis yang sedang viral sekarang. Wajahku memang cantik, tak jarang para lelaki menggodaku.

Senyumku mengembang, menatap pakaian mewah yang terpampang dalam mall. Inilah surgaku, inilah napasku. Shopping, tempat perbelanjaan. Ah, rasanya beban di kepala hilang begitu saja. Aku berjalan mengitari pakaian yang tersusun indah dan rapi. Semua warna dan merk serta desain tersedia di sini.

Brug...

Aww, apa-apaan ini?

“Maaf, maaf, Mbak. Saya tadi tidak lihat. Maaf,” ucap lelaki yang sedang berdiri di depanku. Wajahnya tertutup karna sekarang dia sedang nenagkup kedua telapak tangannya yang menutupi sebagian wajahnya.

Sepertinya orang kaya. Dilihat dari pakaiannya dan barang belanjaannya yang banyak. Di sini semua mahal, orang kalangan bawah tidak akan mampu membeli meski hanya satu barang saja.

“I-iya, Pak. Tidak apa, lagian saya juga yang salah,” jawabku.

Saat tangannya menyingkir dari wajahnya. Apa? Bagaimana bisa? Kenapa bisa seperti ini?

Mulutku mengaga sempurna, mataku terbelalak tak percaya.

“Kalau begitu saya pamit, Mbak. Buru-buru.” Dia berlalu dari hadapanku.

Rahangku rasanya tak bisa mengantup lagi. Ingin menghentikan orang itu, tapi tak bisa. Bagaimana bisa ada orang yang sangat mirip wajahnya dengan Mas Adji. Tidak mungkin, ini pasti mimpi dan sebentar lagi aku akan bangun ke dunia nyata.

Tapi, ini nyata, buka mimpi. Mataku mengerjap pada sekitar. Sayangnya lelaki tadi telah keluar dari ruangan ini. Atau dia yang tadi pagi kami lihat di berita televisi? Ya ampun, bodohnya aku. Kenapa tadi tidak mengajaknya berkenalan.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   ENDING

    Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Jaga Anakku

    Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Dia adalah Ibu Kandungmu

    Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Selamat hari Ibu

    Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Pembunuh

    Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Sinta Datang

    Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status