Charlotte tak menyangka, keputusannya ‘pulang’ ke Tanah Air setelah satu dasawarsa berlalu akan menjungkir-balikkan dunianya, mengubah jalan takdirnya, hingga merekacipta hidupnya. Nyaris tiga dekade meniti hidup, ia tak pernah berpikir sama sekali akan jatuh ke dalam pelukan gurunya sendiri, seorang ustadz madamat pondok yang terpaut jarak usia teramat jauh darinya. Fajri, sosok ustadz kader berkarisma yang mewakafkan diri seutuhnya ke bumi Darussalam. Kemalangan hidup mengantarkannya ke mahligai pernikahan tanpa cinta. Laki-laki dingin nan pendiam itu akhirnya menemukan kedamaian dalam Ma’had sekaligus diri santriwatinya sendiri. Namun sayang, ia harus menekan rasa dalam sebuah ikatan sakral bersama perempuan lain.
View More“Haruskah kamu pergi kali ini, Honey?”
Charlotte menghentikan gerakan jemarinya yang tengah menutup zipper clutch bag khusus berisi visa, paspor, dan dokumen penting lain. Perempuan itu mengalihkan perhatian ke arah lantai, ia mendesah perlahan. “Luke, please, kita sudah membahas hal ini sepanjang hari. Keputusanku tidak dapat diganggu gugat, aku harus pergi,” ucapnya lirih dengan intonasi pasti.
Luke mendengus kasar. “Well, aku tahu. Tapi untuk apa kamu pergi? Lagipula, saat kamu sampai ke sana, dia sudah dikebumikan. Kamu tidak akan melihatnya.” Laki-laki berusia 33 tahun itu bangkit meninggalkan koper yang tengah ia bereskan di lantai. Ia melangkah gontai ke arah tempat tidur dimana Charlotte berada dan duduk tepat di samping sang gadis.
“Setidaknya, aku bisa melihat pusaranya, bertemu dengan pihak keluarga. Mengucapkan bela sungkawa dan mendoakannya langsung,” kukuh Charlotte tak ingin goyah.
Luke menggeleng pelan. “Ok, aku hargai ketulusanmu itu. Tetapi, apakah kamu akan disambut baik di sana? It’s been ten years, Darl! Apakah semuanya akan sama seperti dulu? Apalagi setelah semua hal yang kamu lewati selama ini? Apa mereka bisa menerimamu dengan tangan terbuka? Pikirkan semua itu, Lottie!” cecar Luke frustrasi.
“Dan lagi, jika alasanmu hanya ingin melihat pusaranya, kamu bisa melihatnya nanti. Saat kamu pergi ke sana untuk menghadiri reuni akbar satu abad. Itu hanya berjarak enam bulan dari sekarang,” sambung Luke keras kepala. Pemuda jangkung itu lagi-lagi mendesah kasar.
Charlotte menatap dalam sepasang manik biru laut milik Luke. “Listen, aku tidak akan mengulanginya lagi setelah ini. Mendiang dan istrinya adalah orang baik. Mereka memperlakukanku seperti anak sendiri. Mereka mau memahamiku yang berbeda dari anak lain. Bahkan, mereka tetap memberikan cinta dan dukungan saat aku membuat keputusan yang mengecewakan seluruh keluarga dan sahabat di sana,” ucapnya dengan suara bergetar. Sepasang mata dengan pupil hazel yang indah itu mulai mengembun oleh cairan.
Laki-laki berambut pirang itu mengangguk. Ia luluh. Kedua tangannya menyelipkan surai golden brown Charlotte yang tersulur di dua sisi pipi ke balik cuping telinga. Telapak tangan kokoh itu berakhir bertengger di dua bahu sempit sang kekasih. “Forgive me, sweetheart. Aku hanya khawatir padamu,” lirihnya. “Aku... hanya ketakutan,” aku Luke dengan jujur.
“Why?” Kening Charlotte mengernyit bingung mendengar pengakuan pujaan hatinya.
Luke meremas lembut sepasang bahu Charlotte. Ia meneliti manik indahnya intens. “Entah ini hanya perasaanku saja atau memang firasat buruk. Aku takut kamu tidak pulang. Aku takut kamu tidak kembali ke pelukanku setelah melakukan perjalanan ini. Apalagi setelah melihat isi kopermu, ada banyak sekali busana panjang dan penutup kepala di dalamnya,” ucapnya sendu.
Charlotte mengulas senyum hangat. “Hey, kamu bicara apa? Aku pasti kembali secepat mungkin. Anggap saja aku sedang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melakukan syuting seperti biasa. Setelah proses pengambilan gambar selesai, aku pasti pulang. Aku akan secepatnya kembali ke sini bahkan sampai kamu tidak menyadari kepergianku,” ujarnya riang.
Luke menatap seraut wajah cantik di depannya. Mencari kebohongan atau keraguan di sana. Beruntungnya, ia hanya melihat kejujuran dan kesungguhan yang mendamaikan hatinya. Refleks ia merengkuh tubuh sang kekasih dalam dekapan erat. “Promise?” tagihnya menuntut.
Charlotte terkesiap. Bukan kali ini saja Luke memeluknya seperti ini. Tapi tetap saja, gadis itu tidak terbiasa, dan memang membatasi skinship yang berlebihan. Mereka belum terikat janji sakral. Mereka tidak diperbolehkan berduaan apalagi bersentuhan. Itu pikirnya.
Sejauh apapun perempuan 28 tahun itu melangkah, sebanyak apapun melanggar dan tidak menjalankan perintah ataupun ajaran, serumit apapun jalannya yang tersesat, ia masih memegang teguh keyakinan yang dianutnya. Terutama dalam hal berhubungan dengan lawan jenis.
Namun malam ini, Charlotte membalas pelukan Luke. Ia dapat merasakan dekapan itu benar-benar menawarkan kehangatan dan kenyamanan. Laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama tujuh tahun itu hanya sedang menyalurkan sebentuk rasa cinta dan kasih sayang.
“Promise. I’ll be home soon,” desis Charlotte tepat di samping telinga Luke yang tengah melabuhkan kepala di pundak kirinya. Ia mengelus punggung bidang nan kokoh laki-laki itu untuk meredam ketakutan, keresahan, dan segala ketidaknyamanan dalam diri kekasihnya.
Pelukan hangat dalam dinginnya angin awal musim gugur itu bertahan hingga bermenit-menit lamanya. Tubuh Charlotte tiba-tiba tersentak kala sebuah benda kenyal mengecupi batang lehernya. Benda lembut itu bahkan tak segan menyesap kuat-kuat kulit di bagian ceruknya.
Napas perempuan itu memburu gelisah. Sepasang tangannya refleks terulur ke depan, menekan dada berotot Luke, lalu mendorongnya pelan. “Please, jangan seperti ini. Kita sudah sepakat,” ucapnya penuh penekanan. “Sorry, I don’t feel right about this,”
Luke terbisu menatap Charlotte yang menunduk dalam. “Ok, I appreciate it. Jadi, mari kita menikah secepat mungkin,” ajaknya antusias. Ia tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi.
Charlotte membeku. Ia semakin ragu mengangkat wajahnya. Gadis itu akhirnya bangkit dari pembaringan lalu berdiri memunggungi Luke. “Ini sudah larut malam. Maaf, kamu harus pulang. Lagipula, aku ingin istirahat. Jadwal penerbangan pesawatku pagi-pagi sekali,” ucapnya berjongkok seraya membereskan luggage dan carry-on baggage yang masih berserak di lantai.
Laki-laki itu terpaku lalu mendesahkan napasnya pelan. “Baik, aku pulang dulu. Besok, jangan pesan taksi. Aku yang akan mengantarmu ke bandara,” titah Luke sembari melangkah keluar dari kamar Charlotte dengan lunglai. Ia melewati gadisnya begitu saja tanpa ucapan selamat malam.
********************
Pagi-pagi sekali Luke sudah tiba di kediaman Charlotte. Perempuan itu menyempatkan diri membuat garlic toast, salmon panggang, salad, dan espresso untuk sarapan mereka berdua. Obrolan semalam yang berakhir tidak baik rupanya bertahan hingga pagi hari.
Tetapi. rasa cinta Luke untuk Charlotte terlampau besar daripada rasa kesalnya. Ia tidak bisa membiarkan gadisnya kesulitan menyetir atau menaiki taksi komersil, hingga membawa koper besar sendirian. Setidaknya saat sang kekasih masih di sini. Masih ada dalam jangkauannya.
“Tunggu aku pulang,” ujar Charlotte saat Luke menurunkannya di drop point.
Laki-laki di belakang kemudi itu hanya mengangguk sekilas dengan tatapan lurus ke depan. Sebelum kebisuan ini, Luke selalu menunggui jadwal keberangkatan Charlotte meski hanya tinggal sepersekian detik. Laki-laki itu selalu menanti moda transportasi yang dinaiki kekasihnya pergi. Tapi kali ini tidak. Ia lekas memacu kuda besinya keluar dari teras bandara.
Seiring deru mesin pesawat yang lepas landas meninggalkan Heathrow International Airport, pikiran Charlotte mengawang jauh ke atas sana. Penampakan kota London yang dihiasi pencakar langit, istana, dan gedung-gedung megah lainnya kian kabur bersamaan dengan perasaannya yang lebur. Sudah tepatkah langkahnya kali ini? Pantaskah ia ‘pulang’ setelah sekian lama?
“Ruby seneng, bisa balik ke rumah ini, ke kamar Ruby dulu. Makasih Uwak,” sahutnya dengan suara bergetar. Ada debaran gila ketika akhirnya ia dapat menyebut nama keramat itu lagi.Lilis menaik-turunkan kepala dan mengulas senyum haru. “Uwak yang harus bilang makasih ke Neng. Neng Ruby udah mau pulang lagi ke sini, gak lupa sama Uwak, sama Eyang. Padahal, Neng udah sukses di luar negeri. Tapi, gak malu punya keluarga di Pangalengan.” Kini, sebelah tangannya menangkup pipi sementara tangan lain menggenggam tangan sang Keponakan.Astaga! Charlotte tidak pernah memiliki pemikiran seperti itu. Bagaimana pun, Indonesia merupakan identitasnya, separuh bagian dari keutuhan dirinya. Indonesia adalah kampung halamannya. Ia sempat sengaja menampik itu semua karena perasaan malu yang tak berdasar. Ya, malu karena tindakan cerobohnya di masa lalu. Padahal, di sini semuanya baik-baik saja.Tanpa sadar, setetes bulir bening lolos dari pelupuk mata Charlotte. “Kenapa harus malu? Padahal Ruby yang udah
“Char, kamu gak apa-apa... kalau aku tinggal sendiri? Kalau kamu belum siap, ikut pulang lagi, yuk! Bilang aja ke Uwak kamu kita ada acara Ma’had,” ujar Avicenna memastikan.Charlotte tersenyum manis untuk meredakan kekhawatiran yang terpancar jelas dari wajah dan perkataan Avicenna. “Kamu tenang aja, aku bakalan baik-baik di sini,” jawabnya tenang.Avicenna menatap Charlotte intens. Lalu, perhatiannya beralih ke dalam toko di mana paman sahabatnya tengah serius meladeni pembeli. “Kalau ada apa-apa, cepet kabari aku, ya?” pintanya. “Pasti!” Charlotte mengangguk mantap. “Tenang aja, kamu ninggalin aku di rumah keluarga sendiri. Bukan di kandang harimau!” kelakar perempuan bermanik hazel tersebut. “Iya, sih. Tapi... aku tetep khawatir,” aku Avicenna jujur pada akhirnya. “Everything’s gonna be ok. Kamu cepetan pulang. Mau ke rumah Ibu, kan? Berangkat sana, takut kemaleman. Bahaya!” ujar Charlotte dengan nada risau yang teramat kentara.Avicenna hendak m
“Wow, that’s a huge crowd,” gumam Charlotte demi melihat keramaian di depan sana.Avicenna memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana. “Woah, kalau aku tinggal di sini, dan doyan protein hewani, bisa sehat wal afiat, nih!” Perempuan itu berkata heboh tanpa berkedip.Dahi Charlotte mengkerut dalam menanggapi tingkah sang Sahabat. Bukan kesal apalagi malu. Sampai saat ini, setelah lebih dari lima belas tahun bersama, ia selalu terkaget-kaget dengan ke-random-an Avicenna. Perempuan manis itu hobi sekali melakukan hal tak terduga nan lucu. “Jadi, kita mau masuk atau... diem aja di pinggir jalan kayak gini?” tanya Avicenna.Charlotte menoleh ke kanan, ke arah sahabatnya tersebut. Rupanya, Avicenna tengah menatapnya dengan senyum dan sorot hangat. Avicenna seolah ingin menyalurkan kekuatan kepada Charlotte. “Yuk, masuk,” ajak Charlotte seraya membalas senyuman tulus Avicenna.Avicenna mengangguk mantap. Ia menggamit pergelangan tangan Charlotte. “Aku belum pernah ke
“Oh, iya, Char, alamat lengkap rumah Eyang kamu dimana? Kita udah masuk desa Cikalong, nih!” tanya Avicenna datar namun mampu membuat Charlotte membeku. Perempuan bermanik hazel itu mengerjap. Dan benar, mereka baru saja melewati tugu selamat datang. “Char... Char... Char,” panggil Avicenna sekali lagi setelah beberapa saat Charlotte tak menyahut. Avicenna bahkan menyentuh pergelangan tangan Charlotte dengan tangan kirinya. “Hah!” Charlotte tersentak. “Ya, Sen?” tanyanya tergeragap. “Alamat rumah Eyang kamu dimana?” tanya Avicenna sekali lagi, kali ini lebih mendesak. Sesekali, ia memutar sepasang bola matanya liar ke sebelah kiri dan kanan jalan. “Itu...” tukas Charlotte gugup. “Kamu belum tahu rumah Eyangku, ya?”Dahi Avicenna mengernyit dalam. Selama mengenal Charlotte, belum pernah sekali pun ia mengunjungi rumah sang Sahabat di Indonesia. Bahkan selepas nenek Charlotte wafat, perempuan bermanik hazel itu justru ikut bers
“Wah, aromanya enak banget!” Telapak kaki kanan Avicenna baru saja menyentuh anak tangga terakhir lantai satu. Tetapi indera penciumannya sudah disapa oleh aroma lezat dari arah dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Lewat jarak tak lebih dari dua meter, ia dapat melihat meja kitchen island mungil rumahnya dipenuhi pelbagai sajian mengunggah.Charlotte mengangkat kepala, lalu menyunggingkan senyum simpul. “Ayo makan, mumpung masakannya masih hangat,” ucapnya lembut sembari menata peralatan makan ke atas meja.Avicenna menurut dan menarik sebuah stool chair. “Kamu pinter masak, keliatan enak banget!” “Mana ada! Aku gak jamin kamu bakal selamat setelah makan ini.” Charlotte terkikik. “Aku serius! Dari aroma sama tampilannya aja udah keliatan enak banget. Kamu masak apa aja, nih?” Avicenna meneliti setiap menu yang dimasak oleh Charlotte dengan saksama. “Cuma Lancashire Hotpot, Bubble and Squeak, terus ada Eton Mess di kulkas,”
“Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Charlotte ramah dengan intonasi setenang mungkin. “Wa’alaikumussalam,” balas suara di seberang. “Mbak Char! Udah sampe Bandung belum? Kok gak ngabari aku.” Suara perempuan dalam sambungan terdengar menggerutu.Charlotte terkekeh kecil. “Maaf, Mbak belum sempat buka HP. Alhamdulillah, Mbak sama Teh Senna sampai ke rumah jam delapan tadi malam,” jawabnya lugas. “Kamu gak sekolah?” “Sekolah, tapi cuma setengah hari. Aku juga baru sampe rumah, Mbak.”Charlotte mengangguk pelan kendati lawan bicaranya tak dapat melihat pergerakannya. “Gimana kabar kamu sama keluarga, sehat? Adek masih suka nangis, gak Nara?” tanyanya mengawang.Terdengar helaan napas lelah Kinara. “Masih. Kayaknya kangen, deh sama Mbak,” kekehnya.Charlotte ikut tergelak. “Masa, ah! Kayaknya Adek belum terbiasa aja di rumah,” elaknya. “Mungkin, iya. Mungkin juga kangen sama Mbak,” ujar Kinara keukeuh.Charlotte dan Kinara sama-sama tertawa. Untu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments