“Rame banget,” lirih Charlotte.
“Jasa almarhum buat Ma’had sama dunia pendidikan banyak. Otomatis kenalannya juga banyak,” sahut Avicenna yang diamini anggukan oleh Charlotte.
Selepas ibadah Ashar, dua perempuan lajang itu mendatangi rumah mendiang Wafiq. Laki-laki yang mengembuskan napas terakhir di usia 60 tahun itu merupakan wali kelas Charlotte di tahun terakhir pendidikannya di ma’had yang terletak di pelosok Provinsi Jawa Timur ini.
“Masuk, yuk!” ajak Avicenna menggamit lengan kanan Charlotte.
Sejenak, Charlotte bergeming. Tubuhnya terpaku di tempatnya berdiri. Ia melirik rumah sederhana di depannya sekilas. Rasa ragu, segan, hingga takut itu tiba-tiba menggelayuti hatinya. Melihat orang-orang berkerumun di pelataran rumah membuat nyalinya ciut. Para pelayat itu adalah sosok besar nan penting negeri ini, terutama di kalangan Ma’had.
“Nak, ‘kok gak masuk?” Seorang perempuan jelang usia 40-an menghampiri. Charlotte tersentak. Dari penampilannya, perempuan itu dipastikan istri salah satu ustadz kader di sini. Tunggu! Charlotte merasa tak asing dengan wajah lembut di hadapannya.
“Ada Ustadzah Dea!” seru Avicenna. “Ustadzah sehat?” tanyanya akrab. Ia meraih tangan kanan perempuan berhijab hitam itu untuk disalami. Charlotte melakukan hal serupa.
“Anak-anak kelasnya almarhum Ustadz Wafiq?” tebak perempuan tersebut.
“Iya, Ustadzah. Pas kelas enam, mungkin antum gak kenal. Ana Avicenna, ini Charlotte. Dia juga anak kelasnya Ustadz Fajri, 5D 2015,” jelasnya. “Char, inget wali kelas kamu pas kelas 5, gak? Ustadz Fajri? Ini istrinya, Ustadzah Dea, inget?” tanya Avicenna. Charlotte membisu.
“Charlotte?” gumam Dea berpikir. “Oh, anak Ustadz Fajri yang bule sendiri. Apa kabar, Nak? Kamu kayaknya gak pernah main kesini. Padahal anak-anak angkatan 2015 sering, lho! Tapi Ibu gak pernah liat kamu,” ucapnya lalu memeluk dua gadis di depannya bergantian.
“Iya, Ustadzah,” sahut Charlotte. Ia merasa canggung sekali.
“Yuk, masuk! Pasti Ustadzah Nurul udah nungguin anak-anak kelas Ustadz Wafiq,” ajak Dea. Namun baru selangkah, ia meringis kesakitan yang membuat Charlotte dan Avicenna dilanda khawatir. “Gak apa-apa. Ada yang nendang dalem perut. Kesenengan ketemu ustadzah cantik,” ujarnya menenangkan. Tangan kanannya mengelus-elus perut lembut.
Dua perempuan lajang itu membelalak. Sejak tadi mereka terkecoh oleh gamis dan hijab longgar Dea yang sukses menyamarkan perut buncitnya. Telapak kanan Charlotte terulur. “Boleh?” tanyanya pelan yang diangguki Dea. Benar saja, ia merasakan pergerakan saat telapak tangannya menempel di permukaan perut yang tertutupi kain. “Berapa bulan Ustadzah?”
Dea tersenyum hangat. “Tinggal menghitung hari. Kalo ngikutin HPL, sekitar dua minggu lagi,” jawabnya dengan binar indah yang tercetak jelas di wajah ayunya.
Dua perempuan muda di samping kanan dan kiri Dea mengangguk paham. Mereka kemudian melanjutkan langkah secara perlahan hingga tubuh ketiganya memasuki kediaman Wafiq.
Di dalam, Nurul tengah menyambut tamu sembari berdiri. Perempuan paruh baya itu tampak pucat dan lesu sekali. Gurat kesedihan tampak jelas di wajah ayu nan keibuannya. Charlotte dan Avicenna lekas menghampiri. Sementara Dea beranjak ke dapur membantu ART memasak.
“Ustadzah,” sapa Avicenna perlahan. Ia dan Charlotte meletakkan buah tangan di meja.
“Lho, Senna, belum balik ke Bandung, Nak?” tanya Nurul lemah. Ibu berjilbab hitam itu memeluk Avicenna erat dan hangat. Sosoknya sebagai seorang istri ustadz kader memang sangat totalitas. Ia selalu menempatkan diri menjadi ‘ibu’ bagi anak-anak kelas sang suami.
“Belum, ana ambil cuti seminggu. Masih kangen Ma’had,” jawab Avicenna tatkala pelukan mereka terurai. “Ustadzah inget sama Charlotte, gak?” Ia melirik Charlotte.
Atensi Nurul beralih ke perempuan muda di samping kiri Avicenna. Dahinya mengernyit, berusaha mengais memori inti otaknya. “Ya Allah, Charlotte!” pekiknya. “Kamu kemana aja, Nak? Kita hilang kontak bertahun-tahun. Ustadz sama Ustadzah ngubungin kamu setelah kejadian itu, kami khawatir.” Nurul mencecar dan memeluk Charlotte tak kalah erat.
Charlotte tergemap. Benarkah mantan wali kelas dan istrinya itu begitu mengkhawatirkannya selama ini? Yang ia tahu, isi pesan terakhir mereka, delapan tahun lalu, tidak mencela ataupun menghujat keputusannya. Mereka tetap memberikan cinta dan dukungan sebagai ‘orang tua’.
Perempuan keturunan Eropa itu memutuskan jalinan silaturahmi mereka karena sungkan. Ia takut citra almamater yang sudah terlampau baik ternoda akibat tindakan memalukannya. “HP sama nomer ana hilang Ustadzah. Terus gak sempet backup data,” kelit Charlotte beralibi.
Nurul mengulas senyum hangat dan mengelus pipi Charlotte lembut. “Kita duduk, yuk! Ustadzah pengen ngobrol banyak sama kalian,” ajaknya. Di antara rasa haru dan rindu, tiga perempuan lintas generasi itu membicarakan banyak hal. Tiga anak Wafiq dan Nurul ikut bergabung.
“Nanti abis jamaah Maghrib di mesjid bapenta, kalian kesini lagi, ya? Kita makan malem sama-sama,” ajak Nurul penuh harap. Charlotte dan Avicenna tentu menyanggupi ajakannya.
********************
Hanna, putri bungsu Wafiq dan Nurul tiba-tiba membanting sendok yang sedang digenggamnya. “Wah, Ustadzah Avicenna sama Ustadzah Charlotte keren banget! Aku juga mau kayak gitu.” Remaja yang baru saja lulus dari pondok pesantren tahfidz setara Sekolah Menengah Atas itu memandang dua perempuan matang di depannya penuh kekaguman.
Charlotte dan Avicenna hanya mampu mengulas senyum canggung. Sementara Nurul tertawa kecil. “Adek kalo mau hebat kayak Ustadzah, harus rajin belajar, banyakin doa dan usaha. Kuliah setinggi-tingginya, kayak Ustadzah Charlotte sama Ustadzah Avicenna, sebelum usia dua lima udah lulus program doktoral,” ujar Nurul menyemangati anak perempuan satu-satunya itu.
Charlotte segera bangkit saat anak-anak Nurul membereskan meja makan. “Biar ana yang beresin Ustadzah.” Perempuan itu lekas meraih peralatan makan kotor dari tangan Nurul.
Nurul mengibaskan telapak kanannya. “Gak usah, masa tamu yang beres-beres,” sergahnya.
Charlotte maupun Avicenna tak menggubris kata-kata istri mendiang wali kelasnya itu. Mereka langsung berlalu ke dapur untuk mencuci piring. Keduanya mendapati beberapa asisten rumah tangga tengah memasak suguhan esok hari di dapur kotor, tepat di sebelah dapur bersih.
Meski sudah berlalu sepuluh tahun lalu, tata letak dapur rumah dinas Wafiq tidak banyak berubah. Yang paling mencolok adalah lemari pendingin dan dispenser tampak lebih modern dari sebelumnya. Dulu, Charlotte, Avicenna, beserta anak kelas lain hampir setiap minggu masuk kesini. Nurul sangat senang mengajak mereka memasak dan makan bersama-sama.
Tanpa suara, mereka berdua berbagi tugas dengan kompak seolah sudah terbiasa. Charlotte menyabuni perabotan kotor bekas makan malam. Sementara Avicenna membilas dan menatanya. Keduanya saling melempar senyum penuh arti, larut dalam perasaan nostalgia dari aktivitas ini.
Namun, tiba-tiba...
“Oalah, serius Mbak Pur, tamu yang lagi makan di dalem sama Ibuk itu alumni yang viral karena lepas kerudung bertahun-tahun lalu? Pasti yang mukanya bule banget, ya?”
“Ruby seneng, bisa balik ke rumah ini, ke kamar Ruby dulu. Makasih Uwak,” sahutnya dengan suara bergetar. Ada debaran gila ketika akhirnya ia dapat menyebut nama keramat itu lagi.Lilis menaik-turunkan kepala dan mengulas senyum haru. “Uwak yang harus bilang makasih ke Neng. Neng Ruby udah mau pulang lagi ke sini, gak lupa sama Uwak, sama Eyang. Padahal, Neng udah sukses di luar negeri. Tapi, gak malu punya keluarga di Pangalengan.” Kini, sebelah tangannya menangkup pipi sementara tangan lain menggenggam tangan sang Keponakan.Astaga! Charlotte tidak pernah memiliki pemikiran seperti itu. Bagaimana pun, Indonesia merupakan identitasnya, separuh bagian dari keutuhan dirinya. Indonesia adalah kampung halamannya. Ia sempat sengaja menampik itu semua karena perasaan malu yang tak berdasar. Ya, malu karena tindakan cerobohnya di masa lalu. Padahal, di sini semuanya baik-baik saja.Tanpa sadar, setetes bulir bening lolos dari pelupuk mata Charlotte. “Kenapa harus malu? Padahal Ruby yang udah
“Char, kamu gak apa-apa... kalau aku tinggal sendiri? Kalau kamu belum siap, ikut pulang lagi, yuk! Bilang aja ke Uwak kamu kita ada acara Ma’had,” ujar Avicenna memastikan.Charlotte tersenyum manis untuk meredakan kekhawatiran yang terpancar jelas dari wajah dan perkataan Avicenna. “Kamu tenang aja, aku bakalan baik-baik di sini,” jawabnya tenang.Avicenna menatap Charlotte intens. Lalu, perhatiannya beralih ke dalam toko di mana paman sahabatnya tengah serius meladeni pembeli. “Kalau ada apa-apa, cepet kabari aku, ya?” pintanya. “Pasti!” Charlotte mengangguk mantap. “Tenang aja, kamu ninggalin aku di rumah keluarga sendiri. Bukan di kandang harimau!” kelakar perempuan bermanik hazel tersebut. “Iya, sih. Tapi... aku tetep khawatir,” aku Avicenna jujur pada akhirnya. “Everything’s gonna be ok. Kamu cepetan pulang. Mau ke rumah Ibu, kan? Berangkat sana, takut kemaleman. Bahaya!” ujar Charlotte dengan nada risau yang teramat kentara.Avicenna hendak m
“Wow, that’s a huge crowd,” gumam Charlotte demi melihat keramaian di depan sana.Avicenna memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana. “Woah, kalau aku tinggal di sini, dan doyan protein hewani, bisa sehat wal afiat, nih!” Perempuan itu berkata heboh tanpa berkedip.Dahi Charlotte mengkerut dalam menanggapi tingkah sang Sahabat. Bukan kesal apalagi malu. Sampai saat ini, setelah lebih dari lima belas tahun bersama, ia selalu terkaget-kaget dengan ke-random-an Avicenna. Perempuan manis itu hobi sekali melakukan hal tak terduga nan lucu. “Jadi, kita mau masuk atau... diem aja di pinggir jalan kayak gini?” tanya Avicenna.Charlotte menoleh ke kanan, ke arah sahabatnya tersebut. Rupanya, Avicenna tengah menatapnya dengan senyum dan sorot hangat. Avicenna seolah ingin menyalurkan kekuatan kepada Charlotte. “Yuk, masuk,” ajak Charlotte seraya membalas senyuman tulus Avicenna.Avicenna mengangguk mantap. Ia menggamit pergelangan tangan Charlotte. “Aku belum pernah ke
“Oh, iya, Char, alamat lengkap rumah Eyang kamu dimana? Kita udah masuk desa Cikalong, nih!” tanya Avicenna datar namun mampu membuat Charlotte membeku. Perempuan bermanik hazel itu mengerjap. Dan benar, mereka baru saja melewati tugu selamat datang. “Char... Char... Char,” panggil Avicenna sekali lagi setelah beberapa saat Charlotte tak menyahut. Avicenna bahkan menyentuh pergelangan tangan Charlotte dengan tangan kirinya. “Hah!” Charlotte tersentak. “Ya, Sen?” tanyanya tergeragap. “Alamat rumah Eyang kamu dimana?” tanya Avicenna sekali lagi, kali ini lebih mendesak. Sesekali, ia memutar sepasang bola matanya liar ke sebelah kiri dan kanan jalan. “Itu...” tukas Charlotte gugup. “Kamu belum tahu rumah Eyangku, ya?”Dahi Avicenna mengernyit dalam. Selama mengenal Charlotte, belum pernah sekali pun ia mengunjungi rumah sang Sahabat di Indonesia. Bahkan selepas nenek Charlotte wafat, perempuan bermanik hazel itu justru ikut bers
“Wah, aromanya enak banget!” Telapak kaki kanan Avicenna baru saja menyentuh anak tangga terakhir lantai satu. Tetapi indera penciumannya sudah disapa oleh aroma lezat dari arah dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Lewat jarak tak lebih dari dua meter, ia dapat melihat meja kitchen island mungil rumahnya dipenuhi pelbagai sajian mengunggah.Charlotte mengangkat kepala, lalu menyunggingkan senyum simpul. “Ayo makan, mumpung masakannya masih hangat,” ucapnya lembut sembari menata peralatan makan ke atas meja.Avicenna menurut dan menarik sebuah stool chair. “Kamu pinter masak, keliatan enak banget!” “Mana ada! Aku gak jamin kamu bakal selamat setelah makan ini.” Charlotte terkikik. “Aku serius! Dari aroma sama tampilannya aja udah keliatan enak banget. Kamu masak apa aja, nih?” Avicenna meneliti setiap menu yang dimasak oleh Charlotte dengan saksama. “Cuma Lancashire Hotpot, Bubble and Squeak, terus ada Eton Mess di kulkas,”
“Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Charlotte ramah dengan intonasi setenang mungkin. “Wa’alaikumussalam,” balas suara di seberang. “Mbak Char! Udah sampe Bandung belum? Kok gak ngabari aku.” Suara perempuan dalam sambungan terdengar menggerutu.Charlotte terkekeh kecil. “Maaf, Mbak belum sempat buka HP. Alhamdulillah, Mbak sama Teh Senna sampai ke rumah jam delapan tadi malam,” jawabnya lugas. “Kamu gak sekolah?” “Sekolah, tapi cuma setengah hari. Aku juga baru sampe rumah, Mbak.”Charlotte mengangguk pelan kendati lawan bicaranya tak dapat melihat pergerakannya. “Gimana kabar kamu sama keluarga, sehat? Adek masih suka nangis, gak Nara?” tanyanya mengawang.Terdengar helaan napas lelah Kinara. “Masih. Kayaknya kangen, deh sama Mbak,” kekehnya.Charlotte ikut tergelak. “Masa, ah! Kayaknya Adek belum terbiasa aja di rumah,” elaknya. “Mungkin, iya. Mungkin juga kangen sama Mbak,” ujar Kinara keukeuh.Charlotte dan Kinara sama-sama tertawa. Untu