Share

Bab 2

"Beri nama Amar saja, biar mirip ibunya," pungkas laki-laki itu. Suaranya, sepertinya aku tak asing dengan suara itu? Mirip suara Mas Sandi.

Dadaku terasa bergetar, aku harus mendombrak pintunya. Pilihannya cuma dua dobrak, atau ketuk pintu dulu?

Dobrak ... jangan ... dobrak ... jangan ....

Aku pilih dengan jari, selayaknya orang sedang menentukan pilihan.

Sebaiknya aku dobrak saja pintu ini. Aku nggak mau ada tamu bermalam di rumah lalu memasukkan laki-laki seenaknya.

Satu ... dua ... tiga ....

Gubrak ....

Aku pun terjatuh ke lantai, lengan dan tanganku sakit sekali akibat mendobrak pintu kamar tamu.

"Kenapa lo, Ca? Kenapa dobrak pintu rumah sendiri? Rusak kan jadinya." Amara menghampiriku sambil menyentuh pintu yang rusak. Bukan menolong temannya yang terjatuh akibat mendombrak pintu, ia malah khawatir pintunya yang rusak.

"Bangunin kek, lo mah eror banget sih Mar, temen jatuh yang dilihat malah pintu, bukan guenya," cetusku sembari menyodorkan tangan. Kemudian Amara menarik tanganku dan membantu untuk bangkit.

Ia terlihat menutup mulutnya sambil tertawa kecil. Aku pun kembali ke tujuan awal, melihat ke semua sudut ruangan, apakah ada laki-laki di kamar ini.

Aku tertuju pada lemari, siapa tahu laki-laki yang ngobrol dengan Amara ada di situ.

"Keluar nggak dari lemari!" teriakku sebelum membuka lemarinya.

"Nyari apa sih, Ca?" tanya Amara, kemudian aku berbalik badan ke arahnya sambil meletakkan tangan ini ke pinggang.

"Mau nyari pria yang bicara dengan lo barusan, bawa laki-laki ke kamar kan lo? Apa jangan-jangan suami gue?" tekanku dengan nada tinggi, seraya bicara dengan teman sekelas dulu.

Amara mengernyitkan dahi, sambil tersenyum tipis, bibirnya pun dinaikkan ke atas seraya tak menyukai tuduhan dariku.

"Cari aja!" suruhnya sambil menyudutkan bibirnya ke arah lemari.

Kemudian, aku buka lemari tersebut dengan hentakan seperti menyergap maling.

"Kena, kamu!" teriakku sambil terbelalak. Ternyata isi lemari hanya celana yang digantung oleh Amara. Aku terdiam, kini kedua tanganku berada di atas dada. Lalu aku menoleh ke arah Amara kembali.

"Gimana, ada kagak?" tanyanya dengan alis terangkat. Aku kesal melihatnya, ternyata tak berhasil memergokinya, padahal batin ini yakin bahwa ada laki-laki di kamar ini.

"Nggak usah ngeledek, ujan-ujan nih, gue takut aja lo kesepian, besok gue pinta lo angkat kaki dari sini!" tegasku. Ya, sepertinya untuk menghindari kecemasan berlebihan, lebih baik aku usir Amara saja dari rumah ini.

"Ca, lo jahat banget ma temen sendiri, gue kan cuma numpang tidur, takut kontraksi tiba-tiba gimana nggak ada orang di rumah gue!" lirihnya.

"Suami lo beneran ke luar kota nggak sih? Katanya suami lo orang kaya, seharusnya nyewa pembantu dong untuk nemenin lo?" Amara terdiam, matanya membulat kala mendengar celotehan aku barusan.

"Tadi, suami gue nelepon nih kalau nggak percaya, gue rekam tadi percakapan suami tadi di telepon," cetus Amara sambil menyodorkan ponselnya.

Kudengar suaranya baik-baik, ternyata benar, Kata-kata yang diucapkan juga sama persis dengan apa yang kudengar di rekaman suara tersebut.

"Tapi besok lo tetep keluar dari rumah ini, ya!" tekanku sekali lagi. Kini bahasa yang kugunakan juga sudah lembut dan pelan.

"Ehm, ada apa sih ini ramai sekali?" Mas Sandi tiba-tiba masuk ke kamar, ia datang sambil mengusap matanya.

"Nggak ada apa-apa, Mas. Ayo kita kembali ke kamar!" ajakku. Mas Sandi pun mengikutiku dari belakang.

"Kamu ngapain ke kamar Amara?" tanya Mas Sandi.

"Aku dengar dia bicara dengan laki-laki, perasaanku tadi dengar bicara langsung bukan melalui telepon, tapi kenapa pas aku dobrak, nggak ada orang."

"Ya salah dengar kali, kamu ngantuk mungkin jadi ngehalu," celetuk Mas Sandi sambil merebahkan tubuhnya dan mengajakku untuk tidur di sampingnya.

Aku coba pejamkan mata ini, agar hilang rasa penasaranku jika dibawa tidur.

***

Pagi ini, matahari sudah mengeluarkan sinarnya. Kedua anakku pun sudah bangun mencari keberadaan mamanya.

"Mama!" teriak keduanya. Kemudian menghampiri papanya dan mengecup pipi masing-masing sebelahnya.

"Kalian tidur nyenyak?" tanya Mas Sandi.

"Nyenyak, Pah. Semalam kan aku ditemani mama bobonya. Tapi kakak sempat bangun si, Pah," ucap si kakak sulung.

"Oh ya, kapan, Kak?" tanyaku pada bocah usia 4 tahun.

"Itu loh, yang mama jatuh pas buka pintu kamar Tante Amara," celetuknya.

"Loh, kamu bukannya udah tidur?" tanyaku lagi.

"Iya, kirain papa mama lagi berantem, makanya aku ke luar, eh tahunya nggak," ucap Vira sambil tersenyum malu.

"Nggak lah, masa mama berantem udah punya kalian," ujarku pada mereka. Meskipun mereka masih kecil, tapi jika orang tuanya bertengkar, pasti semuanya merasakan. Mereka kadang diam, tak mau bicara dengan kami berdua.

Kami pun melanjutkan sarapan. Amara belum bangun, seperti biasanya jika menginap, ia selalu bangun siang di rumah ini.

Mas Sandi bergegas berangkat kerja, kami semua mengecup punggung tangannya seperti hari-hari biasanya.

Aku yang sudah menyelesaikan kerjaan rumah dari subuh tadi, iseng-iseng santai saja di kamar anak-anak sambil membuka sosial media di gawaiku.

Kulihat-lihat berita di beranda, ada satu berita yang membuatku tercengang.

[Pengusaha batu bara Ferdi Syahlahfian, kini akan menikah setelah 9 bulan menduda.]

Berita itu sontak membuat mataku tak berkedip. Ferdi Syahlahfian bukankah suaminya Amara?

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status