"Ada apa, Syam?" Berkali-kali Alfa menegur menantunya itu, tapi Syam masih saja mematung dan tak melanjutkan ucapannya.Akhirnya, Caca tidak sabaran, dia menghampiri Syam yang masih saja diam.Plak!Tanpa basa-basi Caca bersikap tegas. Ini bukan ikut campur urusan rumah tangga anaknya, tapi sikap Caca hanya ingin menegaskan."Saya katakan pada kamu, ya, Syam. Jika kamu berbuat salah, maka tanggung jawab, jangan malah diam!" caci sang mama pada menantunya.Syam berlutut di kaki Caca. Dia menundukkan kepalanya. Nyaris hal ini membuat satpam yang tengah berkeliling pun melerai mereka."Tolong jangan buat keributan, di sini rumah sakit, bukan untuk meributkan sesuatu," ucap satpam sambil menunjuk dengan satu jari.Napas Caca semakin memburu, dia benar-benar tidak sabaran dengan sikap menantunya itu."Syam, kamu dokter tegas dikit!" sentak Caca.Akhirnya Syam angkat bicara, dia memulai dengan kata maaf pada Caca dan Alfa."Ma, Pa, maaf telah menyakiti hati Vira, Syam telah menghamili anak
Tidak heran jika Vira harus diperiksa kondisi jiwanya. Sebab apa yang hampir dia lakukan memang sudah pasti karena frustasi dengan apa yang terjadi.Sepele memang, mendua saat sudah menjalin ikatan pernikahan. Namun, dampaknya untuk orang yang sangat mempercayai pasangan sepenuhnya itu akan ke jiwa."Anakku nggak gila," ucap Caca untuk kesekian kalinya."Ma, jangan gitu, sabar ya, Mbak Vira hanya diperiksa dulu," tutur Yura untuk sekadar menenangkan.Caca menggelengkan kepalanya. Kemudian dia mundur dan menemui Syam yang tengah bicara dengan Alfa."Syam! Kamu harus bertanggung jawab!" bentak Caca. "Ma, aku pasti akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan Vira," timpal Syam. Lelaki yang sangat mencintai Vira pun menyadari kesalahannya. Tiba-tiba dia teringat dengan kejadian itu. Dimana Syam secara tidak sadar menggauli seorang wanita magang di rumah sakit saat jaga malam.Kala itu, Syam tengah bertugas, wanita yang magang satu bulan di rumah sakit memberikan secangkir teh han
[Ca, malam ini gue mau nginep lagi di rumah lo, boleh kan?] Pesan yang dikirim oleh Amara, sahabatku. Ia memang sudah biasa bermalam di rumahku ini. [Gue tanya Mas Sandi dulu, ya.] balasku.[Pasti boleh.] Aku tak membalasnya lagi. Menunggu izin dari Mas Sandi terlebih dahulu saja, setelah itu, barulah kubalas pesannya. Caca nama panggilanku, nama lengkap Ariyani Marisha, menikah dengan Mas Sandi sudah 5 tahun lamanya, dan sudah dikaruniai dua orang anak perempuan yang sekarang usianya 4 tahun dan si bungsu 2 tahun. Setiap sebulan sekali, memang biasanya Amara menginap di rumah kami. Sebab, suaminya tiap bulan pergi ke luar kota. Sepulangnya Mas Sandi bekerja, seperti biasa ia duduk santai di ruang televisi dengan posisi kaki terangkat. Aku pun menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi dan cemilan. "Mas, Amara mau nginep lagi.""Ya udah, nggak apa-apa, kasihan lagi hamil besar, ya kan?""Tapi, Mas. Apa kamu nggak risih ada orang lain di rumah ini? Sedangkan kalau orang tuaku
"Beri nama Amar saja, biar mirip ibunya," pungkas laki-laki itu. Suaranya, sepertinya aku tak asing dengan suara itu? Mirip suara Mas Sandi. Dadaku terasa bergetar, aku harus mendombrak pintunya. Pilihannya cuma dua dobrak, atau ketuk pintu dulu? Dobrak ... jangan ... dobrak ... jangan .... Aku pilih dengan jari, selayaknya orang sedang menentukan pilihan. Sebaiknya aku dobrak saja pintu ini. Aku nggak mau ada tamu bermalam di rumah lalu memasukkan laki-laki seenaknya. Satu ... dua ... tiga ....Gubrak .... Aku pun terjatuh ke lantai, lengan dan tanganku sakit sekali akibat mendobrak pintu kamar tamu. "Kenapa lo, Ca? Kenapa dobrak pintu rumah sendiri? Rusak kan jadinya." Amara menghampiriku sambil menyentuh pintu yang rusak. Bukan menolong temannya yang terjatuh akibat mendombrak pintu, ia malah khawatir pintunya yang rusak. "Bangunin kek, lo mah eror banget sih Mar, temen jatuh yang dilihat malah pintu, bukan guenya," cetusku sembari menyodorkan tangan. Kemudian Amara menarik
"Ca, gue balik dulu, ya." Tiba-tiba saja Amara membuyarkan pikiran yang sedang membaca berita tentang dirinya. "Loh, nggak jadi seminggu lo nginepnya?" tanyaku hanya basa-basi. Tombol nonaktifkan kutekan lalu meletakkan ponsel di sofa. Aku bangkit seraya melarang kepergian Amara. Ya, hanya basa-basi saja supaya tak terkesan mengusirnya. "Nggak lah, abisnya dah diusir sama tuan rumah semalam," celetuknya. "Oh gitu, ya udah kalau elu pengen pulang, nggak apa-apa deh, semoga Mas Ferdi cepat pulang dari luar kota, ya." Amara terdiam, ia meletakkan kopernya kembali. "Elu mah nggak ada ibanya, gue pulang dilarang kek, kasian gitu sama gue yang sendirian di rumah," lirihnya padaku. Namun, kali ini perasaanku bilang untuk tidak melarangnya pergi dari sini. Biarkan saja ia pulang, dan segera selidiki apa benar berita yang tadi kubaca di sosial media. "Maaf ya, kayaknya emang sebaiknya elu pulang, soalnya Mama gue mau ke sini, lagian elu mah punya suami orang kaya bukannya ngintil aja ke l
Aku zoom cincin yang dipakai oleh pria tersebut. Namun, tidak terlalu kelihatan persis, aku teringat cincin yang dipakai oleh Mas Sandi, cincin pernikahan kami berdua, melingkar di jari manis sebelah kanannya. Masa iya itu Mas Sandi? Aku mulai berpikir sambil duduk dan tangan menahan dagu ini. Tiba-tiba ada yang datang, seorang laki-laki dan perempuan. "Assalamualaikum," ucap keduanya. Aku pun mengusap layar untuk keluar dari galeri foto, lalu meletakkan ponselku di atas meja. "Waalaikumsalam, ya sebentar!" teriakku dari dalam. Aku buka pintu itu lebar-lebar. Ternyata tamu dekat, tetangga blok yang memang sering berkunjung ke sini, mereka berdua akrab denganku dan suami. Namanya Rosa dan suaminya Gilang. "Loh kamu nggak kerja, Gilang?" tanyaku pada suaminya Rosa, berhubung mereka lebih muda dariku, jadi panggilannya juga hanya nama saja. "Nggak Mbak Caca, kemarin saya ngundurin diri," sahutnya. "Iya, makanya aku ke sini, Mbak. Mau minta tolong sama Mas Sandi, siapa tahu bisa me
"Kamu tahu laki-laki yang berada di foto ini? Atau ini kamu?" tanyaku dengan sembarangan nuduh. "Mbak, aku bukan belain suami sendiri, tapi memang tiap kali ada Amara, aku tarik suami untuk pulang," sahut Rosa. Ternyata ia begitu yakin dengan suaminya. Lalu aku istri macam apa yang mencurigai suami sendiri? "Jadi, laki-laki ini bukan kamu, Gilang? Atau apakah ini suamiku?" tanyaku menyelidik. Pandangan mereka tampak berbeda ketika aku menyudutkan suamiku sendiri. "Assalamualaikum," ucap suara Mbok Yuni dengan kedua anak wanitaku pulang dari sekolah. "Waalaikumsalam, Mbok, langsung ajak anak-anak masuk kamar ya," ucapku. Mbok Yuni baru datang tadi pagi setelah beberapa hari absen karena mudik. Ya, sebenarnya aku bukan tipe wanita yang tidak bisa mengatasi semuanya sendiri, tapi Mas Sandi yang menginginkan ada asisten rumah tangga di rumah ini, sekaligus membantu merawat anak-anak di rumah. "Maaf ya, terganggu, kita lanjut lagi," ucapku sambil menghadapkan kedua lutut ini ke arah R
"Ini apa ya, Mah? Kok kayak pintu gitu," tanyaku. Mama yang mendengar pertanyaanku tertawa renyah. "Kamu itu dari dulu aneh, lucunya nggak ilang-ilang, ini rumahmu, Nak. Kenapa tanya ke mama?" ungkap mama membuatku merasa malu. Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar mengejutkan kami berdua. Sepertinya itu Mas Sandi, baru jam berapa ini? Kenapa ia sudah pulang? "Sebentar, Mah. Sepertinya Mas Sandi pulang," ucapku sambil bangkit. Kemudian aku berjalan menuju parkiran rumah. Mas Sandi tampak keluar dari mobil, lalu turun dengan membawa berkas yang sepertinya penting. "Mas, kamu buru-buru sekali, ada apa?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Mas Sandi tampak mendekap kertas yang tadi ia pegang, tapi ketika melihatku ia sontak mendekap kertas tersebut. "A-aku ada urusan mendadak, ini ada yang ketinggalan juga berkas salinan yang kupegang," ujarnya dengan nada gemetar. Kemudian, ia setengah berlari ke dalam dan mengambil sesuatu, entah apa yang ia ambil, aku pun tak mengetahuinya. Se