Aku zoom cincin yang dipakai oleh pria tersebut. Namun, tidak terlalu kelihatan persis, aku teringat cincin yang dipakai oleh Mas Sandi, cincin pernikahan kami berdua, melingkar di jari manis sebelah kanannya. Masa iya itu Mas Sandi? Aku mulai berpikir sambil duduk dan tangan menahan dagu ini. Tiba-tiba ada yang datang, seorang laki-laki dan perempuan. "Assalamualaikum," ucap keduanya. Aku pun mengusap layar untuk keluar dari galeri foto, lalu meletakkan ponselku di atas meja. "Waalaikumsalam, ya sebentar!" teriakku dari dalam. Aku buka pintu itu lebar-lebar. Ternyata tamu dekat, tetangga blok yang memang sering berkunjung ke sini, mereka berdua akrab denganku dan suami. Namanya Rosa dan suaminya Gilang. "Loh kamu nggak kerja, Gilang?" tanyaku pada suaminya Rosa, berhubung mereka lebih muda dariku, jadi panggilannya juga hanya nama saja. "Nggak Mbak Caca, kemarin saya ngundurin diri," sahutnya. "Iya, makanya aku ke sini, Mbak. Mau minta tolong sama Mas Sandi, siapa tahu bisa me
"Kamu tahu laki-laki yang berada di foto ini? Atau ini kamu?" tanyaku dengan sembarangan nuduh. "Mbak, aku bukan belain suami sendiri, tapi memang tiap kali ada Amara, aku tarik suami untuk pulang," sahut Rosa. Ternyata ia begitu yakin dengan suaminya. Lalu aku istri macam apa yang mencurigai suami sendiri? "Jadi, laki-laki ini bukan kamu, Gilang? Atau apakah ini suamiku?" tanyaku menyelidik. Pandangan mereka tampak berbeda ketika aku menyudutkan suamiku sendiri. "Assalamualaikum," ucap suara Mbok Yuni dengan kedua anak wanitaku pulang dari sekolah. "Waalaikumsalam, Mbok, langsung ajak anak-anak masuk kamar ya," ucapku. Mbok Yuni baru datang tadi pagi setelah beberapa hari absen karena mudik. Ya, sebenarnya aku bukan tipe wanita yang tidak bisa mengatasi semuanya sendiri, tapi Mas Sandi yang menginginkan ada asisten rumah tangga di rumah ini, sekaligus membantu merawat anak-anak di rumah. "Maaf ya, terganggu, kita lanjut lagi," ucapku sambil menghadapkan kedua lutut ini ke arah R
"Ini apa ya, Mah? Kok kayak pintu gitu," tanyaku. Mama yang mendengar pertanyaanku tertawa renyah. "Kamu itu dari dulu aneh, lucunya nggak ilang-ilang, ini rumahmu, Nak. Kenapa tanya ke mama?" ungkap mama membuatku merasa malu. Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar mengejutkan kami berdua. Sepertinya itu Mas Sandi, baru jam berapa ini? Kenapa ia sudah pulang? "Sebentar, Mah. Sepertinya Mas Sandi pulang," ucapku sambil bangkit. Kemudian aku berjalan menuju parkiran rumah. Mas Sandi tampak keluar dari mobil, lalu turun dengan membawa berkas yang sepertinya penting. "Mas, kamu buru-buru sekali, ada apa?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Mas Sandi tampak mendekap kertas yang tadi ia pegang, tapi ketika melihatku ia sontak mendekap kertas tersebut. "A-aku ada urusan mendadak, ini ada yang ketinggalan juga berkas salinan yang kupegang," ujarnya dengan nada gemetar. Kemudian, ia setengah berlari ke dalam dan mengambil sesuatu, entah apa yang ia ambil, aku pun tak mengetahuinya. Se
Pakaian bayi? Tas ini berisikan pakaian bayi dan perlengkapannya? Aku menelan salivaku, sambil mengurutkan dada aku menghela napas dalam-dalam. Untuk apa pakaian bayi ini? Siapa yang akan melahirkan? Apakah itu Amara? Sahabatku yang sering bermalam di sini? Aku jatuh terduduk, tak kuat menahan ini semua. Sungguh benar-benar keterlaluan jika itu benar-benar terjadi. Pantas saja ada pintu di kamar yang menembus kamar ini. Jangan-jangan ayah dari si jabang bayi itu adalah Mas Sandi. Tiba-tiba suara ponsel berdering, dari Alfa yang menghubungiku. Pasti ia ingin becanda melalui telepon. Enggan rasanya angkat telepon, tapi ia adalah teman baikku yang tulus. "Halo, Ca. Elu di mana?""Di rumah.""Eh, si Amara mau lahiran, masa yang nemenin suami lo, Sandi."Dadaku sesak, ternyata tas yang berisikan baju bayi itu adalah benar milik Amara. Aku menghela napas, berusaha kuat dalam menghadapi ini semua. 'Please Caca, jangan nangis, jangan cengeng, Ca,' gumamku dalam hati sambil mengurutkan dada
"Jangan gegabah, santai dulu, belum tentu suami lo berada di rumah sakit ini dan menemani Amara karena ia yang menghamili, belum tentu!" cetus Alfa. Aku terdiam sejenak ketika hendak turun dari mobilnya. "Lantas, apa yang harus gue lakukan?" tanyaku. "Atur napas dalam-dalam, kita nggak mungkin datang-datang langsung grabak-grubuk. Harus disertai bukti yang akurat," ujar Alfa lagi. Aku atur napasku, lalu tenang sedikit dan berpikir jernih. "Gue telepon Amara, ya. Nanti kalau dia angkat, gue informasi ke lo."Aku mengangguk, menuruti perintah Alfa. Ia pasti menginginkan aku yang terbaik. Sebab, dia benar-benar sahabat sejati yang mencintaiku tulus dan rela mengorbankan hatinya sedari dulu. "Halo," ucap Alfa dengan menekan speaker telepon. Aku pun bersiap untuk mendengarkan apa yang ia ucapkan. "Ya, halo, Fa. Kenapa?""Mau main nih, ada di rumah, nggak?" tanya Alfa dengan mata tetap menyorotku."Gue ... gue nggak ada di rumah, Fa. Masih di rumah sakit, tadi perut gue mules dan lang
"Ini topinya," ucap mama mertuaku sambil memberikan topi. Aku masih menundukkan wajah, karena ia penasaran dengan wajahku yang tertutup masker dan rambut berantakan. Beruntungnya, pintu lift terbuka, akhirnya aku aman dan mertuaku melanjutkan perjalanannya. Aku dan Alfa mengikuti langkah mama dengan hati-hati. Khawatir ia tahu bahwa aku sedang mengikutinya. Alfa meraih tanganku, selayaknya orang sedang bergandengan tangan. Namun, aku risih dengan gandengan tangannya. "Jangan gandeng-gandeng," bisikku. Khawatir kedengaran mama mertua yang berada di depan kami. "Biar nggak ketahuan lagi, Caca cakep," bisiknya gemas. Alfa tampak menggigit bibirnya hanya karena merasa geregetan atas sikapku. Mama menoleh, kemudian Alfa senyum padanya. Akan tetapi, mama mertuaku menghampiri kami. Jantungku benar-benar berdegup sangat kencang sekali, khawatir jika mama mengenaliku. Genggaman tangan Alfa semakin erat, aku tahu ini hanya pura-pura. "Maaf, kalian mau jenguk juga, ya?" tanya mama. Aku ha
Sepertinya Alfa paham akan kondisi saat ini, kami berada di kondisi yang sulit. "Tante, kami permisi, sudah ditunggu teman," pamit Alfa sembari menarik lenganku. "Iya hati-hati, huh buru-buru sekali kalian," celetuk Mama Sarah. Kami bersembunyi di balik ruangan seberang. Itu kami lakukan untuk mengintai mereka. Ya, aku penasaran sekali dengan Gilang dan Rosa, apa mereka kenal juga dengan mertuaku? Kutunggu saat-saat itu, di saat mereka berpapasan ketika berjalan. Kemudian, dengan posisi tubuh membungkuk, aku dan Alfa memperhatikannya. "Gimana?" tanya Mama mertuaku. Benar-benar keterlaluan, mereka pun kenal Mama Sarah. Kulihat mereka berjabat tangan, malah mata kepala ini melihat Rosa dan Gilang mengecup punggung tangan mertuaku. "Tante, kami pulang duluan, Amara sebentar lagi kedatangan mantan suaminya, kalau Tante mau ngobrol, sekarang saja." Aku menghela napas, segitu akrabnya mereka. Hati ini makin tercabik-cabik jadinya. Kesekian kalinya Alfa mengurut punggungku, ia menyur
"Kenapa malah duduk? Jawab pertanyaanku, kamu dari mana, Ca?" tanya Mas Sandi sekali lagi. Kemudian, ia duduk di sebelahku, masih dalam tatapan penuh kecurigaan. Seharusnya aku yang bertanya, dari mana dia, untuk apa tas itu. Memang lelaki jika memiliki rahasia, ia pandai memutarbalikkan fakta. Aku menghela napas, saat ini kami beradu pandangan, bukan karena saling sayang, tetapi saling curiga. "Aku boleh melontarkan pertanyaan yang sama?" tanyaku dengan alis terangkat. Bibirku sudah tak bisa memancarkan senyuman manis di hadapan laki-laki yang mempersuntingku lima tahun lamanya. Dua orang anak yang kami besarkan tidak membuatnya semakin sayang, justru makin kelihatan keburukannya. Mas Sandi mengecap bibirnya, kemudian ia tertawa kecil, seraya tak merasa bersalah. Kepalanya digelengkan, kemudian ia mendesah kesal. "Kenapa ditanya malah nanya balik!" sentaknya membuatku semakin enggan melihat lelaki tak tahu diri ini. Aku berdiri, hendak meraih ponsel yang kuletakkan di atas lema