“Sudah tau pusing, lagi sakit. Sok-sokan pula kamu dengan kondisi lemah begini!” ujar Tyas sambil merangkul tubuh Hanna yang lemah.“Bisa mati aku dimarahin Kakak, kalau kau sampai mati di sini. Tentu juga sangat merepotkan kami mengurus biaya kematianmu,” sambung Tyas dengan perkataan yang tidak sopan.Hanna membulatkan kedua bola mata, seperti ingin keluar dari tempatnya. Seorang gadis berkata tidak sopan untuk ke sekian kali kepadanya. Namun, yang terlintas di pikiran Hanna, walaupun Tyas tidak sopan kepadanya, tetapi ia sangat menurutin perkataan Kakaknya. Membuat Hanna menjadi penasaran siapa sang kakak yang terus menerus diucapkan gadis itu.“Sebaiknya kamu makan, jika tidak makan kondisimu akan makin melemah. Maaf kami tidak bisa memberimu makan yang enak seperti yang kau makan sehari-hari di luar sana,” imbuh Tyas dengan intonasi yang pelan. ***Bagus tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir. Ketika ia akhirnya bisa tidur, malah di tempat yang tidak nyaman. Di te
Bagus menoleh. Entah sejak kapan Asep datang dan seenaknya menghardik dirinya begitu saja. Tak ubahnya seperti Julio tadi. Perkataan Asep lebih menohok. Namun, Bagus rasa Asep-lah orang yang tak tahu diri!“Tampangku masih lebih mending darimu, Asep,” batin Bagus. Bagus bangkit dari duduknya sambil mengontrol emosi di dada. “Mungkin kau sudah merasa kaya sekarang. Tapi, hartamu didapat dari jalan yang tidak halal. Harusnya kau sadar akan hal itu,” ucap Bagus. Untuk hal yang satu ini, ia berani melawan. Sebab Asep sama seperti dirinya. Bukan sombong, tetapi Bagus bisa mengatakan kalau dirinya lebih baik dari Asep. Tetangganya itu, entah berapa banyak keburukan yang ia buat, entah dari mana saja ia peroleh pundi-pundi kekayaannya. Terakhir kali, ia memergoki Asep yang menyekap seorang gadis dalam rumahnya. Bagus jadi teringat akan gadis itu. Bagaimana kondisinya sekarang? Pikir Bagus. “Berani kau melawan aku, Sialan!” umpat Asep. Hampir saja satu bogem mentah mendarat ke wajah Bagus,
“Pak, apa benar di sini sedang membutuhkan kuli angkut?” tanya Bagus. Lelaki itu menatap Bagus dari atas sampai bawah lalu berkata, “Iya, benar.”“Saya mau menjadi kuli angkut di sini, Pak. Apa bisa?” tanya Bagus. Karena kesibukan melayani pembeli, pemilik toko itu tak sempat menginterogasi Bagus. Dia pun mengiyakan saja. Bagus amat senang, terlebih dia langsung bekerja hari itu juga. “Tolong angkat barang belanjaan ibu itu,” titah pemilik toko. Bagus mengangguk. Menghampiri seorang wanita yang dimaksud sang pemilik toko. Bagus menatap barang belanjaan wanita yang asyik berkipas itu sampai-sampai menelan ludah. Barang belanjaannya begitu banyak. Karena diam saja, membuat ibu berpenampilan modis tersebut tampak marah. “Kenapa kau diam saja? Cepat angkat barang-barang saya.” Bagus tersentak, tubuh gemetar melihat mengerikannya tatapan wanita itu. Bagus langsung mengangkat sepuluh karung beras di pungungnya. Satu karung beras, beratnya sepuluh kilo. Oh, tidak, Bagus merasakan ini le
“Rese banget tuh orang. Dia bisa bawa kendaraan apa enggak, sih. Dikiranya jalan itu punya nenek moyangnya apa? Bukannya lihat-lihat dulu. Dasar. Baju Kakak sampai kayak gini, kan.” Bagus justru tertawa mendengar celotehan adiknya. Hiburan di tengah duka. “Sudahlah, tidak apa-apa. Berpikir positif. Mungkin dia lagi buru-buru, jadi tidak melihat kakak,” ujar Bagus. Tyas memanyunkan bibirnya beberapa sentimeter ke depan. “Kakak, mah, baik banget orangnya,” balas Tyas. Bagus tersenyum tipis. Mengacak-acak rambut panjang sang adik. Bagus beranjak ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Begitu usai, dia pun berganti baju dengan yang bersih. Baju kotor tadi, dia letakkan di keranjang. Bersatu dengan pakaian kotor lain. Setelahnya, lelaki itu menghampiri adiknya yang duduk termenung di lantai. “Dek, kenapa melamun?” tanya Bagus. Ikut duduk di samping gadis itu. “Lagi melamun, mau sampai berapa lama wanita yang Kakak bawa itu berada di rumah kita?” Tyas melemparkan pertanyaan. Bagus tam
Kesedihan beserta kemarahan kini menyelimuti diri gadis itu. Menjerit dan meraung, dengan satu gerakan tangan menyapu seisi barang-barang yang ada di atas meja. Semua jatuh ke lantai. Pecah, berserak, termasuk foto kebersamaan mereka. Buat apa lagi masih dipajang, hubungan juga sudah kandas. Cairan berwarna merah keluar dari tangan Hanna akibat terkena goresan benda-benda tajam. Tangan yang terluka tidak terasa karena dikalahkan dengan perihnya luka hati. Terlihat darah menetes dari sayatan luka di tangan Hanna.Gadis itu melangkah gontai ke arah kamar mandi. Menghidupkan shower dan duduk di bawah derasnya air yang mengalir. Tubuhnya basah, meringkuk dengan kesedihan mendalam. Rasa dingin yang menyergap tak lagi dihiraukan. Air mata jatuh, bersatu dengan air dari shower yang mengalir. Darah masih mengucur, meninggalkan warna merah di lantai. Mengalir bersama air. Berakhir masuk ke saluran akhir. “Andai, andai aku bisa memutar waktu dan memperbaiki semuanya,” lirih Hanna. Menyigar ra
“Hah! Napas kau bau. Udah berapa lama kau tidak gosok gigi?” ucap lelaki tersebut lalu pergi meninggalkan Asep. “Dadah, Cantik. Hehe,” balas Asep sambil melambaikan tangan. Karena dalam kondisi tidak sadar, Asep sampai-sampai mengatakan lelaki berambut gondrong tersebut dengan kata cantik. Sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di salah satu rumah bercat putih. Suasana kawasan tersebut amat sepi karena seluruh warga masing-masing sudah terlelap dalam mimpi. Asep keluar dari dalam mobil, kondisinya sudah tidak semabuk tadi. Ia juga bisa mengendarai kendaraan beroda empat tersebut dalam keadaan selamat. Mungkin karena jalan raya jika sudah pukul 02.00 WIB agak lengang. Asep pun melangkah memasuki rumahnya, tetapi ia berpapasan dengan seseorang. Salah satu rumah tampak gelap gulita, membuat penghuninya mencari tahu penyebab lampu bisa padam. Hanya cahaya yang berasal dari senter bisa memberikan sedikit penerangan. “Apa mati lampu, ya?” tanya Bagus. Ia mendekat ke arah jendela
“Tyas, kaki kamu kenapa?” tanya Pipit, teman dekat Tyas. Tyas mendudukkan dirinya di sebelah gadis itu. “Sepatuku rusak, Pit,” jawab Tyas. “Tadi kamu naik apa kemari?” tanya Pipit lagi. “Jalan kaki. Capek banget,” jawab Tyas. Ia pun mengambil sebotol air mineral di dalam ranselnya yang selalu ia bawa dari rumah. Meneguknya perlahan. “Itu mah jauh banget, Yas. Kamu nggak punya uang, ya? Ya udah, nanti kamu pulang sama aku aja, ya,” tawar Pipit. Mata Tyas berbinar-binar. “Serius, Pit?” tanya Tyas. “Iya, serius,” jawab Pipit. Ditutup dengan senyum yang mengembang indah. “Makasih banyak, ya, Pit,” sahut Tyas. Memeluk sahabatnya itu. “Sama-sama. Oh, ya, tadi Pak Ryan nyariin kamu, sih,” ucap Tyas. “Ada perlu apa?” tanya Tyas. Mengernyitkan dahi. Heran mengapa wakil kepala sekolahnya tersebut mencari dirinya. “Nggak tau, deh. Ntar jam istirahat kamu coba aja ke ruangannya,” jawab Pipit yang dibalas anggukan oleh Tyas. Begitu bel istirahat berbunyi, Tyas langsung menuju ruangan wak
“Oh, don’t say it! Ambillah, saya juga ikhlas memberikannya ke kamu,” ucap Sean. Ia bukan munafik tidak butuh uang. Ia juga bukan menolak agar ujungnya orang tersebut tidak enak hati, merasa berutang budi, dan terus membujuk agar menerima pemberian. Namun, di lubuk hati Bagus ia benar-benar ikhlas menolong. Tanpa imbalan. Mengucap syukur sebanyak-banyaknya dalam hati. Tidak menyangka akan hari ini. Inilah hasil dari usaha Bagus. Datang rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. “Thank you so much, Sir,” ucap Bagus. Membungkukkan badan sebagai bentuk hormat. “Your welcome. Datanglah besok ke perusahaan saya. Saya tunggu. Oke, kalau begitu saya pamit,” ucapnya. “Yes, Sir. Be careful,” ucap Bagus. Lelaki itu amat senang hari ini. Lelahnya mencari pekerjaan, akhirnya berbuah keberhasilan. Tak hentinya ia mengucapkan syukur kepada atas nikmat yang diberikan Tuhan. Setelah mendapatkan uang dengan nominal yang cukup besar, tentu saja Bagus sangat senang hatinya. Mengingat Tyas–adik s