Share

Masa Lalu Di Gang Sepi

Flashback ....

Fazar mengamati seorang gadis yang tengah dikelilingi tiga orang preman berbadan besar. 

"Sedang apa, Neng? Jalan-jalan sendirian tengah malam seperti ini. Memang mau ke mana? Biar Abang antarkan." 

Salah satu dari mereka mulai melayangkan rayuan. Sesekali tangan-tangan nakal itu menjamah sana-sini. Tidak memedulikan si gadis yang terlihat risih dengan aksi mereka.

"Ayolah, Abang temani saja."

Para preman itu terus mendesak. Bahkan pria di samping kanan dan kirinya tertawa terpikal-pikal. Salah satu dari mereka dengan memegang botol kaca berwarna hijau. Jelas sekali mereka sedang dalam pengaruh minuman keras. 

"Jangan mengganggu saya, Bang. Saya hanya ingin menumpang lewat," kata si gadis terdengar sopan. Namun, getaran di suaranya tidak dapat menyembunyikan rasa takut.

Gadis bersurai ikal yang sedang diganggu para preman jalanan itu adalah Amanda Drisela. Ia baru saja pulang dari kantor. Namun, di tengah perjalanan di hadang oleh sekelompok preman jalanan.

"Yakin ingin lewat saja, nih? Tidak mau menemani kita main-main dulu?" 

Pria yang memegang botol minuman keras, merangkul tubuh Amanda. Namun, perlakuan kurang ajar itu hanya terjadi selama sepersekian detik ketika Amanda mendorong si preman hingga terjembab membentur tanah. 

Diam-diam Fazar yang memperhatikan peristiwa itu di kejauhan mencoba menahan tawa. Tindakan berani Amanda membuat Fazar tertarik untuk terus menyaksikan kejadian di depannya.

Terlihat pria berkaos merah yang didorong oleh Amanda mengumpat kasar, dengan suara menggelegarnya ia lalu menyuruh anak buahnya untuk memegangi tangan si gadis yang meronta hebat.

Amanda memberontak, mencoba melepaskan diri dari tarikan kasar para preman yang menghempaskan tubuhnya ke tanah. Mereka mulai menggerayangi tubuh Amanda yang membuatnya menjerit, meminta tolong dilepaskan.

Melihat keadaan mulai gawat, Fazar lalu menerjang ke depan dan mendorong para preman menjauh. Sontaknya berandalan itu menyalak marah.

"Siapa kamu?!" Preman berjaket merah bertanya. Suaranya meninggi dengan tatapan mata menyala tajam.

"Pergi! Jangan ikut campur urusan kami!"

Usirannya membuat Fazar berdecih. Mana mau ia menuruti para sampah masyy ini. Lalu, tanpa ba bi bu lagi, Calon Pewaris Exco Group langsung menghajar tiga preman itu sampai babak belur. 

Mereka pun kabur setelah memberi ancaman. "Awas kamu nanti!"

"Cih, Pengecut," cela Fazar lalu beralih melihat ke arah Amanda yang masih duduk di tanah. Mata gadis itu terpejam erat. Fazar berjalan mendekat. 

"Hoy, kamu baik-baik saja?"

Akan tetapi, pertanyaan Fazar tidak mendapat tanggapan sama sekali. Mungkin gadis berambut ikal ini masih belum menyadari situasi di sekitarnya.

"Hoy! Kamu mendengarku, kan?!" Fazar menyentak, berusaha menyadarkan si gadis yang baru saja ia selamatkan tadi. 

"Hey kamu mendengarku? Kamu baik-baik saja, bukan? Tidak ada yang terluka?" 

Sekali lagi Fazar bertanya, berharap dengan itu Amanda akan merespon. Namun, gadis itu masih sama, terbengong menatapnya. 

Apakah wajah Fazar seseram itu? 

Fazar lalu berinsiatif menjulurkan tangannya untuk membantu Amanda berdiri, tetapi seketika itu juga tangan kanannya ditepis dengan kasar.

Fazar tersentak. Oke, rasanya ia sudah diambang batas kesabaran.

Apa tindakannya dalam mengulurkan tangan untuk membantu gadis yang hampir menjadi korban pelecehan itu termasuk tindakan kurang ajar?

Sungguh, Fazar tidak mengerti. Tatapan mata terus mengamati reaksi Amanda yang terlihat masih berada di alam bawah sadar. 

Fazar mengembuskan napas pelan. 

Oke, ia mengerti sekarang. Gadis cantik di bawahnya ini masih dalam kondisi yang trauma. 

"Maaf, saya bukan bermaksud tidak sopan. Saya hanya ingin memeriksa keadaanmu saja," ungkap Fazar merangkai kata sehalus mungkin. 

Di sisi lain, Amanda yang masih terguncang tidak langsung percaya begitu saja. Namun, melihat tak ada tanda-tanda tiga manusia laknat yang menggerayang tubuhnya, ia pun tersadar bahwa Fazar-lah yang telah menolongnya.

"Ano ... Kamu baik-baik saja, kan? Sini, saya bantu berdiri."

Lagi dengan penuh kelembutan, Fazar menawarkan bantuan, mengangkat perlahan tubuh mungil Amanda yang kini tidak menolak kebaikannya. 

"Hmm ... kamu benar baik-baik saja?" tanya Fazar ketika mendapati tubuh

Amanda bergetar sama dipelukannya. 

Amanda tersentak, lalu menjaga jarak dari Fazar. Pipi gadis itu bersemu kemerahan, membuat Fazar menaikan alis akan sikap malu-malunya.

"Maaf. Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah menolong saya dari preman tadi, Tuan."

Amanda membungkuk sopan, tak berani menatap wajah malaikat penolongnya lagi. la sungguh malu pada detak jantungnya yang berdegup kian hebat. Perasaan asing, tetapi 

Fazar sendiri mengembuskan napas lega. Bukan apa-apa, ia hanya takut gadis yang ditolongnya lebih merepotkan dari ini.

"Syukurlah kalau begitu," balas Fazar lalu menawarkan diri. "Oh ya rumahmu di mana? Biar saya antarkan pulang."

"Ah, tidak usah, Tuan. Nanti merepotkan."

Amanda menolak sehalus mungkin. Meski jujur ia merasa senang atas tawarannya. Namun, gengsinya mengatakan tidak.

"Tidak merepotkan kok. Lagian bahaya kalau jalan sendirian di tengah malam seperti ini. Takutnya nanti preman itu datang lagi," balas Fazar masih dengan sikap ramah yang sama. 

Di sisi lain, Amanda membisu. Dalam hati membenarkan perkataan Fazar. Bagaimanapun ia masih terguncang karena kejadian tadi. 

Perlahan Amanda menganggukan kepala setuju. "Baiklah, Tuan. Terima kasih lagi. Dan maaf sudah merepotkan."

"Tidak masalah. Jadi di mana rumahmu?" tanya Fazar mulai tak sabar.

Ayolah, ia ingin segera pulang ke rumah Mbok Marni yang sedang menunggu. Beliau pasti cemas mengetahui dirinya belum pulang. 

"Di sana, Tuan!"

Amanda pun menunjukan jalan arah ke rumahnya. Mereka berdua melangkah beriringan dalam keheningan malam bertaburan bintang di langit. Tidak berselang lama gerbang berwarna hijau lumut tertangkap indra penglihatan. 

"Jadi ini rumahmu?" 

Fazar mengamati bangunan berlantai dua di depannya. Cukup mewah dan berkelas. Meski tetap saja tidak bisa dibandingkan dengan Mansion-nya dulu.

Akan tetapi, melihat lingkungan dan juga gaya berpakaian gadis di sisinya, Fazar tahu Amanda berasal dari keluarga mampu.

"I..iya, terima kasih sudah mengantar saya pulang ke rumah, Tuan."

Amanda terbata. Sikap gugupnya membuat Fazar diam-diam merasa terhibur. Jelas sekali gadis itu tipe wanita yang ekspresif.

Ya. Sangat menarik. Untuk itulah, Fazar pun berbasa-basi dengan memberi tanggapan. "Tidak masalah! Ngomong-ngomong, siapa namamu?" 

Ya, jujur saja, Fazar sedikit terpesona akan wajah imut Amanda. Meski jika dibandingkan dengan mantan kekasihnya yang kini berubah status menjadi ibu tiri, masih kalah jauh.

Akan tetapi, berkenalan sebentar rasanya tak masalah, bukan?

"Nama saya Amanda Drisela, Tuan," jawab Amanda memperkenalkan diri dengan malu-malu kucing.

"Wah, nama yang imut, seimut orangnya," puji Fazar menggombal. Bisa ditebak reaksi Amanda sering tercengang dengan pipi semakin memerah malu.

"Kalau boleh tahu, nama tuan sendiri siapa?" cicit Amanda yang membuat Fazar mengukir senyum geli. Semakin terhibur dengan kegugupan gadis yang ditolongnya.

"Oh, saya Na____" Seketika itu juga, Fazar menelan kembali apa yang akan dikatakan. 

"Na?" ulang Amanda.

"Oh, hehehe namaku Fazar."

Itulah moment pertemuan pertama Fazar dengan Amanda. Siapa sangka jika peristiwa di gang sempit itu membawa mereka pada pernikahan yang gagal.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status