Share

Dipaksa Untuk Bercerai

"Apa kubilang?" sentak Fazar dengan nada suara tinggi. 

Meski demikian Amanda masih bersikap santai. Dengan tenang, ia membalas. "Aku menghentikan biaya pengobatan ibumu."

"Kenapa?" tanya Fazar menahan kekesalan dan rasa frustrasi.

"Sudah kubilang biaya pengobatannya mahal."

"Mahal?" ulang Fazar tidak percaya.

"Sebelumnya kamu tidak pernah mengeluhkan masalah ini, Amanda."

"Memang."

"Lalu? Kenapa kamu menghentikan pengobatannya? Kamu tahu bahwa ibuku sangat membutuhkan perawatan ini untuk bertahan hidup. Dan lagi, ini bukan seperti kamu membayarnya biaya pengobatan kelas atas. Ini hanya pengobatan biasa. Kenapa kamu tega sekali, Amanda?" rancau Fazar mengeluarkan uneg-uneg di hatinya. 

Oh Tuhan ... tidak bisakah sekali saja hidupnya baik tanpa ada masalah? 

Dulu saat masih menjadi Naren yang seorang pewaris kaya, Fazar dikhianati oleh Cinta yang hanya melihatnya dari harta dan kekuasaan. Sekarang pun saaat menyamar menjadi pria yang biasa-biasa saja, Fazar dikhianati oleh Cinta yang meremehkannya karena miskin.

Apakah hakikat Cinta memang selalu memandang ada apanya? Tanpa mau menerima apa adanya. Mungkin itu hanya mitos belaka.

Seharusnya sejak kematian sang bunda, Fazar mematikan perasaannya saja agar tidak lagi disakiti. Namun, sekarang sudah terlambat.

Fazar telah menjadi seorang Ayah dari dua anak. Dan ia pun harus bertanggung jawab. Akan tetapi, jika menyangkut nyawa dari manusia yang dianggapnya ibu, haruskah Fazar tetap bertahan? 

"Kenapa kamu diam saja, Amanda? Jawab pertanyaanku!" bentak Fazar lepas kendali saat istrinya tidak menjawab."

Amanda berdecih. "Untuk apa aku membiayai pengobatan ibumu, sedangkan kamu bersikap kurang ajar pada suamiku."

Fazar tertegun. "Jadi ini semua karena aku merusak pesta ulang tahun si Keparat Marvel?"

"Stop, menghina suamiku!" jerit Amanda hendak menampar Fazar, tetapi terhenti oleh dering dari ponselnya.

"Hari ini kamu beruntung, Mas. Lain kali jangan membuatku marah lagi, atau aku akan bertindak lebih dari ini."

Setelah memberikan peringatan dan ancaman, Amanda pergi meninggalkan Fazar dalam gelombang kemarahan yang memuncak. Pria bersurai sebahu itu menendang udara.

"Arghhh ... persetan."

Lalu, dia pergi untuk mengunjungi Mbok Marni.

***

"Kamu bilang pada anak sialanmu itu untuk menceraikan Amanda."

"Tapi, Bu Ajeng. Merekakan saling mencintai."

"Itu dulu. Sekarang Amanda hanya mencintai Marvel."

Sungguh, Fazar tidak menduga. Kunjungannya ke rumah Mbok Marni disambut dengan pemandangan yang memilukan. Di mana wanita tua yang selama ini menampungnya sejak keluar dari rumah, terlihat memohon-mohon pada ibu mertuanya.

Ajeng sendiri dengan pongahnya terus mendesak agar Marni mau berbicara dengan Fazat untuk segera menceraikan Amanda. Pemandangan itu sungguh membuat sakit hati, terlebih dengan adanya para tetangga yang menjadi penonton. Mereka berbisik sambil menunjuk-nunjuk Mbok Marni, terlihat menghinanya.

"Sudah cukup, Ibu. Apa yang ibu lakukan?!"

Sungguh, jika tidak ingat bahwa wanita paruh baya berpakaian mewah di depannya adalah ibu dari istrinya, Fazar merasa akan muntah memanggilnya sebagai ibu. Ingin rasanya ia mengumpat dan memanggil nama si wanita itu dengan sebutan yang paling buruk. Namun, Fazar menahannya.

Dia tidak ingin Mbok Marni kembali disalahkan dan dianggap tidak becus mendidik anak karena ketidak sopanannya. Padahal Mbok Marni hanyalah janda tua yang tidak bisa punya anak. Namun, semenjak kepindahan mereka tujuh tahun lalu, yang orang-orang kompleks perumahan Anggrek tahu, Fazar adalah putra Mbok Marni.

Sebenarnya ada alasan sendiri kenapa Fazar memilih memanjangkan rambutnya, itu untuk menyembunyikan identitas aslinya sebagai Naren. Mengingat wajahnya saat SMA dulu tercetak di majalah-majalah bisnis maupun Fahsion.

"Ah, akhirnya kamu datang juga. Ini tanda tangani berkas ini."

Ajeng menyerahkan berkas biru ke tangan Fazar yang langsung membukanya sambil bertanya. "Apa ini?"

"Surat perceraianmu dengan Amanda."

"Apa?"

Fazar terbelalak tak percaya akan pengakuan enteng sang ibu mertua. Ajeng bahkan sempat-sempatnya menyilangkan tangan santai. Seolah-olah tiada beban saat memutuskan masalah prahara di rumah tangga anaknya sendiri.

"Apa maksud, Ibu? Kenapa memutuskan hal seperti ini tanpa membicarakannya dulu denganku dan Amanda?" tanya Fazar geram dengan tingkah Ajeng yang kini sudah kelewatan batas.

Dari dulu ibu mertuanya ini memang selalu ikut campur dalam urusan rumah tangganya dengan Amanda. Dan sialannya Amanda selalu mengikuti perkataan ibunya.

Fazar jadi curiga. Jangan-hangan yang membuat Amanda setuju menikahi Marvel adalah bujuk rayu dari sang ibu mertuanya ini?

Jika memang seperti itu alasannya. Demi Tuhan, Fazar tidak akan memaafkan Ajeng. Ditambah perlakuannya kini yang terus memaksa Fazar untuk bercerai dengan Amanda.

"Tidak perlu ada pembicaraan lagi, Fazar. Kamu melihat sendirikan sikap Amanda semalam?"

"...." Fazar tidak bisa menjawab. Mau menyangkal pun terasa tidak berguna.

"Putriku sudah tidak lagi mencintaimu. Terimalah kenyataan yang ada."

"Tapi, Bu_____"

"Tenang saja, untuk masalah hak asuh anak. Kamu dan Amanda-kan memiliki dua putra-putri. Kalian bisa membawanya satu-satu."

Mendengar pernyataan itu, Fazar menggeram. "Aku tidak akan pernah memisahkan Cerry dan Ferro."

Ajeng mendengkus sinis. "Kalau begitu bawa saja keduanya. Toh, aku yakin Amanda akan kembali memberikanku Cucu dengan Marvel. Dan itu pasti lebih berkualitas darimu."

"Ibu!"

"Sudah, Fazar. Jangan membentak mertuamu seperti itu. Itu tidak baik," sahut Marni mencoba mendamaikan keadaan yang semakin memanas.

"Tapi, Mbok_____"

"Tidak apa-apa. Biar Mbok yang mengatasi ini." Marni mendorong Fazar ke sisi, sehingga kini ia berhadapan lagi dengan Ajeng.

"Tolong, Bu Ajeng juga tenang. Jangan mengambil keputusan seenaknya sendiri. Kasihan anak-anak," tutur Marni menasehati.

"Akan lebih kasihan jika aku terus membiarkan putriku memiliki suami seperti putramu," sinis Ajeng melirik Fazar tajam.

Sementara menantunya sendiri, tangannya terkepal kuat. Jika bukan karena dihalangi Mbok Marni, ia ingin sekali memukul wajah ibu mertuanya yang tidak tahu diri.

"Merupakan suatu kesalahan besar ketika aku merestui pernikahan mereka dulu. Jujur saja bagiku pernikahan antara Amnada dan Fazar itu tidak sah," pungkas Ajeng melanjutkan, membuat semua orang yang menyaksikan terkejut bukan main dengan pengakuannya.

Marni sendiri langsung beristighfar, sedangkan Fazar, wajahnya berubah memerah menahan luapan amarah.

"Astaghfirullah ... Nyebut, Bu Ajeng. Tidak baik berbicara seperti itu."

"Alah, kamu pun sama menjijikkannya. Tidak sederajat aku berbesan denganmu," cetus Ajeng lalu mendorong Marni sampai terantuk membentur aspal jalan.

"Mbok Marni!" Fazar berteriak panik dan segera memangku kepala wanita yang telah dianggapnya ibu di pahanya.

Sementara Ajeng, bukannya merasa bersalah justru kembali mengancam. "Ini barulah permulaan Fazar. Jika kamu masih kekeuh untuk mempertahankan rumah tanggamu dengan putriku. Aku bersumpah, selama aku hidup aku akan terus membuat kalian menderita. Camkan itu!" 

Ajeng pun berlalu pergi meninggalkan Fazar yang semakin mendendam. "Persetan denganmu, Ajeng. Akan akan membalas dendam ini."

"Jika Mbok Marni sampai kenapa-kenapa. Aku bersumpah akan membunuhmu."

Setelahnya Fazar menggendong Mbok Marni ke rumah sakit. Memang sialan ketika para tetangga bukannya menolong, malah terus bergunjing ria.

***

Setelah membayar ongkos naik taksi, Fazar kembali menggendong Mbok Marni menuju ruang UGD sambil berteriak kesetanan.

"Dokter ... Suster ... Tolong, bantu Mbok Marni."

Para Perawat yang bertugas bergegas mengambil kasur dorong dan Fazar pun meletakan Mbok Marni di sana. Mereka pun membawanya ke ruang UGD.

"Maaf, Pak. Anda tidak boleh masuk," cegah salah satu suster saat Fazar berniat menerobos ke ruang pemeriksaan.

"Tapi, Sus. Mbok Marni ..."

"Maaf, Pak. Tapi ini sudah peraturannya. Silakan Anda mengurus bagian administrasinya dulu."

Tidak ada pilihan lain, Fazar pun membiarkan suster itu menutup pintu. Lantas, ia pergi menuju lobi pembayaran seperti yang diminta oleh Perawat tadi. Namun, seperti dugaan. Fazar yang tidak membawa apa-apa, selain ponsel jadulnya tidak bisa memberikan jaminan pembayaran.

"Sudah saya katakan akan membayar biaya pengobatannya nanti. Sekarang pokuslah dalam penanganan dulu," perintah Fazar kalut.

"Tapi, Pak. Kami membutuhkan jaminan dan berkas-berkas pasien pun mohon dilengkapi."

"Persetan dengan itu. Tenang saja, saya tidak akan kabur," cela Fazar gemas. 

"Tidak bisa, Pak. Anda harus mengurus administrasi ini dulu," balas Suster tersebut.

Fazar menggeram, lalu menggebrak meja lobi. "Anda ini menganggap saya gembel atau apa? Sudah saya bilang akan saya lunasi nanti. Kalau perlu rumah sakit ini akan saya beli."

"Tolong, jangan membuat keributan di sini, Pak."

"Saya tidak membuat keributan, Anda-lah yang keras kepala."

"Biarkan saya saja yang akan menanggung semua biaya pengobatannya."

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status