Share

Istri Muda Sang Ayah

"Eungg ...."

Fazar melenguh dari tidurnya. Dia menggeliat dengan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang benderang. 

Beberapa saat kemudian, Fazar pun terjaga. Sambil duduk di ranjang ia mengamati sekitar. Satu pengakuan terlintas di benaknya saat menyadari kamar siapa ini.

Fazar pun mengumpat. "Sialan! Siapa yang membawaku ke rumah terkutuk ini." 

Dengan tergesa, pria berusia 28 tahun itu beranjak bangkit dan keluar dari kamar yang pernah di tempatinya dulu. Fazar pergi ke ruang utama untuk menuju pintu keluar. 

"Tidak sopan sekali, ya. Langsung pergi begitu saja. Apa kamu tidak merindukan rumah lamamu, Nak?"

Akan tetapi, langkah kakinya terhenti oleh teguran dari pria paruh baya yang duduk di sofa ruang tamu. Di sebelahnya berdiri wanita muda yang tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya barang sedikit pun.

"Untuk apa Anda membawa saya ke sini, Tuan Hendra yang terhormat?" tanya Fazar berdecak kesal.

"Memang kenapa? Apa salah jika aku membawa putraku ke sini? Inikan juga rumahmu," jawab Hendra yang merupakan Ayah kandung dari Fazar alias Naren.

Fazar mencebik. "Benarkah? Yang saya tahu sejak Anda menikahi wanita sialan itu, saya bukan lagi bagian dari keluarga ini."

Hendra menghela napas mendengar sindiran pedas sang putra. Pria yang berusia setengah abad itu lalu berdiri dan berjalan mendekati Fazar yang mundur, tidak ingin disentuh.

Menyadari penolakan terang-terangan itu, Hendra menghentikan niatnya. Dia hanya berdiri lima langkah dari Fazar yang juga berhenti menghindari.

"Apakah kamu belum bisa memaafkan ayah, Naren?" tanya Hendra dibalas keheningan oleh  Fazar. 

"Ayolah, itu hanyalah kenangan lama. Toh, kamu pun sudah berkeluarga, bukan? Jadi terimalah Agnes sebagai ibumu."

Fazar menatap tajam. "Tidak akan pernah. Selamanya wanita matre itu tidak akan pernah menjadi ibuku."

Setelah berkata demikian, tanpa berpamitan Fazar langsung meninggalkan Hendra yang memijat kepalanya pening, dengan sikap permusuhan dari sang putra.

Memang semuanya berawal dari kesalahan Hendra sendiri yang menikahi mantan kekasih SMA-nya Fazar, yakni Agnes Wulandari. Rasa kecewa pada sang ayah itulah yang membawa Fazar akhirnya pergi dari rumah.

Sejak saat itulah hubungan kekeluargaan mereka terputus. 

"Anak itu kapan sih dia bersikap dewasanya," keluh Hendra.

"Pelan-pelan saja, Mas. Naren masih butuh waktu untuk menerimaku," jawab Agnes sambil menyentuh pundak suaminya.

"Tapi ini sudah lewat bertahun-tahun, Sayang. Dan dia masih belum bisa menerimamu juga. Apakah Naren masih ada rasa denganmu?"

Agnes terdiam sejenak. "Itu sepertinya tidak mungkin. Mas tahu dia telah beristri."

"Hm ... Benar juga, tapi sikapnya tadi benar-benar kekanakan. Dia juga tidak berani menatapmu."

"Mungkin masih canggung, karena aku pun begitu," bela Agnes sambil menatap dalam arah kepergian Fazar.

"Hm ... begitu, ya?" gumam Hendra mengangguk-angguk mengerti. "Aku berharap Naren akan segera kembali ke keluarga ini."

Hendra kembali duduk di sofa lalu menyesap kopi yang dihidangkan oleh pelayan. Raut wajahnya paruh baya itu dipenuhi kekalutan.

"Apa Klan Nakamura mendesakmu lagi, Mas?" tanya Agnes mengerti benar masalah eksternal dalam keluarga Exco Group.

Hendra tidak menjawab. Namun, helaan napas yang mengalun sudah cukup menjelaskan semuanya. Agnes yang merasa prihatin lalu mengambil inisiatif sendiri.

"Baiklah, biarkan aku yang membujuknya." Agnes berlari menyusul Fazar. Tidak memedulikan teriakan Hendra yang mencegahnya.

***

Sementara itu, Fazar yang telah keluar dari Mansion terpaku saat melihat tanaman hias di taman samping rumah. Seketika itu kenangan lama membuatnya bernostalgia saat teringat satu kenangan yang menyesakan.

Dulu saat Bundanya masih hidup. Fazar, Kaiden dan juga Hendra selalu bermain di taman itu. Entah main kejar-kejaran ataupun main serang air ketika menyiram taman. Tidak ayal Bundanya selalu memarahi mereka berdiri.

Fazar mendengkus. "Sekarang kenangan itu hanya menjadi mimpi buruk untuk Naren, Bunda."

Saat akan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, Fazar dikejutkan dengan suara teriakan yang familiar.

"Naren ... tunggu!"

"Ck, jangan ganggu aku, Sialan. Pergilah aku tidak ingin bertengkar denganmu," ketus Fazar berbalik hendak pergi, tetapi satu cengkalan tangan menahannya.

"Persetan! Jangan menyentuhku!" umpat Fazar menepis tangan Agnes yang tersentak kaget.

"Maafkan aku, tapi aku hanya ingin bicara denganmu, sebentar saja."

"Bicara apa?" sinis Fazar. "Apa tidak cukup dengan rasa sakit yang kamu berikan padaku dulu?"

Agnes tertunduk. "Naren ...."

"Jangan panggil namaku dengan mulut busukmu itu, Sialan!" bentak Fazar tajam.

Kembali Agnes terpukul mundur. Namun, wanita berambut cokelat bergelombang itu menguatkan hati dengan menatap mata mantan kekasihnya di sekolah dulu.

"Aku tahu kamu belum bisa memaafkanku____"

"Bukan BELUM tapi TIDAK AKAN PERNAH."

Sekali lagi Fazar memotong. Nada suaranya pun penuh penekanan, membuat Agnes semakin bersedih.

"Oke, kamu tidak akan memaafkanku tidak apa-apa, tapi ayahmu ... dia____"

"Kenapa?" sentak Fazar meninggi. "Kalian berdua sama-sama egois dan mau saling membela diri, begitu?"

Agnes terdiam. Jari-jari tangannya aktif memilih ujung gaun yang ia kenakan. Sungguh, Agnes merasa sangat terpukul dengan segala tuduhan Fazar. Sehina itukah perempuan yang menikah dengan ayah kekasihnya sendiri?

Toh, saat mereka menikah hubungan Fazar dan Agnes telah berakhir. Lalu, kenapa Fazar tidak bisa menerima kenyataan itu? Dan selalu memojokkannya?

Berbanding terbalik dengan kesedihan yang menguasai Agnes, Fazar justru semakin murka saat melihat mata mantannya berkaca-kaca. Lihat, di sini jadi sepertinya dirinya yang terlihat jahat.

Dengan penuh kebencian, Fazar kembali menyindir. "Bagus sekali, MAMA MUDA. Aku akan tertawa untuk segala lelucon dalam perkataanmu."

"Naren ... Apa kamu sungguh tidak bisa menerimaku sebagai ibumu?" tanya Agnes lirih. Pandangan matanya menatap lurus Fazar yang juga tengah menatapnya.

"Lucu ... Aku akan melakukannya saat berada di ambang kematian. Sampai jumpa, Mama."

Setelah mengatakannya Fazar berbalik pergi, tetapi langkah kakinya kembali dihentikan oleh gumaman Agnes. "Asal kamu tahu, Naren? Aku sangat menyayangimu."

Tanpa berbalik, Fazar menjawab. "Jika kamu sayang padaku. Kamu tidak akan menikah dengan ayahku."

Dan pembicaraan itu pun berakhir dengan Fazar yang pergi meninggalkan Agnes yang menangis pilu.

***

"Dari mana saja kamu, Mas?"

Fazar menghela napas. Baru saja ia terbebas dari rasa sakit yang disebabkan oleh wanita di masa lalunya. Kemelut cinta masa kini yang juga mengantarkan keperihan menyapanya.

"Kenapa? Ada yang kamu butuhkan dariku?" tanya Fazar memutar mata bosan. Jujur saja, ia pulang ke rumah hanya untuk memastikan keadaan putra putrinya.

Jangan lupakan fakta jika semenjaka menikah dengan Marvel, Amanda sering menelantarkan Cerry dan Ferro.

Mendengar balasan angkuh Fazar, Amanda mencebik. "Hah, belagu sekali kamu, Mas. Bukankah semalam kamu bilang akan pergi dari rumah? Lalu, kenapa sekarang kembali?"

Fazar tidak menjawab. Belajar dari pengalaman semakin dibantah, Amanda akan semakin marah besar. Lebih baik Fazar yang mengalah. Toh, ini demi kebaikan anak-anaknya juga.

"Kenapa tidak menjawab?" sinis Amanda bersedekap dada. "Ah, aku tahu ... Kamu pasti tidak punya tempat tinggal lagi."

Fazar masih berusaha menahan amarahnya. 'Tenang ini demi Ferro dan Cerry.'

"Makanya, Mas. Kalau miskin itu jangan sok. Beruntung aku tidak melayangkan gugatan cerai padamu malam itu. Aku masih memiliki belas kasih. Tapi maaf untuk ibumu tidak."

Fazat terperanjat. "Apa maksudmu?"

"Ya, seperti yang kamu tahu, biaya pengobatan ibumu itu mahal. Jadi aku menghentikan pengobatannya."

"Apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status