Nova [May, ini nama kamu bukan, sih?]
Satu screenshoot melengkapi pesan Nova, jelas nama yang tertera di sana adalah namanya. Tulisan yang menyertai postingan tersebut, yang menunjukan Firhan tengah ijab kabul dengan ayahnya tercetak jelas. [Kasihan, adiknya lari dari pernikahan, kakaknya yang menggantikan. Yang sabar ya, Mbak.] Air mata Maya kembali berjatuhan. Tapi tak lama gadis itu tersenyum, lalu tertawa dengan air mata yang membasahi pipi. "Kamu lihat, Arman? Gara-gara kamu aku jadi terkenal. Hahaha!" Lagi satu dan pesan lainnya masuk. Nova [May, kamu ok, kan?] "Pertanyaan yang bodoh, Nova." Nova: [Yang sabar, ya May. Tapi suami kamu ganteng, kok! Emang kamu sama si Arman ada masalah apa, sih? Kok, tiba-tiba dia batalin pernikahan kalian?] Maya: [Aku baik-baik aja, Nov. Kamu tenang aja.] Nova: [Alhamdulillah. Nanti pulang kerja aku ke rumah kamu, yang sabar, ya?!] Maya tak membalas pesan Nova lagi, pun dengan pesan lainnya yang masuk tak dihiraukannya sama sekali, karena Maya yakin mereka pasti akan mengajukan pertanyaan serupa dengan Nova. Biarlah Nova nanti yang akan menjawab semua rasa penasaran teman kerjanya yang lain. "Setidaknya kamu kirim pesan sama aku, Ba-jingan!" geram Maya menatap ruang percakapannya dengan Arman. Lagi Arman sedang online, entah apa yang sedang dilakukan lelaki itu terlepas dari mengabaikan dirinya. Namun Maya enggan mengemis penjelasan, dia akan meyakinkan dirinya kalau Arman sudah membuangnya, agar rasa cinta yang masih tersimpan dalam hatinya, berganti benci seutuhnya. Maya mendengkus kasar, saat panggilan alam membuatnya harus beranjak ke kamar mandi. Dengan malas gadis itu keluar kamar setelah mengganti batik yang dipakai, namun penampakan sepi di luar kamarnya membuat alis Maya mengernyit heran. "Kemana ibu sama bapak?" gumam Maya, dia pun lantas berjalan mencari keberadaan Mala, hingga kakaknya itu dia lihat ada di ruang tengah sedang menelpon. Mala langsung mengakhiri teleponnya saat melihat Mala keluar kamar. "Mbak, bapak sama ibu kemana?" tanya Maya sambil mendekat. Dia juga ingin bertanya tentang keberadaan suaminya, tapi rasa gengsi lebih kuat dari rasa penasaran yang dimiliki. "May, Bapak dibawa ke rumah sakit," ujar Mala setelah mendapat kabar bahwa Idham harus dirawat karena mendapat serangan jantung. "Apa? Kok, bisa?" seru Maya kaget. "Bapak kena serangan jantung, May." Lagi tubuh Maya terasa lemas oleh semua musibah yang dialami hari itu. *** Sepanjang jalan menuju ke rumah sakit, Maya lebih banyak diam. Di sebelahnya Firhan sesekali melirik tanpa bersuara. Tadi dia diminta menjemput Maya, setelah Mala menelpon kalau adiknya ingin ke rumah sakit untuk melihat keadaan Idham. Hingga dua puluh menit perjalanan mereka, keheningan lah yang menemani selain suara mesin kendaraan yang berlalu lalang. "Biar saya bukakan pintunya." Suara Firhan menahan gerakan Maya yang akan membuka pintu mobil begitu mereka sudah sampai di rumah sakit. "Aku bisa sendiri," sahut Maya setelah menoleh sebentar pada laki-laki yang hanya bisa menghela napas pasrah itu. Menunggu Firhan yang tengah memutari bagian depan mobil, Maya menatap gedung rumah sakit di depannya. "Ayo!" ajak Firhan, tangannya terulur ragu untuk menuntun Maya berjalan. Tatapan malas Maya berikan saat tangan itu ada di depannya, memalingkan muka sebagai jawaban, Firhan tahu kalau uluran tangannya ditolak oleh sang istri dadakan. Tak ingin berdebat tak penting, Idham akhirnya mendahului berjalan yang langsung diikuti Maya. "Bapak harus dirawat untuk beberapa hari ke depan," terang Firhan tanpa ditanya. Maya hanya menanggapi tak acuh. Bukankah tadi juga Mala sudah mengatakan hal itu? Jadi pemberitahuan dari Firhan sudah tak diperlukan lagi olehnya. "Tadi papa sempat mengatakan, kalau kemungkinan resepsi akan diundur sampai bapak--" "Apa Abang masih berpikir tentang resepsi?" potong Maya dengan menghentikan langkah, Firhan pun turut menahan langkah, lalu menatap istri yang tak pernah dia pikirkan akan menjadi teman hidupnya. "Bukankah sudah saya bilang kalau saya serius dengan pernikahan ini, Dik?!" "Dan aku tidak berniat seperti yang Abang pikirkan," balas Maya sambil kembali melangkah. "Kita tunggu bagaimana keputusan orang tua kita," timpal Firhan yang merasa tak akan baik berdebat seraya mereka berjalan ke ruang rawat Idham. Maya tak menjawab, dia hanya fokus mengikuti langkah Firhan yang kini berjarak dua langkah di depannya.Seperti rencana semula, acara resepsi pernikahan Maya dan Firhan pun digelar dua minggu kemudian. Yang awalnya berniat digelar sederhana, akhirnya pesta itu pun berlangsung cukup meriah. Firhan mengundang semua kenalan juga rekan kerjanya. Begitu juga dengan Maya meskipun dia sudah tidak lagi bekerja. Mereka mau datang, syukur. Tidak pun tak jadi masalah untuk Maya. Apalagi acara tersebut digelar di kota tempat tinggal Firhan, kemungkinan teman-teman Maya yang bekerja di perusahaan cabang, tentu sangat kecil bisa datang. Namun Maya tak berkecil hati, cukuplah dengan adanya Nova sebagai temannya yang hadir di hari bersejarah untuknya itu. Ucapan selamat juga doa restu mengalir dari para tamu. Maya terlihat anggun dengan gaun putih panjang dan jilbab yang menutup rambutnya. Ya, Maya memutuskan untuk berhijab seperti niatnya dulu. Dia akan menggunakan penutup aurat itu saat dirinya sudah menikah. Jadi tak ada alasan lagi untuk menunda niat baiknya. "Ih, cantik banget kamu pake j
"Ap-apa maksud kamu, Man?" Anna memucat wajahnya, apalagi tatapan semua orang kini tertuju padanya. "Kamu tidak pernah kehilangan ingatan kamu kan, Anna?! Kamu sudah membohongi aku hingga aku merasa bersalah, dan meninggalkan dia yang seharusnya menjadi istriku saat ini!" Arman berteriak lantang, semua kata yang sudah dia ucapkan tentang keikhlasan atas gagalnya pernikahan dengan Maya, kini seakan disesalinya begitu sadar Anna sudah membohonginya. Menipunya mentah-mentah. Siapa yang bodoh sebenarnya? "Man, bicarakan baik-baik." Lidya menghampiri Arman, mengusap punggungnya dengan lembut berharap Arman bisa menahan kemarahannya. "Anna tidak mengerti apa yang Arman katakan, Mama," kata Anna mencari simpati Lidya, sayangnya Arman sudah tidak percaya. "Bohong," desis Arman. "Kita bicarakan nanti. Tak enak dengan pak Idham dan bu Lani." Rudi menyela, "Nak Angga, bisa antar Anna pulang, Nak? Arman butuh menenangkan diri," lanjutnya pada Angga yang dengan sigap mengangguk. "Ten
Tanah Merah itu masih basah. Raga yang terbaring di dalam sana kini sudah tak merasakan sakit lagi. Segala beban dan masalah yang dirasakannya selama hidup sirna sudah, meninggalkan seseorang yang baru mengenalnya tapi justru kini dipaksa pisah lebih jauh lagi. Tak ada kesempatan bertemu, tak ada kesempatan bertanya kenapa dulu dirinya seakan dibuang. Arman terpekur dengan mata sembabnya, menatap kayu nisan yang bertuliskan nama wanita yang baru diketahuinya sebagai ibunya. Ada Anna, Angga, juga keluarga yang selama ini dikenal sebagai orang tua dan kakak lelakinya. Tanpa keberadaan Maya. Pencariannya dalam menemukan sang ibu berhasil, namun saat hendak mempertemukan ibu kandungnya dengan Lidya dan Rudi, kecelakaan malah menghentikan rencana mereka. Mobil Arman ditabrak oleh truk yang melaju kencang, saking kerasnya benturan membuat sang ibu yang tidak mengenakan sabuk pengaman, terpental keluar, hingga nyawa pun terlepas di tempat kejadian. Arman terluka cukup parah, tiga hari
Hening. Hingga beberapa saat kemudian tautan bibir keduanya terlepas. Maya langsung menunduk, namun Firhan menahan dagunya agar Maya terus bersitatap dengannya. "Apa abang bisa meminta hak dan memenuhi kewajiban abang sekarang?", tanya Firhan dengan tatapan mulai berkabut. Maya menenangkan debaran jantungnya yang menggila, namun dia pun tak bisa mengatakan tidak, hingga anggukan kepalanya sebagai izin yang diberikan, membuat Firhan kembali melabuhkan kecupan di bibirnya. Tak lama tubuh Maya pun melayang saat Firhan menggendongnya, membawanya menuju peraduan. Maya terpekik lirih, dengan sigap dia memeluk leher Firhan dengan mata keduanya yang terus bertukar tatap, senyuman terus Firhan sunggingkan, seakan menenangkan Maya bahwa semua akan baik-baik saja. "Percaya pada abang, kita akan bersenang-senang. Ibadah." Maya mengangguk dan mempercayakan semuanya pada Firhan. Membiarkan semua mengalir seperti apa harusnya. Dia hanya pasrah, saat apa yang dia jaga selama ini dan akan
"Sampe kaget gitu," ledek Maya menertawakan Firhan, padahal dia sendiri tengah mencoba menenangkan dirinya imbas perkataannya sendiri. "Harus minggir dulu, biar bisa fokus." Firhan menepikan mobil, lalu menatap Maya yang sudah memerah wajahnya. "Coba bilang sekali lagi ... yang jelas," kata Firhan menggenggam lembut tangan Maya, matanya lekat menatap manik mata sang istri. "Apaan sih, Bang. Ayo jalan lagi, katanya mau ke rumah bapak?" elak Maya menahan senyum. Firhan menggeleng merasa dipermainkan Maya. "Nggak jadi. Mau ajak ke hotel aja." "Ya ayo! Kemana aja abang mau bawa Maya, Maya ikut," balas Maya. Firhan tersenyum lebar, diciuminya tangan Maya. "Yakin?" Firhan masih mencari celah apa kebohongan itu ada. Maya menarik napas panjang, lalu mengangguk dengan sangat yakin meski wajahnya kini semakin merah saja. "Beneran sudah siap jadi istri abang sepenuhnya?" lirih Firhan membelai pipi Maya, gadis itu merasakan tubuhnya panas dingin. "Y-ya," sahut May
"Kamu pulang ke mana, May?" tanya Nova saat jam kerja habis. Setelah semua orang tahu tentang status pernikahannya dengan Firhan, Nova yakin Maya tidak akan tinggal di mess lagi. "Rumah abang," jawab Maya dengan malu. "Udah aku tebak, sih. Huh, aku jadi nggak ada temen ngegosip. Sepi," keluh Nova sedih namun dibalut canda. "Maaf, ya?! Abis mau gimana lagi?" ucap Maya, mereka tengah berjalan menuju keluar bangunan produksi, dia sudah tidak terlalu menjadi perhatian setelah para karyawan tahu dirinya istri Firhan, meski tentu saja sikap Rima jadi berubah drastis padanya. Atasannya itu jadi judes, sangat menyebalkan. Tapi Maya memilih abai, selama Rima tak membuat kontak fisik untuk menyakitinya, meski jadi suka membentak kalau memberikan perintah padanya. Biarlah, mungkin Rima sangat berharap pada Firhan sebelumnya, jadi begitu tahu laki-laki yang disukainya ternyata sudah menikah, dia jadi kecewa dan patah hati. "Loh, ya nggak papa, May. Aku paham, kok. Emang seharusny