Bagus berhasil masuk ke kediaman Asep. Dirasakannya tempat tinggal tetangganya itu yang lembab dan minim cahaya. Sungguh membuat tidak nyaman bagi siapa pun yang menempati rumah ini. Meski penerangan yang sedikit, Bagus dapat melihat sosok wanita yang berada sejauh satu meter dari posisinya berdiri. Bagus memangkas jaraknya dengan Hanna yang masih duduk di kursi.
Bagus terkejut ketika melihat gadis itu yang setengah telanjang. Namun, hasrat Bagus tidaklah langsung naik hanya gara-gara itu. Dirinya bukanlah Asep. Tujuan Bagus adalah murni ingin menyelamatkan gadis itu. Beragam asumsi sudah bersarang di kepala Bagus. Bisa saja Asep belum menuntaskan nafsu bejatnya terhadap wanita ini. Atau, bisa jadi sudah diperbuat Asep. Entahlah, Bagus tidak tahu. Ia mencoba membangun wanita itu agar secepatnya bisa bebas dari tempat ini, sebelum Asep datang. Bagus membuka kain yang menyumpal mulut Hanna.“Hey, kamu! Bangunlah. Ayo!” titah Bagus sambil menepuk-nepuk pipi Hanna. “Hey! Ayo, bangun! Kamu harus cepat keluar dari sini,” ucap Bagus lagi. Kini ia mengguncang bahu gadis itu. Melihat tidak ada pergerakan dari Hanna, pikir Bagus gadis itu jatuh pingsan. Lelaki itu berinisiatif untuk membawanya ke rumah. Diedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah Asep, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi tubuh Hanna. Karena tidak mungkin ia membawa seorang wanita dalam kondisi seperti itu. Dilihatnya sebuah gorden berwarna cokelat yang cukup panjang dan lebar. Bagus menarik gorden tersebut. Dibukanya ikatan tangan yang ada di belakang Hanna lalu ke kakinya. Lantas, membalut tubuh gadis itu dengan gorden yang ia ambil. Bagus menggendong tubuh Hanna ke rumahnya. Sempat berpikir dari mana akan lewat karena jika melalui jendela, hanya muat untuk satu orang saja, sedangkan Bagus saat ini tengah menggendong Hanna. Lelaki itu mencoba dari pintu belakang yang syukurnya tidak terkunci. Masih bisa dibuka dari dalam. Di tengah guyuran hujan, Bagus membawa Hanna. Tubuh mereka kebasahan. Sesampainya di dalam rumah, Bagus berjalan mengendap-ngendap, takut jika ayah dan adiknya nanti terbangun. Setibanya di kamar, Bagus membaringkan tubuh Hanna di kasurnya. Bagus mengambil kain bersih yang ada di dalam lemari lalu mulai mengeringkan sekaligus membersihkan tubuh Hanna. Gerakannya terhenti ketika melihat wajah Hanna. Ditatapnya lekat-lekat. “Siapa wanita ini? Apa hubungannya dia dengan Asep? Apakah dia korban lelaki itu selanjutnya?” tanya Bagus. Tidak heran jika Asep memang lelaki terhina yang Bagus kenal. Mungkin saja wanita yang ia selamatkan ini merupakan korban Asep yang ke sekian kalinya.Usai membersihkan tubuh Hanna, Bagus hendak memakaikan baju untuk gadis itu. Ia keluar kamar, dilihatnya ada pakaian milik Tyas yang berada di keranjang, tempat yang biasa adiknya itu gunakan untuk meletakkan baju-baju yang belum disetrika. Terletak di bawah, dekat kursi panjang yang terbuat dari kayu. Bagus mengambil satu baju panjang berwarna biru muda. Sedikit kusut, asal tidak bau, tidak apa-apa, pikir Bagus. Perawakan Tyas dan Hanna hampir sama. Jadi, untuk sementara waktu, Hanna memakai baju adiknya dulu. Bagus kembali ke kamar, memakaian baju Tyas ke Hanna. Gadis itu belum juga sadar rupanya. Rasa kantuk mulai menyerang. Tidak mungkin Bagus berbaring di sebelah Hanna. Sebelum meninggalkan Hanna, diberikan sebuah selimut untuk menghangatkan tubuh gadis itu dari cuaca dingin yang menyerang situasi malam ini. Ia pun keluar kamar lalu menuju teras, merebahkan tubuh ke lantai yang dingin tanpa bantal dan selimut. Di luar dalam kondisi masih hujan. ****Beberapa jam setelahnya. Tepat pukul 02.21 WIB, pagi hari, Asep yang telah kembali seusai menerima uang dari Robby. Diparkirkannya mobil di depan rumah dengan raut wajah berseri-seri, sehabis menerima banyak uang dari Robby. Asep yang belum keluar dari mobil, masih tergambar jelas bentuk tubuh Hanna, bermaksud melanjutkan hasratnya. Ternyata, Asep sepulang dari menemui Robby, ia membeli obat kuat. Sebuah pikiran kotor agar bisa kuat melampiaskan nafsu bejatnya kepada Hanna sampai matahari terbit dari ufuk timur.Asep mengeluarkan obat dan air mineral yang tadi sudah dibelinya. Menenggak obat berbentuk pil itu. Setelah meminumnya, ia keluar dari mobil. Terlihat langit-langit dengan hujan mulai reda. Ditambah suhu yang makin dingin, dampak dari hujan yang menerjang sebelumnya. Asep tampak bersemangat setelah meneguk obat, bergegas ia meninggalkan mobil baru kesayangannya.Ia berjalan melenggang dengan raut wajah berseri, memainkan kunci mobil di ujung jari. Seperti pemburu ingin segera menyantap hasil tangkapan. Namun, seketika wajahnya berubah menjadi suram, panik karena melihat Hanna sudah tidak berada di tempat. Bagaimana wanita yang ia sekap bisa terlepas? Asep yakin bahwa ia benar-benar mengikat Hanna dengan kuat pada tempatnya. Apalagi seutas tali terlihat tidak ada bekas potongan benda tajam. Sudah tentu, ada seseorang yang membantu melepaskan gadis itu.“Bagaimana bisa? Sialan! Siapa yang berani melepaskannya dan ikut campur urusanku!” Umpatan keluar dari mulut Asep.Asep mengemasi barang pribadi miliknya, berniat melarikan diri ke tempat lain. Terlintas dalam pikiran Asep, apakah Robby menjebaknya? Namun, tidak mungkin karena Robby sudah membayar Asep dengan harga sangat tinggi.Dampak dari obat mulai terasa. Sesuatu yang liar di dalam tubuhnya makin menggila. Kegelisahan di pembuluh darah sudah menjalar. Di antara kekesalan dan nafsu makin memuncak, Asep pergi meninggalkan kediamannya kembali. Bukannya khawatir karena Hanna melarikan diri, Asep justru hendak pergi jajan, menyewa wanita lain ke tempat prostitusi. Kelakuan Asep terlihat masa bodoh, dirinya malah hendak melarikan diri dari tanggung jawab yang telah diberikan Robby tanpa pikir panjang.Pagi kembali datang. Sisa-sisa hujan semalam masih tampak jelas. Menimbulkan genangan di tanah sekaligus bulir-bulir air masih membasahi dedaunan. Mentari masih malu-malu menyapa orang-orang yang memulai aktivitas. Tyas yang sudah siap untuk berangkat sekolah, bergerak menuju kamar kakaknya agar dibelikan sarapan. “Kak, beliin Tyas sarapan, Kak,” ucap Tyas. Terlihat masih dari luar pintu kamar Bagus.Ia mengetuk pintu berkali-kali. Namun, sepertinya tidak ada sahutan dari dalam kamar. Merasa tidak ada jawaban, Tyas pun memilih untuk membuka pintu itu langsung. Matanya membulat seketika melihat sosok gadis cantik yang berada di ranjang kakaknya. “Siapa perempuan ini? Ke mana Kak Bagus?” tanya Tyas.Ia kembali menutup pintu, mencari ke setiap ruangan dalam rumah. Hanya pintu kamar ayahnya yang tidak dibuka. Tyas pikir, kakaknya tidak akan ada di dalam sana. Ketika ia berjalan menuju teras, langkahnya terhenti saat melihat kakaknya yang tidur di luar dengan posisi meringkuk. “Kakak, ngapain tidur di sini? Ayo, bangun, Kak!” titah Tyas. Menggoyangkan tubuh Bagus.Bagus terbangun. Mengucek mata perlahan, dilihatnya sang adik yang sudah berdiri di hadapannya. “Tyas, sudah mau berangkat sekolah, ya?” tanya Bagus. “Iya. Kakak bisa jelaskan, siapa cewek yang ada di kalam kamar Kakak?” jawab Tyas diakhiri tanya. Karena rasa penasaran masih menghantui dirinya.Bagus paham siapa yang dimaksud adiknya itu. “Kakak selamatin dia. Semalam kakak lihat dia dibawa oleh Asep ke rumahnya. Kakak nggak tau entah apa yang sudah dilakukan lelaki itu. Kakak menolongnya, jadi kakak bawa ke rumah kita dulu,” jawab Bagus. “Tapi itu bukan urusan Kakak! Biarin sajalah. Kan gini jadi nyusahin Kakak, sampai-sampai Kakak tidur di luar, padahal semalam hujan,” sergah Tyas dengan suara sedikit meninggi.“Dek, kita itu harus menolong sesama. Bisa jadi dia adalah korban Asep. Kalian sama-sama wanita. Coba kamu pikir jika kamu berada di posisinya. Pasti ingin ada seseorang yang menolong, kan? Tidak ada salahnya kita berbuat kebaikan, Dek,” ujar Bagus. Mendengar perkataan Bagus, Tyas pun merasa seperti sebuah aliran listrik mengalir di seluruh peredaran darahnya. Bisa Tyas bayangkan jika kejadian tersebut terjadi kepada dirinya sendiri.“Iya, Kak. Iya. Beliin Tyas sarapan, Kak. Tyas mau berangkat sekolah,” ucap Tyas. “Kakak belikan. Tapi kakak minta tolong, habis pulang sekolah, kamu jaga gadis itu, ya. Kasih dia makan juga,” pinta Bagus. Tyas menghela napas, “Siap, Kakakku,” kata Tyas. Bagus tersenyum. Diusapnya lembut kepala Tyas. Lantas, Bagus pergi untuk membeli sarapan untuk mereka sekeluarga. Namun, tiba-tiba saja ditahan oleh Tyas. “Kakak, tunggu!” Bagus menghentikan langkahnya lalu berbalik badan, menghadap Tyas kembali. “Iya, Dek, ada apa?” tanya sang kakak. Tyas mengarahk
“Sudah tau pusing, lagi sakit. Sok-sokan pula kamu dengan kondisi lemah begini!” ujar Tyas sambil merangkul tubuh Hanna yang lemah.“Bisa mati aku dimarahin Kakak, kalau kau sampai mati di sini. Tentu juga sangat merepotkan kami mengurus biaya kematianmu,” sambung Tyas dengan perkataan yang tidak sopan.Hanna membulatkan kedua bola mata, seperti ingin keluar dari tempatnya. Seorang gadis berkata tidak sopan untuk ke sekian kali kepadanya. Namun, yang terlintas di pikiran Hanna, walaupun Tyas tidak sopan kepadanya, tetapi ia sangat menurutin perkataan Kakaknya. Membuat Hanna menjadi penasaran siapa sang kakak yang terus menerus diucapkan gadis itu.“Sebaiknya kamu makan, jika tidak makan kondisimu akan makin melemah. Maaf kami tidak bisa memberimu makan yang enak seperti yang kau makan sehari-hari di luar sana,” imbuh Tyas dengan intonasi yang pelan. ***Bagus tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir. Ketika ia akhirnya bisa tidur, malah di tempat yang tidak nyaman. Di te
Bagus menoleh. Entah sejak kapan Asep datang dan seenaknya menghardik dirinya begitu saja. Tak ubahnya seperti Julio tadi. Perkataan Asep lebih menohok. Namun, Bagus rasa Asep-lah orang yang tak tahu diri!“Tampangku masih lebih mending darimu, Asep,” batin Bagus. Bagus bangkit dari duduknya sambil mengontrol emosi di dada. “Mungkin kau sudah merasa kaya sekarang. Tapi, hartamu didapat dari jalan yang tidak halal. Harusnya kau sadar akan hal itu,” ucap Bagus. Untuk hal yang satu ini, ia berani melawan. Sebab Asep sama seperti dirinya. Bukan sombong, tetapi Bagus bisa mengatakan kalau dirinya lebih baik dari Asep. Tetangganya itu, entah berapa banyak keburukan yang ia buat, entah dari mana saja ia peroleh pundi-pundi kekayaannya. Terakhir kali, ia memergoki Asep yang menyekap seorang gadis dalam rumahnya. Bagus jadi teringat akan gadis itu. Bagaimana kondisinya sekarang? Pikir Bagus. “Berani kau melawan aku, Sialan!” umpat Asep. Hampir saja satu bogem mentah mendarat ke wajah Bagus,
“Pak, apa benar di sini sedang membutuhkan kuli angkut?” tanya Bagus. Lelaki itu menatap Bagus dari atas sampai bawah lalu berkata, “Iya, benar.”“Saya mau menjadi kuli angkut di sini, Pak. Apa bisa?” tanya Bagus. Karena kesibukan melayani pembeli, pemilik toko itu tak sempat menginterogasi Bagus. Dia pun mengiyakan saja. Bagus amat senang, terlebih dia langsung bekerja hari itu juga. “Tolong angkat barang belanjaan ibu itu,” titah pemilik toko. Bagus mengangguk. Menghampiri seorang wanita yang dimaksud sang pemilik toko. Bagus menatap barang belanjaan wanita yang asyik berkipas itu sampai-sampai menelan ludah. Barang belanjaannya begitu banyak. Karena diam saja, membuat ibu berpenampilan modis tersebut tampak marah. “Kenapa kau diam saja? Cepat angkat barang-barang saya.” Bagus tersentak, tubuh gemetar melihat mengerikannya tatapan wanita itu. Bagus langsung mengangkat sepuluh karung beras di pungungnya. Satu karung beras, beratnya sepuluh kilo. Oh, tidak, Bagus merasakan ini le
“Rese banget tuh orang. Dia bisa bawa kendaraan apa enggak, sih. Dikiranya jalan itu punya nenek moyangnya apa? Bukannya lihat-lihat dulu. Dasar. Baju Kakak sampai kayak gini, kan.” Bagus justru tertawa mendengar celotehan adiknya. Hiburan di tengah duka. “Sudahlah, tidak apa-apa. Berpikir positif. Mungkin dia lagi buru-buru, jadi tidak melihat kakak,” ujar Bagus. Tyas memanyunkan bibirnya beberapa sentimeter ke depan. “Kakak, mah, baik banget orangnya,” balas Tyas. Bagus tersenyum tipis. Mengacak-acak rambut panjang sang adik. Bagus beranjak ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Begitu usai, dia pun berganti baju dengan yang bersih. Baju kotor tadi, dia letakkan di keranjang. Bersatu dengan pakaian kotor lain. Setelahnya, lelaki itu menghampiri adiknya yang duduk termenung di lantai. “Dek, kenapa melamun?” tanya Bagus. Ikut duduk di samping gadis itu. “Lagi melamun, mau sampai berapa lama wanita yang Kakak bawa itu berada di rumah kita?” Tyas melemparkan pertanyaan. Bagus tam
Kesedihan beserta kemarahan kini menyelimuti diri gadis itu. Menjerit dan meraung, dengan satu gerakan tangan menyapu seisi barang-barang yang ada di atas meja. Semua jatuh ke lantai. Pecah, berserak, termasuk foto kebersamaan mereka. Buat apa lagi masih dipajang, hubungan juga sudah kandas. Cairan berwarna merah keluar dari tangan Hanna akibat terkena goresan benda-benda tajam. Tangan yang terluka tidak terasa karena dikalahkan dengan perihnya luka hati. Terlihat darah menetes dari sayatan luka di tangan Hanna.Gadis itu melangkah gontai ke arah kamar mandi. Menghidupkan shower dan duduk di bawah derasnya air yang mengalir. Tubuhnya basah, meringkuk dengan kesedihan mendalam. Rasa dingin yang menyergap tak lagi dihiraukan. Air mata jatuh, bersatu dengan air dari shower yang mengalir. Darah masih mengucur, meninggalkan warna merah di lantai. Mengalir bersama air. Berakhir masuk ke saluran akhir. “Andai, andai aku bisa memutar waktu dan memperbaiki semuanya,” lirih Hanna. Menyigar ra
“Hah! Napas kau bau. Udah berapa lama kau tidak gosok gigi?” ucap lelaki tersebut lalu pergi meninggalkan Asep. “Dadah, Cantik. Hehe,” balas Asep sambil melambaikan tangan. Karena dalam kondisi tidak sadar, Asep sampai-sampai mengatakan lelaki berambut gondrong tersebut dengan kata cantik. Sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di salah satu rumah bercat putih. Suasana kawasan tersebut amat sepi karena seluruh warga masing-masing sudah terlelap dalam mimpi. Asep keluar dari dalam mobil, kondisinya sudah tidak semabuk tadi. Ia juga bisa mengendarai kendaraan beroda empat tersebut dalam keadaan selamat. Mungkin karena jalan raya jika sudah pukul 02.00 WIB agak lengang. Asep pun melangkah memasuki rumahnya, tetapi ia berpapasan dengan seseorang. Salah satu rumah tampak gelap gulita, membuat penghuninya mencari tahu penyebab lampu bisa padam. Hanya cahaya yang berasal dari senter bisa memberikan sedikit penerangan. “Apa mati lampu, ya?” tanya Bagus. Ia mendekat ke arah jendela
“Tyas, kaki kamu kenapa?” tanya Pipit, teman dekat Tyas. Tyas mendudukkan dirinya di sebelah gadis itu. “Sepatuku rusak, Pit,” jawab Tyas. “Tadi kamu naik apa kemari?” tanya Pipit lagi. “Jalan kaki. Capek banget,” jawab Tyas. Ia pun mengambil sebotol air mineral di dalam ranselnya yang selalu ia bawa dari rumah. Meneguknya perlahan. “Itu mah jauh banget, Yas. Kamu nggak punya uang, ya? Ya udah, nanti kamu pulang sama aku aja, ya,” tawar Pipit. Mata Tyas berbinar-binar. “Serius, Pit?” tanya Tyas. “Iya, serius,” jawab Pipit. Ditutup dengan senyum yang mengembang indah. “Makasih banyak, ya, Pit,” sahut Tyas. Memeluk sahabatnya itu. “Sama-sama. Oh, ya, tadi Pak Ryan nyariin kamu, sih,” ucap Tyas. “Ada perlu apa?” tanya Tyas. Mengernyitkan dahi. Heran mengapa wakil kepala sekolahnya tersebut mencari dirinya. “Nggak tau, deh. Ntar jam istirahat kamu coba aja ke ruangannya,” jawab Pipit yang dibalas anggukan oleh Tyas. Begitu bel istirahat berbunyi, Tyas langsung menuju ruangan wak