Share

Bab 4

Penulis: Aqeera Danish
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-25 03:30:59

          

           “Serius, Gita! Aku ‘kan kerja sama Ustadz dan Ibuk udah belasan tahun. Tau, gak? Dia itu santriwati kesayangan Ustadz sama Ibuk. Pas kejadian lepas hijab, Ibuk sampe ribut sendiri karena dia gak bisa dihubungi. Wong aku liat dewek gimana khawatirnya Ibuk.”

            “Masa, sih?”

            “Iya, mentang-mentang cantik sama pinter, dia tetep dipuji banyak orang, dibela sama Ibuk dan temen-temen sekelasnya dulu. Padahal udah malu-maluin Ma’had banget!”

           “Tapi pantes dapet pujian Mbak Pur. Gita liat di berita, kalo dia penulis sama sutradara film terkenal. Katanya, dia satu-satunya orang Indonesia yang bisa menang di ajang film Amerika yang bagus itu. Apa, yaa namanya? Sebentar Gita cek dulu  di internet.” Ada hening yang memberi jeda beberapa detik. “Ini, Golden Globe sama Oscar!”

           “Kamu tau sendiri. Anak-anak kelas Ustadz Wafiq emang pada sukses. Salah satunya santri bule itu. Wali kelas dia disini hebat-hebat. Selain Ustadz Wafiq, ada Ustadz Fajri juga. Tapi percuma cantik, pinter, kalo berani gadai agama buat dunia fana. Padahal, banyak alumni sini bisa sukses tanpa perlu lepas kerudung. Dianya aja bego, buta dunia...”

Cukup sudah! Sepasang indera pendengar sekaligus hati Charlotte mendidih mendengar percakapan para asisten rumah tangga yang sedang menggosipkan dirinya itu. Meski sindiran mereka beralasan, ia tetap saja tidak terima. Napasnya memburu dengan tangan terkepal.

Ia ingin melangkah ke sebelah, menangkap basah mereka. Tapi cekalan tangan halus mencegahnya. Charlotte menoleh ke kanan dan mendapati Avicenna tersenyum lembut. Sahabatnya itu juga mengelus-elus pergelangan tangannya berulang kali.

            “Gak usah didengerin. Mereka gak tau apa-apa. Cuma kamu yang tau, paham, dan ngerasain kepelikan yang kamu alami sendiri. Gak usah sibuk ngeladenin orang-orang negatif kayak mereka. Masih ada banyak hal yang lebih penting di hidup kamu. Masih banyak orang yang sayang sekaligus dukung kamu,” ucap Avicenna dengan nada lembut nan menenangkan.

Charlotte mengangguk mendengar kata-kata Avicenna. Ia menghela napas perlahan. Rasa dingin dari tangan basah sang sahabat cukup mampu meredam amarah yang tengah membumbung tinggi. Keduanya lekas menyelesaikan kegiatan mencuci itu. Charlotte tak ingin berdiam diri di sini lebih lama lagi.

Avicenna yang peka dengan perubahan suasana hati Charlotte sontak pamit undur diri. Setelah berbincang beberapa patah kata bersama Nurul, Avicenna segera menarik Charlotte dari sana.

********************

            “Are you alright?” tanya Avicenna hati-hati. Ia memiringkan tubuh ke kiri agar dapat melihat wajah Charlotte yang menekuk sejak pulang dari rumah Wafiq.

Charlotte tak berkutik sedikit pun. Ia tetap setia di posisi telentangnya, menahan rinai air mata yang siap melesak dari sangkarnya hingga sepasang kelopak itu memanas. “Yeah, I’m good.” Ia menjawab tenang dan datar sekali, seolah tidak ada rasa maupun emosi dalam intonasinya.

Terdengar helaan napas berat Avicenna. “Char, jangan dimasukin ke hati kata-kata mereka tadi, ya?” pintanya lirih. Charlotte tak bergeming seinci pun. Di tengah pencahayaan temaram kamar, Avicenna melihat sahabatnya memejamkan mata rapat-rapat. Tapi ia tahu, Charlotte belum terlelap sama sekali. “Besok, pagi-pagi, ke pasar, yuk! Cari jajan,” ajaknya.

Rupanya, kalimat terakhir Avicenna mampu memantik atensi Charlotte. Perempuan itu sontak menyamping, menghadap ke ranjang di sebelah kanannya. Senyum di bibir tipisnya mengembang indah. “Pasar yang deket alun-alun kantor kecamatan?” tanya Charlotte antusias.

            “Hm,” sahut Avicenna singkat.

            “Ih, mauuu! Pengen beli jajan pasar yang ada di sana, Sen. Getuk langganan kita.”

Avicenna terkikik geli. “Iya, besok kita beli cenil, lupis, nagasari, bolu kukus, pukis, lumpia telor, sarang burung, semua yang kamu mau, deh!”

            “Iya, kita beli semua macemnya. Aku kangen jajan pasar,” tukas Charlotte semangat.

            “Iya, iya. Sekarang tidur, biar besok gak kesiangan pergi ke pasarnya,” titah Avicenna.

********************

            “Guys, aku titip Aisyah bentar.” Naya berkata dengan wajah resah. “Khalisa pengen buang air kecil,” ucapnya seraya menggamit sang putri sulung yang tampak gelisah.

Charlotte dan Avicenna yang keasyikan memilih jajanan tradisional di pasar kontan menoleh ke tempat Naya berdiri. “Kamu mau bawa dia kemana?” tanya Charlotte celingukan mencari keberadaan toilet umum.

Sementara Avicenna menimang-nimang Aisyah yang digendongnya sejak dari wisma. Bayi sembilan bulan itu mulai gusar karena kegerahan. Ia sesekali merengek kecil dan minta diturunkan dari gendongan. Avicenna selalu sigap menepuk-nepuk punggung dan bokongnya.

            “Itu, di musala sebelah sana,” tukas Naya menunjuk ke arah belakang mereka berdiri.

Charlotte mengangguk. “Nanti kita nyusul, ini bentar lagi selesai. Chat aja kalo ada apa-apa,” ujarnya. Naya dan sang putri segera beranjak meninggalkan Charlotte, Avicenna, dan Aisyah.

            “Char, list yang kamu mau, udah kebeli semua?” tanya Avicenna pelan. Dalam gendongan jarik, sepasang manik mungil Aisyah menatap sayu dan kelopaknya mulai menyipit.

            “Hum,” jawab Charlotte singkat. Ia mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menunjukkan betapa banyak belanjaan mereka di pasar pagi ini. Selain nostalgia kuliner khas Jawa Timur, perempuan itu juga membeli rempah kering guna dibawa pulang ke London.

Avicenna menggelengkan kepala melihat tas-tas belanja warna-warni yang digenggam sepasang tangan Charlotte. Banyak sekali! “Ya, udah, kita susul Mbak Naya sama Khalisa, yuk!”

            “Lho, belanjanya udah selesai?” heran Naya melihat kedua temannya menyusul ke musala. Kedua tangannya cekatan membantu Khalisa memasang kaos kaki dan sepatu.

Avicenna terkekeh jahil. “Udah, Mbak Nay. Liat, sepasar dia borong semua,” ujarnya melirik Charlotte yang kesulitan membawa tas belanjaan dan shoulder bag bersamaan.

Charlotte mencebik. “Ish, kayak kamu gak belanja banyak. Ini hampir setengahnya punya kamu!” ketus perempuan keturunan Eropa-Indonesia itu. Meski jengkel, ia tetap tertawa kecil.

Naya tak habis pikir, waktu sepuluh tahun tidak merubah keduanya sama sekali. Di matanya, Charlotte dan Avicenna tetaplah duo tengil yang hobi ngemil. “Gak ada yang mau dibeli lagi, ‘kan? Kalo gak ada, pulang, yuk! Bapaknya anak-anak udah nungguin dari tadi.”

            “Ayo, aku udah pesen ojol. Mobilnya parkir di depan pasar,” balas Charlotte.

Lima perempuan beda generasi itu berjalan beriringan menuju pintu keluar. Naya membawa beberapa kantung belanjaan dari tangan Charlotte sambil menggandeng telapak mungil Khalisa. Sementara Avicenna membawa tas kresek yang ringan. Namun, langkah mereka terhenti saat melihat kerumunan tepat di samping pintu keluar-masuk pasar. Kelimanya mendekat.

            “Ngapunten, Bapak, Ibuk, ini ada apa?” tanya Naya menggunakan bahasa Jawa Inggil.

            “Iki, Mbak, ada ibu-ibu pingsan. Sendirian lagi,” ujar salah satu dari mereka.

Charlotte, Avicenna, dan Naya membelalak saat tiga pasang netra mereka tertumbuk di titik pusat keramaian yang menampakkan seraut wajah yang cukup familier. Astaga!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Titipan   Bab 45

    “Ruby seneng, bisa balik ke rumah ini, ke kamar Ruby dulu. Makasih Uwak,” sahutnya dengan suara bergetar. Ada debaran gila ketika akhirnya ia dapat menyebut nama keramat itu lagi.Lilis menaik-turunkan kepala dan mengulas senyum haru. “Uwak yang harus bilang makasih ke Neng. Neng Ruby udah mau pulang lagi ke sini, gak lupa sama Uwak, sama Eyang. Padahal, Neng udah sukses di luar negeri. Tapi, gak malu punya keluarga di Pangalengan.” Kini, sebelah tangannya menangkup pipi sementara tangan lain menggenggam tangan sang Keponakan.Astaga! Charlotte tidak pernah memiliki pemikiran seperti itu. Bagaimana pun, Indonesia merupakan identitasnya, separuh bagian dari keutuhan dirinya. Indonesia adalah kampung halamannya. Ia sempat sengaja menampik itu semua karena perasaan malu yang tak berdasar. Ya, malu karena tindakan cerobohnya di masa lalu. Padahal, di sini semuanya baik-baik saja.Tanpa sadar, setetes bulir bening lolos dari pelupuk mata Charlotte. “Kenapa harus malu? Padahal Ruby yang udah

  • Suami Titipan   Bab 44

    “Char, kamu gak apa-apa... kalau aku tinggal sendiri? Kalau kamu belum siap, ikut pulang lagi, yuk! Bilang aja ke Uwak kamu kita ada acara Ma’had,” ujar Avicenna memastikan.Charlotte tersenyum manis untuk meredakan kekhawatiran yang terpancar jelas dari wajah dan perkataan Avicenna. “Kamu tenang aja, aku bakalan baik-baik di sini,” jawabnya tenang.Avicenna menatap Charlotte intens. Lalu, perhatiannya beralih ke dalam toko di mana paman sahabatnya tengah serius meladeni pembeli. “Kalau ada apa-apa, cepet kabari aku, ya?” pintanya. “Pasti!” Charlotte mengangguk mantap. “Tenang aja, kamu ninggalin aku di rumah keluarga sendiri. Bukan di kandang harimau!” kelakar perempuan bermanik hazel tersebut. “Iya, sih. Tapi... aku tetep khawatir,” aku Avicenna jujur pada akhirnya. “Everything’s gonna be ok. Kamu cepetan pulang. Mau ke rumah Ibu, kan? Berangkat sana, takut kemaleman. Bahaya!” ujar Charlotte dengan nada risau yang teramat kentara.Avicenna hendak m

  • Suami Titipan   Bab 43

    “Wow, that’s a huge crowd,” gumam Charlotte demi melihat keramaian di depan sana.Avicenna memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana. “Woah, kalau aku tinggal di sini, dan doyan protein hewani, bisa sehat wal afiat, nih!” Perempuan itu berkata heboh tanpa berkedip.Dahi Charlotte mengkerut dalam menanggapi tingkah sang Sahabat. Bukan kesal apalagi malu. Sampai saat ini, setelah lebih dari lima belas tahun bersama, ia selalu terkaget-kaget dengan ke-random-an Avicenna. Perempuan manis itu hobi sekali melakukan hal tak terduga nan lucu. “Jadi, kita mau masuk atau... diem aja di pinggir jalan kayak gini?” tanya Avicenna.Charlotte menoleh ke kanan, ke arah sahabatnya tersebut. Rupanya, Avicenna tengah menatapnya dengan senyum dan sorot hangat. Avicenna seolah ingin menyalurkan kekuatan kepada Charlotte. “Yuk, masuk,” ajak Charlotte seraya membalas senyuman tulus Avicenna.Avicenna mengangguk mantap. Ia menggamit pergelangan tangan Charlotte. “Aku belum pernah ke

  • Suami Titipan   Bab 42

    “Oh, iya, Char, alamat lengkap rumah Eyang kamu dimana? Kita udah masuk desa Cikalong, nih!” tanya Avicenna datar namun mampu membuat Charlotte membeku. Perempuan bermanik hazel itu mengerjap. Dan benar, mereka baru saja melewati tugu selamat datang. “Char... Char... Char,” panggil Avicenna sekali lagi setelah beberapa saat Charlotte tak menyahut. Avicenna bahkan menyentuh pergelangan tangan Charlotte dengan tangan kirinya. “Hah!” Charlotte tersentak. “Ya, Sen?” tanyanya tergeragap. “Alamat rumah Eyang kamu dimana?” tanya Avicenna sekali lagi, kali ini lebih mendesak. Sesekali, ia memutar sepasang bola matanya liar ke sebelah kiri dan kanan jalan. “Itu...” tukas Charlotte gugup. “Kamu belum tahu rumah Eyangku, ya?”Dahi Avicenna mengernyit dalam. Selama mengenal Charlotte, belum pernah sekali pun ia mengunjungi rumah sang Sahabat di Indonesia. Bahkan selepas nenek Charlotte wafat, perempuan bermanik hazel itu justru ikut bers

  • Suami Titipan   Bab 41

    “Wah, aromanya enak banget!” Telapak kaki kanan Avicenna baru saja menyentuh anak tangga terakhir lantai satu. Tetapi indera penciumannya sudah disapa oleh aroma lezat dari arah dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Lewat jarak tak lebih dari dua meter, ia dapat melihat meja kitchen island mungil rumahnya dipenuhi pelbagai sajian mengunggah.Charlotte mengangkat kepala, lalu menyunggingkan senyum simpul. “Ayo makan, mumpung masakannya masih hangat,” ucapnya lembut sembari menata peralatan makan ke atas meja.Avicenna menurut dan menarik sebuah stool chair. “Kamu pinter masak, keliatan enak banget!” “Mana ada! Aku gak jamin kamu bakal selamat setelah makan ini.” Charlotte terkikik. “Aku serius! Dari aroma sama tampilannya aja udah keliatan enak banget. Kamu masak apa aja, nih?” Avicenna meneliti setiap menu yang dimasak oleh Charlotte dengan saksama. “Cuma Lancashire Hotpot, Bubble and Squeak, terus ada Eton Mess di kulkas,”

  • Suami Titipan   Bab 40

    “Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Charlotte ramah dengan intonasi setenang mungkin. “Wa’alaikumussalam,” balas suara di seberang. “Mbak Char! Udah sampe Bandung belum? Kok gak ngabari aku.” Suara perempuan dalam sambungan terdengar menggerutu.Charlotte terkekeh kecil. “Maaf, Mbak belum sempat buka HP. Alhamdulillah, Mbak sama Teh Senna sampai ke rumah jam delapan tadi malam,” jawabnya lugas. “Kamu gak sekolah?” “Sekolah, tapi cuma setengah hari. Aku juga baru sampe rumah, Mbak.”Charlotte mengangguk pelan kendati lawan bicaranya tak dapat melihat pergerakannya. “Gimana kabar kamu sama keluarga, sehat? Adek masih suka nangis, gak Nara?” tanyanya mengawang.Terdengar helaan napas lelah Kinara. “Masih. Kayaknya kangen, deh sama Mbak,” kekehnya.Charlotte ikut tergelak. “Masa, ah! Kayaknya Adek belum terbiasa aja di rumah,” elaknya. “Mungkin, iya. Mungkin juga kangen sama Mbak,” ujar Kinara keukeuh.Charlotte dan Kinara sama-sama tertawa. Untu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status