"Cuma tempat tinggal, Sya. Jangan karena ini aja kamu mau marah juga." Aiden mengingatkan istrinya."Hahaha. Cuma Kakak bilang?" tawa Alsya terdengar renyah.Tampaknya Aiden terlalu menyelepelekan keputusannya kali ini, tanpa berbincang lebih dulu.Belum lega hatinya karena kini mereka akan tinggal bersama, Aiden justru membuat dirinya berada dalam posisi yang sangat sulit."Iya. Apa ada yang salah? Ini juga untuk kebaikan kita, dan orang tua kita yang ada di Bogor," tutur Aiden mengutarakan pemikirannya.Rongga dada Alsya terasa sesak dan penuh. Kepalanya terangkat menatap atap mobil agar air mata kemarahannya tidak tumpah.Matanya sudah terasa sakit karena terlalu banyak menangis belakangan ini.Dengan seutas senyum tipis, gadis itu melepas kasar seat belt yang melingkari tubuhnya."Terbaik menurut Kakak. Bukan Alsya. Alsya nggak mau tinggal di sini," tegas Alsya penuh penekanan.Jemari tangannya menggapai handle pintu mobil dan bergegas keluar.Langkah Alsya tergesa-gesa setelah me
Alsya terperanjat melihat sosok yang ia cari sejak tadi berdiri tepat di hadapannya, dengan kedua alis menukik tajam.Tangannya pun reflek menutup wajah. Melihat raut muka Aiden yang marah tampak begitu seram. Tak jauh berbeda dengan ekspresi ayahnya ketika marah, saat ia masih kecil dulu.“Ka-kak ngapain di belakang aku?” tanya Alsya gugup. Air muka Alsya berubah tegang, manik matanya pun terbuka sempurna dan melebar.“Yang tadi pacar kamu?”Aiden sama sekali tidak mengindahkan pertanyaan gadis di depannya. Sejak awal mendengar deru suara mobil dan motor yang mendekat, lelaki itu terus melihat dari kejauhan dan mendapati Alsya yang begitu akrab dengan pria yang sebelumnya membawa motor besar.“Kita bicara di dalam aja,” ajak Alsya menarik ujung lengan kemeja Aiden.Dia lantas menoleh ke arah Bu Yati yang masih setia berdiri di belakangnya.“Eum, Buk. Ini kakak ipar saya. Dia cuma sebentar di sini. Jadi, saya izin bawa dia ke kost dulu ya, Buk. Saya jamin nggak akan ada apa-apa. Pint
Semua cercaan Aiden memenuhi kepala Alsya. Hingga kepalanya hanya tertunduk dan memilih diam.Bukan karena merasa bersalah dan membenarkan semua ucapan suaminya. Melainkan, sudah lelah terus-menerus bertikai dengan pria di hadapannya.Hingga terlintas dalam benak Alsya, apakah almarhumah kakaknya pun pernah mendapatkan perlakuan yang sama dari seorang Aiden Danish Giovanni."Kamu denger yang aku bilang atau nggak, Sya? Jangan-jangan kamu tidur," tebak Aiden memicingkan kedua matanya dan memegang kedua pundak Alsya.Di balik hijab yang menutupi kedua sisi wajah Alsya. Gadis itu menyunggingkan senyum tipis, kemudian mengangkat kepalanya. Hingga tatapan mereka saling bertemu dengan jarak yang begitu dekat.Alsya coba untuk mendengar irama detak jantungnya. Tetap normal seperti biasa. Tidak seperti saat Aiden masih mengisi relung hatinya dulu."Apa Kakak pernah ngomong gini juga sama Kak Key?" tanya Alsya dengan tatapan terluka. Senyum di wajahnya sama sekali tidak dapat menutupi hatinya
Langkah Alsya berubah ragu saat sepasang matanya bersitatap dengan sang pemilik masing-masing mobil di depan.Timbul rasa gugup, bimbang, juga bingung. Namun, waktu akan terus berjalan, dan ia ada kelas pagi ini.Tangan gadis itu bergerak menelusuri hijab yang sampai dadanya. Merasakan debaran jantungnya yang berpacu dengan cepat dan kuat pagi ini."Masih pagi udah ada aja yang bikin aku spot jantung," ujar Alsya sangat lirih.Akhirnya ia memberanikan diri untuk menghampiri keduanya dan bertanya, "Kalian ngapain di sini?""Nunggu kamu," jawab keduanya serentak.Alsya menunjuk diri disertai raut muka bingung. "Aku?""Iya."Lagi-lagi jawaban dua pria di hadapan sama dan sangat kompak.Bola mata gadis itu berotasi karena tidak ada yang berniat memberi jawaban lebih jelas."Ya nunggu aku ngapain? Ini aku mau ke kampus," gerutu gadis itu memasang wajah sebal."Biar aku anter!""Stop!" Alsya merentangkan kedua tangannya, lalu menatap Cakra dan Aiden bergantian.Kedua alis Alsya terangkat,
"Kak Aiden?"Alsya berlari dengan cepat menuju gerbang. Teringat akan pembicaraannya bersama Aiden barusan."Sya! Tunggu, Sya!" teriak Tania diabaikan begitu saja oleh Alsya.Kelopak mata gadis itu membelalak saat melihat sepasang mobil yang bagian depannya hancur."Kak Aiden?" tanya Alsya saat mendapati mobil sama persis dengan yang Aiden bawa pagi tadi."Nggak! Nggak mungkin!" bantah gadis itu mengusap kasar air matanya.Rasa kantuk yang semula menyerang, lenyap begitu saja. Bahkan kini tenaga Alsya terkumpul penuh untuk menembus kerumunan mahasiswa dan mahasiswi yang menutupi jalan."Kak Aiden!" teriak Alsya memanggil sang suami, dan terus mengedarkan pandangan mencari sosoknya."Hiks! Nggak mungkin dia yang kecelakaan," bantah Alsya masih berusaha untuk mengintip korban yang kini tergeletak di jalan.Ia menatap ngeri bercak darah yang berada di jalan aspal tersebut, hingga tubuhnya tiba-tiba ditarik begitu saja dari arah samping."Kak!""Tunggu di mobil, aku sudah hubungi ambulans
Pria itu terus menatap keduanya dengan sorot mata membunuh. Terutama pada Alsya. Tatapannya sarat akan rasa kebencian dan dendam.“Sya, kenapa?” tanya Aiden ketika istrinya diam mematung.Alsya terkesiap, tubuhnya seketika berputar ke arah Aiden dan membelakangi lelaki itu.“Nggak papa. Ayo pulang,” ajak Alsya menarik tangan Aiden agar segera ke mobil.Hatinya tidak tenang berada lama-lama dalam satu ruangan dengan orang yang telah membuat dirinya trauma."Kita ke apartement dulu ya, nanti baru aku antar pulang," kata Aiden menoleh ke arah Alsya yang membisu.“Sya!” Aiden menepuk pundak Alsya, sampai gadis itu terperanjat.“Bisa jangan ngagetin aku nggak kak?” berang Alsya.Melihat Alsya yang langsung marah, Aiden lebih dulu mengucap maaf sebab ia sama sekali tidak bermaksud membuat sang istri terkejut.“Habisnya kamu melamun terus. Kayak orang lagi banyak pikiran. Ada masalah apa?” tanya Aiden dengan suara lembut.“Nggak lagi mikirin apa-apa kok. Cuma ngantuk aja,” elak Alsya memali
Suasana di antara keduanya kian menegang. Hawa panas dan gerah semakin terasa setelah Aiden mendengar ucapan sang istri. Tubuhnya membeku, sebelum perlahan tatapannya berubah ragu.“Kamu nggak lagi bercanda atau nyari-nyari alasan aja kan, Sya?” tanya Aiden.“Nggak guna Alsya cari-cari alasan aja, Kak. Makanya kalo Alsya cerita dengerin dulu. Jangan maunya didenger aja,” cetus Alsya sambil mendorong tubuh Aiden serta melepas cengkeramannya.Tanpa menunggu respon dari suaminya, Alsya langsung berjalan ke arah pintu. Hendak pulang menuju kost yang ia tinggali.“Sya, tunggu! Ceritain dulu semuanya dengan jelas, Sya,” pinta Aiden berlari mendahului langkah Alsya dan merentangkan kedua tangannya. Menghalangi langkah Alsya agar tidak pergi.“Awas! Aku mau pulang,” ketusnya.Aiden menggeleng cepat. Akan tetapi ia teringat jika apartement yang ia tempati hanya dapat dibuka dan dikunci menggunakan sidik jari dan sandi. Sedang wanita di hadapannya tidak tahu sandi apartement ini.“Baik. Silakan
"Nggak jadi pulang?" tanya Aiden menyadarkan Alsya yang kini terpaku di depan pintu apartement.Gadis itu cepat-cepat berjalan keluar dan bergegas menuju lift. Meninggalkan Aiden yang terkekeh pelan melihat tingkah sang istri.Di dalam lift, Alsya terus menatap angka yang semakin lama kian turun. Tidak memperhatikan Aiden hingga mereka tiba di lantai satu.Karena Alsya yang terlalu banyak pikiran, membuat dirinya menjadi tidak fokus. Ditambah Aiden begitu suka menjahilinya.***Tepat pukul setengah sembilan malam, Alsya tiba di kost-an. Tentu dengan kehadiran Bu Yati yang sudah menunggu di dekat pagar besi yang melingkupi seluruh area kost."Kamu dari mana, Sya?" tanya Bu Yati sudah seperti seorang ibu yang menunggu kepulangan anak gadisnya."Maaf, saya terlambat mengantar Alsya pulang, Bu. Tadi ada sedikit kejadian di jalan. Jadi Alsya menemani saya," jawab Aiden mewakili.Bu Yati menatap keduanya bergantian, lalu kembali fokus pada Alsya. "Benar begitu, Sya?" tanya beliau memastikan