Asep kesal, ia menyumpal kembali mulut Hanna. Hendak melanjutkan aksi tak senonoh yang sempat tertunda.
“Lebih baik mulutmu tersumpal begini,” ucap Asep. Mengikatkan sumpalan lebih kuat.Hanna meronta-ronta. Ia tahu bahwa akan terjadi hal yang tidak beres selanjutnya. Pikiran kotor lelaki itu. Berusaha melawan sekeras yang ia bisa, tetapi berakhir sia-sia. Fisik Asep sangat kuat, tak bisa dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hanna lemah. Dress Hanna dilucuti dari tubuhnya. “Mmmm … mmmm.” Hanna bergumam tak jelas. Asep menggeleng lalu tersenyum miring, makin Hanna meronta, makin membuat Asep bernafsu. Apalah daya Hanna tidak sanggup melawan dalam kondisi terikat. Tubuh bagian atas Hanna dijamah oleh Asep. Saat ini kondisi Hanna setengah telanjang, baru bagian atas yang terbuka.Air mata mulai keluar dari kedua mata Hanna. Berharap terbangun dari mimpi buruk yang saat ini terjadi. Hanna, seseorang yang sangat disegani ketika berada di luar sana, malah dilecehkan di tempat kumuh seperti ini. Begitulah yang ada di pikirannya, merasa harga dirinya sudah ternodai oleh lelaki jahanam seperti Asep yang tidak dikenalinya.Dengan kedua tangannya, Asep menjamah keindahan tubuh Hanna, tanpa perlawanan dari gadis itu. Ia mulai melepaskan kancing kemejanya satu persatu dan melanjutkan dengan menanggalkan celana yang masih melekat pada dirinya. Tindakannya terhenti saat merasakan getaran dan mendengar sebuah panggilan dari ponsel miliknya.“Sialan! Siapa yang telah menggangguku lagi mau enak begini,” gerutu Asep. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.Tertera nomor tak bernama dalam panggilan tersebut. Namun, Asep mengetahui nomor itu adalah milik orang yang menyewa jasanya. Dengan malas dan raut wajah masam, Asep mengangkat panggilan tersebut. Ia juga ingat, baru mendapat uang muka saja dari seseorang itu. Ternyata tadi Asep belum memberikan kabar kepada orang yang menyewanya. Orang yang menyewa Asep adalah Robby. Sekalian saja ia menagih sisanya, pikir Asep.“Ada apa kau meneleponku?” tanya Asep memulai obrolan lewat telepon.“Dasar dungu, berani juga kau bicara seperti itu kepadaku! Aku tentu ingin menanyakan bagaimana dengan tugas yang telah aku berikan kepadamu, Keparat!” maki Robby lewat percakapan telepon.“Tentu saja dia sudah aku amankan. Dan, bagaimana dengan sisanya?” jawab Asep sekaligus melayangkan pertanyaan. “Aku kira kau tidak menginginkan sisa pembayarannya karena suaramu tadi seperti kau sudah menjadi orang kaya dari pada aku sekarang,” hina Robby untuk Asep.“Sialan!” umpat Asep.“Aku menghubungi karena ingin membayarmu sekarang juga,” ujar Robby.“Dini hari begini? Dan, di luar masih hujan, mengapa kau tidak transfer saja ke rekeningku? Repot sekali pemikiranmu!” cibir Asep.“Aku tidak bisa mentransfermu, laporan keuanganku nanti pasti akan ditanya ini itu. Kalau secara tunai, aku bisa mempunyai alasan yang lain dan kalau besok-besok aku tidak janji bisa bertemu denganmu karena kesibukanku,” jelas Robby. “Dasar bodoh! Kalau kau tidak ingin dibayar, aku anggap urusan kita selesai sampai di sini,” sambung Robby. Terdengar kesal.“Enak saja. Baiklah, di mana kita bertemu?” tanya Asep.“Aku kirimkan lokasinya sekarang melalui pesan, cepat kau kemari! Aku tidak bisa lama-lama berada di sini,” jawab Robby yang langsung mengakhiri panggilan.Belum sempat berbicara, Asep mengeluh karena panggilan yang terputus.“Emang keparat! Sok berkuasa! Bajingan sialan,” maki Asep. Mengeluarkan sumpah serapah yang tertahan. Begitu si penelepon sudah mengakhiri panggilan secara sepihak, langsung diluapkannya secara bebas makiannya itu.Melirik ponsel lalu menyimpan kembali dalam saku celananya. Asep merasa dilema karena dengan pilihan melanjutkan hasratnya atau sisa uang pembayaran. Memperhatikan Hanna yang sedang setengah telanjang, Asep terlihat bernafsu sekali. Namun, ia harus menahan nafsunya demi uang. Tubuh Hanna dan uang sama-sama membuatnya bernafsu, tetapi uang lebih menggiurkan. Toh, setelah mendapat uang, ia kembali ke sini dan bisa melanjutkan hasratnya kepada Hanna sepuasnya, pikir Asep.Dengan terpaksa, ia memakai kembali pakaian dan meninggalkan Hanna sendirian di dalam ruangan. Hanna yang ditinggal sendiri hanya bisa menangis, keadaan mental Hanna tertekan. Apalagi ia belum makan beberapa hari, memperlihatkan wajah pucat Hanna.Masih dalam keadaan terikat di sebuah kursi dalam keadaan setengah telanjang, bagian atas hanya ditutup sebuah bra dan celana dalam. Dalam keadaan lemah dan tak berkutik, Hanna hanya bisa menangis meratapi hidup yang telah salah memilih kepercayaan kepada Robby.Penyesalan yang datang terakhir karena membantah ucapan sang papa masih melintas di kepala Hanna. Ia cuma bisa pasrah, berharap terbangun dari mimpi buruknya. Dalam ruangan lembab dan nyaris tanpa diterangin cahaya. Hanya terdengar isak tangis Hanna.****Bagus yang masih berada di luar kontrakan Asep, mencari posisi bersembunyi karena mendengar derap langkah yang mendekat. Di balik persembunyiannya, ia melihat Asep yang berjalan dari kejauhan memasuki mobil. Satu pertanyaan yang muncul di pikiran Bagus, apa yang sudah Asep lakukan kepada wanita yang dibawanya di dalam sana?Sedangkan Asep yang sudah di dalam mobil, melihat ponsel genggamnya, membaca pesan yang dikirim oleh Robby. Tujuan lokasi mereka akan bertemu. Tampak banyak kerutan di wajah Asep. Ia amat kesal karena Robby mengganggu kesenangan yang ingin ia peroleh dari Hanna. Menikmati tubuh wanita itu karena butuh banyak uang bagi Asep untuk mendapatkan wanita secantik Hanna. Apalagi seorang putri pewaris tunggal sebuah perusahaan tersohor, mempunyai cabang besar di berbagai negara dengan produk-produk terkemuka dan berkualitas. Andai saja Asep di posisi Robby, pasti ia tidak akan tergiur oleh wanita lain karena kekayaan keluarga Hanna sangat besar dan disegani kalangan atas.Tersentak dari lamunan, Asep menghidupkan mobil yang diberikan oleh Robby untuknya. Faktanya, bayaran yang cukup besar bagi Asep hingga mendapatkan satu unit mobil dan uang tunai melimpah dari Robby. Dengan mengerjakan tugas ringan dan tidak sulit baginya. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman kontrakan kumuh dan lama milik Asep yang bertahun-tahun ia singgahi selama ini.Mengetahui bahwa Asep telah benar-benar meninggalkan kediamannya, Bagus langsung mencari jalan untuk menerobos masuk. Mengusap wajah karena air hujan, lelaki itu melirik ke arah pintu depan. Menggoyangkan kenop pintu berulang kali, bermaksud membuka pintu secara paksa. Namun, hasilnya nihil, tidak terbuka sama sekali. Bagus tidak kehabisan akal. Rasa penasarannya amat tinggi untuk mengetahui bagaimana nasib seorang wanita di dalam kediaman Asep. Menyelamatkan wanita tersebut sebisa yang Bagus perbuat nanti. Masih mengitari sekeliling kawasan rumah itu, mencari celah agar dapat memasuki rumah yang ada di hadapannya. Dari pintu depan sampai pintu belakang rumah telah Bagus coba, tetapi ia belum juga menemukan titik celah. Ingin rasanya membuka rumah tersebut secara paksa. Tiba-tiba, niat Bagus terhenti, arah pandangnya tertuju pada sebuah jendela samping rumah Asep yang sepertinya tidak terkunci. Bagus mencoba membuka jendela itu. Benar saja, memang tidak terkunci. Dengan cepat, Bagus mengambil tindakan masuk lewat jendela, tanpa berpikir panjang. Memang kawasan tempat Bagus jika sudah dini hari suasananya terasa sunyi karena para penduduk sudah terlelap dalam buaian mimpi masing-masing. Dan, mereka juga tidak suka kelayapan karena takut hal tidak diinginkan terjadi. Gemuruh suara guntur menari di atas langit, diiringi dengan derasnya hujan. Ditambah dengan suara tangisan Hanna. Gadis itu kelelahan, kembali memejamkan mata. Tubuh yang sudah lemas tak berdaya, membuat gadis itu kembali jatuh pingsan untuk ke sekian kalinya.Bagus berhasil masuk ke kediaman Asep. Dirasakannya tempat tinggal tetangganya itu yang lembab dan minim cahaya. Sungguh membuat tidak nyaman bagi siapa pun yang menempati rumah ini. Meski penerangan yang sedikit, Bagus dapat melihat sosok wanita yang berada sejauh satu meter dari posisinya berdiri. Bagus memangkas jaraknya dengan Hanna yang masih duduk di kursi. Bagus terkejut ketika melihat gadis itu yang setengah telanjang. Namun, hasrat Bagus tidaklah langsung naik hanya gara-gara itu. Dirinya bukanlah Asep. Tujuan Bagus adalah murni ingin menyelamatkan gadis itu. Beragam asumsi sudah bersarang di kepala Bagus. Bisa saja Asep belum menuntaskan nafsu bejatnya terhadap wanita ini. Atau, bisa jadi sudah diperbuat Asep. Entahlah, Bagus tidak tahu. Ia mencoba membangun wanita itu agar secepatnya bisa bebas dari tempat ini, sebelum Asep datang. Bagus membuka kain yang menyumpal mulut Hanna.“Hey, kamu! Bangunlah. Ayo!” titah Bagus sambil menepuk-nepuk pipi Hanna. “Hey! Ayo, bangun! Kam
“Dek, kita itu harus menolong sesama. Bisa jadi dia adalah korban Asep. Kalian sama-sama wanita. Coba kamu pikir jika kamu berada di posisinya. Pasti ingin ada seseorang yang menolong, kan? Tidak ada salahnya kita berbuat kebaikan, Dek,” ujar Bagus. Mendengar perkataan Bagus, Tyas pun merasa seperti sebuah aliran listrik mengalir di seluruh peredaran darahnya. Bisa Tyas bayangkan jika kejadian tersebut terjadi kepada dirinya sendiri.“Iya, Kak. Iya. Beliin Tyas sarapan, Kak. Tyas mau berangkat sekolah,” ucap Tyas. “Kakak belikan. Tapi kakak minta tolong, habis pulang sekolah, kamu jaga gadis itu, ya. Kasih dia makan juga,” pinta Bagus. Tyas menghela napas, “Siap, Kakakku,” kata Tyas. Bagus tersenyum. Diusapnya lembut kepala Tyas. Lantas, Bagus pergi untuk membeli sarapan untuk mereka sekeluarga. Namun, tiba-tiba saja ditahan oleh Tyas. “Kakak, tunggu!” Bagus menghentikan langkahnya lalu berbalik badan, menghadap Tyas kembali. “Iya, Dek, ada apa?” tanya sang kakak. Tyas mengarahk
“Sudah tau pusing, lagi sakit. Sok-sokan pula kamu dengan kondisi lemah begini!” ujar Tyas sambil merangkul tubuh Hanna yang lemah.“Bisa mati aku dimarahin Kakak, kalau kau sampai mati di sini. Tentu juga sangat merepotkan kami mengurus biaya kematianmu,” sambung Tyas dengan perkataan yang tidak sopan.Hanna membulatkan kedua bola mata, seperti ingin keluar dari tempatnya. Seorang gadis berkata tidak sopan untuk ke sekian kali kepadanya. Namun, yang terlintas di pikiran Hanna, walaupun Tyas tidak sopan kepadanya, tetapi ia sangat menurutin perkataan Kakaknya. Membuat Hanna menjadi penasaran siapa sang kakak yang terus menerus diucapkan gadis itu.“Sebaiknya kamu makan, jika tidak makan kondisimu akan makin melemah. Maaf kami tidak bisa memberimu makan yang enak seperti yang kau makan sehari-hari di luar sana,” imbuh Tyas dengan intonasi yang pelan. ***Bagus tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir. Ketika ia akhirnya bisa tidur, malah di tempat yang tidak nyaman. Di te
Bagus menoleh. Entah sejak kapan Asep datang dan seenaknya menghardik dirinya begitu saja. Tak ubahnya seperti Julio tadi. Perkataan Asep lebih menohok. Namun, Bagus rasa Asep-lah orang yang tak tahu diri!“Tampangku masih lebih mending darimu, Asep,” batin Bagus. Bagus bangkit dari duduknya sambil mengontrol emosi di dada. “Mungkin kau sudah merasa kaya sekarang. Tapi, hartamu didapat dari jalan yang tidak halal. Harusnya kau sadar akan hal itu,” ucap Bagus. Untuk hal yang satu ini, ia berani melawan. Sebab Asep sama seperti dirinya. Bukan sombong, tetapi Bagus bisa mengatakan kalau dirinya lebih baik dari Asep. Tetangganya itu, entah berapa banyak keburukan yang ia buat, entah dari mana saja ia peroleh pundi-pundi kekayaannya. Terakhir kali, ia memergoki Asep yang menyekap seorang gadis dalam rumahnya. Bagus jadi teringat akan gadis itu. Bagaimana kondisinya sekarang? Pikir Bagus. “Berani kau melawan aku, Sialan!” umpat Asep. Hampir saja satu bogem mentah mendarat ke wajah Bagus,
“Pak, apa benar di sini sedang membutuhkan kuli angkut?” tanya Bagus. Lelaki itu menatap Bagus dari atas sampai bawah lalu berkata, “Iya, benar.”“Saya mau menjadi kuli angkut di sini, Pak. Apa bisa?” tanya Bagus. Karena kesibukan melayani pembeli, pemilik toko itu tak sempat menginterogasi Bagus. Dia pun mengiyakan saja. Bagus amat senang, terlebih dia langsung bekerja hari itu juga. “Tolong angkat barang belanjaan ibu itu,” titah pemilik toko. Bagus mengangguk. Menghampiri seorang wanita yang dimaksud sang pemilik toko. Bagus menatap barang belanjaan wanita yang asyik berkipas itu sampai-sampai menelan ludah. Barang belanjaannya begitu banyak. Karena diam saja, membuat ibu berpenampilan modis tersebut tampak marah. “Kenapa kau diam saja? Cepat angkat barang-barang saya.” Bagus tersentak, tubuh gemetar melihat mengerikannya tatapan wanita itu. Bagus langsung mengangkat sepuluh karung beras di pungungnya. Satu karung beras, beratnya sepuluh kilo. Oh, tidak, Bagus merasakan ini le
“Rese banget tuh orang. Dia bisa bawa kendaraan apa enggak, sih. Dikiranya jalan itu punya nenek moyangnya apa? Bukannya lihat-lihat dulu. Dasar. Baju Kakak sampai kayak gini, kan.” Bagus justru tertawa mendengar celotehan adiknya. Hiburan di tengah duka. “Sudahlah, tidak apa-apa. Berpikir positif. Mungkin dia lagi buru-buru, jadi tidak melihat kakak,” ujar Bagus. Tyas memanyunkan bibirnya beberapa sentimeter ke depan. “Kakak, mah, baik banget orangnya,” balas Tyas. Bagus tersenyum tipis. Mengacak-acak rambut panjang sang adik. Bagus beranjak ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Begitu usai, dia pun berganti baju dengan yang bersih. Baju kotor tadi, dia letakkan di keranjang. Bersatu dengan pakaian kotor lain. Setelahnya, lelaki itu menghampiri adiknya yang duduk termenung di lantai. “Dek, kenapa melamun?” tanya Bagus. Ikut duduk di samping gadis itu. “Lagi melamun, mau sampai berapa lama wanita yang Kakak bawa itu berada di rumah kita?” Tyas melemparkan pertanyaan. Bagus tam
Kesedihan beserta kemarahan kini menyelimuti diri gadis itu. Menjerit dan meraung, dengan satu gerakan tangan menyapu seisi barang-barang yang ada di atas meja. Semua jatuh ke lantai. Pecah, berserak, termasuk foto kebersamaan mereka. Buat apa lagi masih dipajang, hubungan juga sudah kandas. Cairan berwarna merah keluar dari tangan Hanna akibat terkena goresan benda-benda tajam. Tangan yang terluka tidak terasa karena dikalahkan dengan perihnya luka hati. Terlihat darah menetes dari sayatan luka di tangan Hanna.Gadis itu melangkah gontai ke arah kamar mandi. Menghidupkan shower dan duduk di bawah derasnya air yang mengalir. Tubuhnya basah, meringkuk dengan kesedihan mendalam. Rasa dingin yang menyergap tak lagi dihiraukan. Air mata jatuh, bersatu dengan air dari shower yang mengalir. Darah masih mengucur, meninggalkan warna merah di lantai. Mengalir bersama air. Berakhir masuk ke saluran akhir. “Andai, andai aku bisa memutar waktu dan memperbaiki semuanya,” lirih Hanna. Menyigar ra
“Hah! Napas kau bau. Udah berapa lama kau tidak gosok gigi?” ucap lelaki tersebut lalu pergi meninggalkan Asep. “Dadah, Cantik. Hehe,” balas Asep sambil melambaikan tangan. Karena dalam kondisi tidak sadar, Asep sampai-sampai mengatakan lelaki berambut gondrong tersebut dengan kata cantik. Sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di salah satu rumah bercat putih. Suasana kawasan tersebut amat sepi karena seluruh warga masing-masing sudah terlelap dalam mimpi. Asep keluar dari dalam mobil, kondisinya sudah tidak semabuk tadi. Ia juga bisa mengendarai kendaraan beroda empat tersebut dalam keadaan selamat. Mungkin karena jalan raya jika sudah pukul 02.00 WIB agak lengang. Asep pun melangkah memasuki rumahnya, tetapi ia berpapasan dengan seseorang. Salah satu rumah tampak gelap gulita, membuat penghuninya mencari tahu penyebab lampu bisa padam. Hanya cahaya yang berasal dari senter bisa memberikan sedikit penerangan. “Apa mati lampu, ya?” tanya Bagus. Ia mendekat ke arah jendela