Swasti membeku. Rasanya ada batu besar yang menghantam kepalanya. Uang gaji milik Andra bukan menjadi miliknya, melainkan diberikan pada ibunya. Semua?“Tapi, Ndra. Di gaji kamu itu juga ada hak aku sebagai istrimu. Kok kamu kasih semua ke mamamu sih?” protes Swasti kesal.Swasti yang marah, melempar sendok ke atas piring hingga menimbulkan bunyi berdenting. Yang tentu saja menarik perhatian dari suaminya. Juga, tanpa diduga Andin mendengar ucapan Swasti yang minta uang gaji.“Swasti, kamu ‘kan punya gaji sendiri. Kenapa kamu repot urusi gaji Andra. Kalau kamu mau beli sesuatu, ya beli aja. Kamu kerja juga,” sela Andin seraya menggeser sebuah kursi untuknya duduk.Mendengar ucapan ibu mertuanya, Swasti naik pitam. Bukan masalah punya uang atau tidak, tapi dia sedang menanyakan haknya sebagai istri.“Tapi, aku istrinya Andra, Ma. Jadi wajar dong kalau minta uang. Aku berhak juga!” teriak Swasti.Suasana semakin menegang saat keduanya tidak ada yang mau mengalah. Tetap berpegang pada pe
Swasti terdiam. Dia merasa terpojok oleh situasi. Ibu mertuanya terus mencecarnya tanpa henti perihal kewajiban istri. Sedangkan Andra tetap diam seolah sedang menyaksikan drama rumah tangga di televisi. Tak bergeming sedikitpun.“Kalau kaya gitu percuma dong Andra jadikan kamu sebagai istrinya. Buat apa kalau istri cuma tugas di ranjang aja!” seru Andin.Kalimat yang diucapkan Andin cukup sederhana, tapi mampu membuat Swasti terasa tertampar. Dia berdecak kesal, baru beberapa jam dia terlelap, kini harus bangun hanya untuk masalah sepele.“Ma, tanpa mengurangi rasa hormatku sama Mama, aku bener-bener capek, kerja pulang malam. Dan aku harus berangkat kerja siang. Jadi aku harus tidur sehat supaya nggak ngantuk di tempat kerja.” Swasti membela diri.Alih-alih puas dengan jawaban menantunya, Andin justru bertambah kesal karena menurutnya alasan Swasti terlalu dibuat-buat.“Itu resiko kamu sebagai istri yang bekerja. Jangan jadikan kerjaan sebagai alasan kamu mangkir dari tugas sebagai
Kejadian kemarin membuat hubungan Benua dan Kahiyang menjadi lebih dekat. Kahiyang juga tidak sungkan bertanya tentang pria yang bernama Shenzhen tersebut. Mau tidak mau Benua menceritakan siapa dan hubungannya dengan Benua.“Dia tinggal di kamar bawah. Mungkin dia pernah liat kamu keluar dari kamar ini. Itu sebabnya aku nggak ijinin kamu buat sembarangan keluar kamar. Karena aku nggak mau terjadi sesuatu hal yang nggak diinginkan,” terang Benua.“Jadi semua penghuni rumah ini semuanya laki-laki?” tanya Kahiyang dengan mata membola. Tak disangka, peraturan yang menjadikannya seperti burung dalam sangkar ternyata karena untuk melindungi dirinya dari mata jahat pria lain. Kahiyang merasa bersalah karena sudah berprasangka buruk pada Benua.Semua yang mengganjal di hati Kahiyang, sudah dia luapkan dan mendapat jawaban dari Benua. Tak ada lagi prasangka pada pria itu. Membuat hati Kahiyang terasa lega dan lebih legowo menerima Benua menjadi suaminya.Pembicaraan malam itu cukup intens, m
Kahiyang merasa seperti orang bodoh pada saat ini. Tangannya mengepal erat, napasnya memburu. Dia mencoba menarik napasnya dalam-dalam. Berharap jika emosinya tidak meluap dan meledak.“Kamu lihat ‘kan tumpukan uang itu?” ucap prianitu seraya menunjuk tumpukan uang di atas meja. “Semua itu akan jadi milikmu kalau kamu bisa buat kami puas dengan pelajaranmu.”Lagi, Kahiyang mengepalkan tangannya. Kesabarannya sudah berada di ambang batas. Ditambah ocehan-ocehan para pria itu bagai bensin yang disiram ke bara api di hatinya, dan berhasil membakar amarahnya.“Aku juga penasaran bagaimana kamu bisa membuat Benua bertekuk lutut di bawah kakimu sampai dia tega nggak berbagi dengan kami.”Deg!Ucapan pria itu seperti pisau tajam yang tiba-tiba menusuk jantung Kahiyang. Otaknya membeku sesaat. Benua? Bagaimana mereka mengenal Benua? Apa hubungan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di dalam otaknya.“Maaf, kalau begitu aku mengundurkan diri saja. Lagi pula kita belum membuat kesepakat
Apa dia begitu bahagia sudah menikah dengan calon suamiku? Pertanyaan itu muncul begitu saja dalam pikirannya. Meskipun bibirnya tak berucap, namun gerakan mata dan gestur tubuhnya seolah mengatakan jika Swasti tengah berbohong.“Buat apa aku bohong sama kamu? Apa perlu aku sampai melakukan sandiwara menyedihkan seperti itu?” tukas Swasti dengan nada sedikit tinggi. Egonya sedikit tersentil karena Kahiyang tidak terprovokasi dengan semua yang dipamerkan padanya.“Apa ada aku bilang kalau kamu sedang bohong? Aku juga nggak bilang kamu lagi bersandiwara. Mau Andra belikan kamu pesawat jet atau apapun itu, kamu pikir aku akan peduli?” sarkas Kahiyang yang memicu amarah Swasti.Netra Swasti menatap tajam ke arah Kahiyang. Tangannya mengepal, terdengar juga napas yang membu serta rahangnya menegang. Sepertinya dia tidak terima dengan respon yang diberikan oleh Kahiyang.Swasti menyilangkan kedua tangannya di depan dada bersikap angkuh. Tapi sekali lagi, Kahiyang tidak terpancing dengan se
“Aku tahu kalau Swasti membencimu, tapi aku bener-bener nggak nyangka kalau dia tega berbuat seperti itu sama kamu,” tukas Laras membuyarkan lamunan Kahiyang.Benar, Kahiyang sendiri tidak pernah menyangka kalau Swasti tega padanya. Entah apa yang memicu keberanian itu di pikiran Swasti. “Seyakin apapun perasaanku, aku nggak punya bukti buat meyakinkan orang tuaku kalau aku benar-benar tidak melakukan hal itu,” sesal Kahiyang.Dia tertunduk, memainkan ibu jarinya seperti anak kecil yang putus asa. Tapi itulah yang sedang dia rasakan saat ini. Media sosialnya dibanjiri komentar-komentar yang tidak enak dibaca. Entah darimana mereka tahu berita tersebut. Apalagi tetangga sekitar rumahnya, kabarnya Kahiyang masih saja menjadi bahan gunjingan. Dan satu lagi, kedua orang tuanya tidak percaya padanya dan bahkan mengusirnya dari rumah.Jika dipikirkan, hati Kahiyang teramatlah hancur. Dia harus menanggung kesalahan yang sama sekali tidak diperbuatnya. “Tapi aku yakin, pasti ada bukti kalau