"Jangan gegabah, santai dulu, belum tentu suami lo berada di rumah sakit ini dan menemani Amara karena ia yang menghamili, belum tentu!" cetus Alfa. Aku terdiam sejenak ketika hendak turun dari mobilnya. "Lantas, apa yang harus gue lakukan?" tanyaku. "Atur napas dalam-dalam, kita nggak mungkin datang-datang langsung grabak-grubuk. Harus disertai bukti yang akurat," ujar Alfa lagi. Aku atur napasku, lalu tenang sedikit dan berpikir jernih. "Gue telepon Amara, ya. Nanti kalau dia angkat, gue informasi ke lo."Aku mengangguk, menuruti perintah Alfa. Ia pasti menginginkan aku yang terbaik. Sebab, dia benar-benar sahabat sejati yang mencintaiku tulus dan rela mengorbankan hatinya sedari dulu. "Halo," ucap Alfa dengan menekan speaker telepon. Aku pun bersiap untuk mendengarkan apa yang ia ucapkan. "Ya, halo, Fa. Kenapa?""Mau main nih, ada di rumah, nggak?" tanya Alfa dengan mata tetap menyorotku."Gue ... gue nggak ada di rumah, Fa. Masih di rumah sakit, tadi perut gue mules dan lang
"Ini topinya," ucap mama mertuaku sambil memberikan topi. Aku masih menundukkan wajah, karena ia penasaran dengan wajahku yang tertutup masker dan rambut berantakan. Beruntungnya, pintu lift terbuka, akhirnya aku aman dan mertuaku melanjutkan perjalanannya. Aku dan Alfa mengikuti langkah mama dengan hati-hati. Khawatir ia tahu bahwa aku sedang mengikutinya. Alfa meraih tanganku, selayaknya orang sedang bergandengan tangan. Namun, aku risih dengan gandengan tangannya. "Jangan gandeng-gandeng," bisikku. Khawatir kedengaran mama mertua yang berada di depan kami. "Biar nggak ketahuan lagi, Caca cakep," bisiknya gemas. Alfa tampak menggigit bibirnya hanya karena merasa geregetan atas sikapku. Mama menoleh, kemudian Alfa senyum padanya. Akan tetapi, mama mertuaku menghampiri kami. Jantungku benar-benar berdegup sangat kencang sekali, khawatir jika mama mengenaliku. Genggaman tangan Alfa semakin erat, aku tahu ini hanya pura-pura. "Maaf, kalian mau jenguk juga, ya?" tanya mama. Aku ha
Sepertinya Alfa paham akan kondisi saat ini, kami berada di kondisi yang sulit. "Tante, kami permisi, sudah ditunggu teman," pamit Alfa sembari menarik lenganku. "Iya hati-hati, huh buru-buru sekali kalian," celetuk Mama Sarah. Kami bersembunyi di balik ruangan seberang. Itu kami lakukan untuk mengintai mereka. Ya, aku penasaran sekali dengan Gilang dan Rosa, apa mereka kenal juga dengan mertuaku? Kutunggu saat-saat itu, di saat mereka berpapasan ketika berjalan. Kemudian, dengan posisi tubuh membungkuk, aku dan Alfa memperhatikannya. "Gimana?" tanya Mama mertuaku. Benar-benar keterlaluan, mereka pun kenal Mama Sarah. Kulihat mereka berjabat tangan, malah mata kepala ini melihat Rosa dan Gilang mengecup punggung tangan mertuaku. "Tante, kami pulang duluan, Amara sebentar lagi kedatangan mantan suaminya, kalau Tante mau ngobrol, sekarang saja." Aku menghela napas, segitu akrabnya mereka. Hati ini makin tercabik-cabik jadinya. Kesekian kalinya Alfa mengurut punggungku, ia menyur
"Kenapa malah duduk? Jawab pertanyaanku, kamu dari mana, Ca?" tanya Mas Sandi sekali lagi. Kemudian, ia duduk di sebelahku, masih dalam tatapan penuh kecurigaan. Seharusnya aku yang bertanya, dari mana dia, untuk apa tas itu. Memang lelaki jika memiliki rahasia, ia pandai memutarbalikkan fakta. Aku menghela napas, saat ini kami beradu pandangan, bukan karena saling sayang, tetapi saling curiga. "Aku boleh melontarkan pertanyaan yang sama?" tanyaku dengan alis terangkat. Bibirku sudah tak bisa memancarkan senyuman manis di hadapan laki-laki yang mempersuntingku lima tahun lamanya. Dua orang anak yang kami besarkan tidak membuatnya semakin sayang, justru makin kelihatan keburukannya. Mas Sandi mengecap bibirnya, kemudian ia tertawa kecil, seraya tak merasa bersalah. Kepalanya digelengkan, kemudian ia mendesah kesal. "Kenapa ditanya malah nanya balik!" sentaknya membuatku semakin enggan melihat lelaki tak tahu diri ini. Aku berdiri, hendak meraih ponsel yang kuletakkan di atas lema
[Ca, sorry banget, penyadap suaranya ilang, kayaknya jatuh di rumah sakit, gue lagi mau balik lagi nih ke rumah sakit.]Aku gemetar membaca pesan yang Alfa kirim, astaga bukti satu-satunya kini hilang. Alfa benar-benar teledor, aku jadi kehilangan bukti gara-gara dia. "Ca, mana buktinya? Kamu punya bukti apa?" tanya Mas Sandi. Aku kesal bercampur sesal, kenapa tidak aku saja yang pegang benda itu? [Gue mohon cari yang bener, gue nggak mau tahu!]Aku kirim pesan balasan itu, kemudian kembali bicara padanya. "Ada kok, tenang saja, bukti itu sedang dibackup oleh Alfa," sanggahku sambil mengangkat alis. Kemudian, aku duduk kembali, aku lupa ada mamaku di sini sedang menginap, tapi sejak aku datang, tak kutemui mama di sudut manapun. Aku akan melihat ke kamar tamu, seketika teringat pintu yang Mas Sandi buat. Ya, aku harus pertanyakan ini padanya. Aku bangkit sambil merapikan dress yang kupakai, ada perasaan heran ketika Mas Sandi menatapku dengan mata lebar ke arah baju yang kukenak
Pov Mamanya Caca Aku sudah mencurigai bahwa ada hal yang tidak baik di dalam keluarga Caca. Untuk itu, aku mencoba membantu putriku. Sejatinya, lelaki takkan mampu menahan hasratnya jika digoda oleh wanita. Amara adalah wanita yang masuk ke dalam rumah tangga anakku. Begitu pun dengan Sandi, ia kurang iman dalam menjaga hasratnya. Sebagai orang tua, aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk Caca. Akan kulakukan apa saja yang membuatnya bahagia. "Aku buka, ya Mah," ucapnya sambil membuka kertas yang kuberikan. Aku melipat kedua tanganku di atas dada, sambil menyaksikan anakku yang sedang membaca. Kemudian, Caca menoleh keheranan. Mulutnya terlihat menganga ketika usai membaca kertas tersebut. Aku menarik bibir ini dan melontarkan senyuman, alisku pun sengaja aku angkat seraya menunjukkan bahwa aku tengah melindunginya. "Mah," sapanya singkat. "Iya, Nak." Aku menjawab sambil memberikan kode. "Terima kasih banyak, Mah," ucap Caca sambil menyergap tubuhku. Akhirnya rasa har
Mamaku adalah penyelamatku, sepertinya itu yang pantas aku utarakan untuk orang tua yang selalu menyayangiku. Di saat aku butuh bantuannya, ia yang menjadi penolongku. Aku dan mama bersiap untuk bicara pada kedua mertuaku. Ya, salah satu dari mereka ada yang care dan ada yang tidak. Tidak menutup kemungkinan, papa sudah bicara dengan Mama Sarah, dan mungkin juga mereka ke sini untuk bahas semuanya. "Mah, Pah," sapaku menunduk. "Kamu baik-baik saja, Caca? Mana cucuku?" tanya Papa Tyo. "Ada, Pah, tidur di kamar, Papa gimana kabarnya?" tanyaku. "Baik, Papa baik, sepertinya kamu yang sedang tidak baik-baik saja," pungkas Papa Tyo. "Pah, apaan sih, kenapa lebay begitu?" cetus Mama Sarah. Seketika aku menoleh ke arahnya, sepertinya Papa belum menegurnya masalah ini. "Sudahlah, Papa ke sini, ngajak kamu ada tujuannya," jawab papa. Tiba-tiba Mas Sandi terkejut, ia mendongak seketika lalu menyorot ke arahku. Kemudian, Mas Sandi berbalik arah ke hadapan papa. Matanya menyipit seraya mem
Papa Tyo sudah bersiap untuk membuktikan bahwa Mas Sandi adalah ayah dari bayi yang dilahirkan oleh Amara. Terlihat sekali wajah Mas Sandi gugup dan terpancar kebohongan di matanya. Tiba-tiba Mama Sarah maju menepis tangan Papa Tyo yang menarik pergelangan tangan Mas Sandi. "Nggak usah ditarik segala, ini anakmu, darah dagingmu, Pah. Anehnya, ada orang tua mati-matian membela menantunya, bukan bela anaknya!" cetus Mama Sarah membuatku menelan saliva. "Sarah, nggak usah nyalahin anak orang segala, Pak Tyo hanya ingin memperlihatkan kebenaran, sebab orang yang tengah berbohong tak mengakuinya," jelas mamaku. "Sudahlah, Sandi, kamu bersedia tes DNA? Jika kamu tidak merasa itu adalah anakmu, pastinya tidak akan takut melakukan tes DNA," terang papa. Kemudian, Mas Sandi bergeming. "Siapa takut, ayo kita ke rumah sakit!" ajak mama. Ia menantang Papa Tyo untuk segera ke rumah sakit, ternyata Mama Sarah benar-benar tidak ingin terus terang pada papa. Untuk apa ia seperti itu? Menutupi a